Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyatakan, Komnas HAM RI telah melengkapi catatan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus Wasior serta Wamena, dan mengembalikannya ke lembaga itu, 23 Desember 2018.
“Pada 27 November 2018, ada pengembalian berkas kasus Wasior dan Wamena dari Kejagung, dan 23 Desember 2018, Komnas HAM sudah menjawab. Tentu memperbaiki catatan-catatan yang diminta. Nah bagian-bagian ini yang harus disampaikan,” kata Frits Ramandey kepada Jubi, Kamis (14/2/2019).
Namun Frits Ramandey belum mengetahui setelah Komnas HAM RI memperbaiki berkas kasus itu sesuai catatan dari Kejagung dan mengembalikannya ke lembaga tersebut, apakah Kejagung mengembalikannya lagi ke Komnas HAM atau tidak.
“Saya belum dapat informasi. Tapi prinsipnya, terkait kasus Wamena, Wasior ketika Kejagung kembalikan berkas, Komnas sudah menjawab kembali dan mengirim berkas itu ke Kejagung. Apakah Kejagung mengembalikan lagi ke Komnas HAM atau tidak saya belum monitor,” ujarnya.
Komnas HAM Perwakilan Papua menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya komitmen politik ingin menuntaskan kasus Wasior, Wamena, dan Paniai dengan menginstruksikan Kejagung, Kemenkumham dan Komnas HAM segera menyelesaikannya sesuai kewenangan masing-masing lembaga.
Namun masalahnya para lembaga terkait seakan tidak berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus itu. Misalnya dalam pengungkapan kasus Paniai, pihak Markas Besar TNI tidak mau sejumlah oknum anggotanya dimintai keterangan. Padahal presiden yang merupakan panglima tinggi telah menginstruksikan untuk dituntaskan.
“Mestinya Polri dan TNI harus patuh. Kalau Jaksa Agung menyatakan kasus Wasior dan Wamena bukan pelanggaran HAM berat dan cenderung membuat kasus ini tidak berjalan, saya pikir Jaksa Agung perlu dievaluasi demi proses penegakan hukum dan penegakan HAM pada masa depan,” ucapnya.
Sementara Deny Yomaki, salah satu aktivis yang hadir dalam diskusi kasus Wasior di ruang pertemuan Komnas HAM Perwakilan Papua, Kamis (14/2/2019), mengatakan jika negara (Pemerintah Indonesia)
serius kasus pelanggaran HAM Wasior dan Wamena, mestinya dapat dituntaskan.
“Padahal hanya dua kasus. Belajar dari kasus Abepura, karena yang dilihat adalah sistem komandonya. Tapi pelaku di lapangan tidak di hukum,” kata Deny Yomaki.
Menurutnya lantaran melihat sistem komando, dalam persidangan kasus Abepura, saksi tidak dapat membuktikan bahwa melihat komandan Brimob (misalnya) melakukan kekerasan di lapangan.
“Akhirnya komandanya bebas. Kasus Wasior, Wamena dan Paniai modelnya juga begini,” ujarnya. (*)
Editor : Edho Sinaga