Komnas HAM Papua sebut kasus Biak Berdarah jadi utang negara

Papua
Ilustrasi peringatan 22 tahun tragedi Biak Berdarah oleh mahasiswa asal Papua di Bali pada 6 Juli 2020, yang dibubarkan polisi. - Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perwakilan Papua, menyatakan hingga kini penuntasan kasus Biak Berdarah masih menjadi utang negara.

Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan 6 Juli 2021 mendatang peristiwa Biak berdarah genap 23 tahun. Akan tetapi, selama itu pula para korban menunggu adanya keadilan. Tidak sedikit warga yang tewas, hilang, trauma, dan cacat dalam peristiwa di bawah menara air di Kota Biak, Kabupaten Biak Numfor pada 1998 itu.

Read More

“Kasus Biak berdarah itu menjadi utang negara melalui instansi dan lembaga terkait. Misalnya kepolisian, Komnas HAM, pemerintah daerah dan pihak lainnya,” kata Frits Ramandey kepada Jubi melalui panggilan teleponnya, Minggu (4/7/2021).

Kepolisian dan Komnas HAM dianggap berutang, lantaran intitusi dan lembaga negara tersebut belum dapat menuntaskan penyelidikan dan penyidikan kasus Biak berdarah. Padahal penuntasan penyelidikan dan penyidikan oleh kedua pihak ini penting, untuk memastikan duduk perkara atau proses hukum dalam kasus tersebut.

“Terutama pemda tidak memberi perhatian kepada para korban. Misalnya mereka yang mengalami trauma berkepanjangan, cacat, korban jiwa, dan lainnya,” ucapnya.

Katanya, belum tuntasnya penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian dan Komnas HAM menyebabkan korban tak kunjung mendapat keadilan, sebab belum ada putusan hukum kasus tersebut. Di sisi lain, Komnas HAM juga belum menuntaskan penyelidikan.

“Padahal hasil penyelidikan lembaga itu akan menjadi acuan apakah kasus Biak Berdarah merupakan pelanggaran HAM berat atau bukan.”

Ia mengakui, secara visual atau kasat mata, patut diduga terjadi pelangggaran HAM berat dalam tragedi itu. Ketika kasus Biak Berdarah terjadi, ada korban meninggal dunia, ada yang cacat seumur hidup, trauma berkepanjangan dan lainnya.

“Mesti diakui, Komnas HAM belum menuntaskan proses perkara kasus ini, untuk bisa ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat,” ujarnya.

Peristiwa kemanusiaan yang terjadi di bawah menara air di Kota Biak yang dikenal dengan Biak Berdarah itu, merupakan bagian kisah pilu yang menyisakan catatan kelam dalam sejarah rakyat Papua.

Aksi damai rakyat Papua di Biak menuntut referendum selama empat hari, disertai pengibaran Bintang Kejora sejak 2 Juli 1998, dibalas dengan tindakan represif aparat keamanan.

TNI-Polri dikerahkan membubarkan massa pada 6 Juli 1998. Peserta aksi ditangkap, ditembaki, dan disiksa. Bahkan warga Papua yang diduga tidak terlibat dalam agenda itu juga menjadi korban.

Mama Tineke Rumkabu, salah satu korban selamat dalam diskusi daring beberapa waktu lalu mengatakan, ia melihat rekan-rekannya jatuh tersungkur ke tanah di lokasi aksi, usai tertembus timah panas aparat keamanan.

“Kami menyaksikan sendiri penyiksaan begitu keji. Saya salah satu dari peserta aksi yang ketika itu dibawa ke pos militer,” kata Mama Tineke Rumkabu.

Menurutnya, meski ia seorang wanita namun tidak luput dari kekerasan dalam peristiwa itu. Ketika itu Mama Rumkabu mendapat berbagai kekerasan.

“Saya dipukul popor senjata. Tangan saya diiris sangkur. Mereka yang sudah dibunuh diangkut menggunakan truk sejak pagi hingga malam. Entah dibawa ke mana,” ujarnya.

Mama Rumkabu mengaku, ketika ia dan warga lain mengira waktu mereka tak lama lagi, seorang anggota militer masuk ke dalam pos mengenakan pelindung kepala dihiasi daun. Wajahnya dicoret-coret hitam, sehingga tak dapat dikenali. Oknum tak dikenal itu melepas borgol yang membelenggu tangan Mama Rumkabu, juga tiga wanita lain serta empat pria yang ditahan di pos militer dan menyuruh mereka lari. Setelah berhasil kabur, Mama Rumkabu bersama warga lain bersembunyi beberapa bulan di hutan. Akan tetapi, setelah keluar dari persembunyian, ia ditangkap dan dipenjara.

“Kami sudah disiksa, dianiaya tetapi masih menjalani proses hukum. Apakah ini keadilan? Terlalu banyak korban. Hingga kini masih banyak saksi hidup,” katanya. (*)

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply