KNPB menilai penegakan hukum di Indonesia diskriminatif

KNPB Pusat Papua
Para aktivis Komite Nasional Papua Barat atau KNPB saat menyampaikan keterangan pers di Jayapura. - Jubi/Hengky Yeimo
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Ketua I Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat atau KNPB Pusat, Warius Sampari Wetipo menilai penegakan hukum di Indonesia diskriminatif secara rasial terhadap orang Papua. Wetipo menyatakan diskriminasi itu terlihat jelas dalam proses hukum terhadap tujuh tahanan politik Papua yang tengah diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan.

Wetipo menyebut penegakan hukum di Indonesia tidak memberikan keadilan bagi tujuh tahanan politik (tapol) Papua yang dijadikan terdakwa kasus makar di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan. “Hal tersebut terlihat jelas dalam tuntutan [bagi] tujuh tapol korban rasisme itu. [Hukuman yang] dituntut Jaksa Penuntut Umum (PJU) kepada mereka jauh berbda dari hukuman bagi pelaku rasisme [di Surabaya],” kata Wetipo dalam keterangan pers di Kota Jayapura, Senin (8/6/2020).

Read More

Sejumlah tujuh tahanan politik (tapol) Papua, para mahasiswa serta aktivis, ditangkap dan diadili pasca demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.  Ketujuh tapol Papua itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Dalam  persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut mereka dengan tuntutan antara hukuman penjara selama lima tahun hingga 17 tahun pidana penjara. Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.

Baca juga: Pastor Katolik Pribumi Papua dari lima keuskupan minta keadilan untuk Buchtar Tabuni Cs

Wetipo mengatakan unjuk rasa anti rasisme terjadi di berbagai kota di Papua dan Indonesia pada Agustus dan September tahun lalu, sebagai reaksi atas kasus rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Para pelaku rasisme itu divonis lima bulan penjara dan tujuh bulan penjara. “Ini bukti bahwa, [penegakan] hukum Indonesia itu rasis dan tidak memihak kepada rakyat Papua Barat,” katanya.

KNPB sebagai media nasional rakyat Papua Barat menuntut kepada Presiden Joko Widodo segera bebaskan tanpa syarat semua tahanan politik korban rasisme di Indonesia. “KNPB juga dengan tegas menolak upaya kriminalisasi terhadap tapol korban rasisme dengan stigma makar,” katanya.

Wetipo menegaskan Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak pandemi Covid-19 seharusnya membebaskan seluruh tapol mereka. Apalagi pembebasan para tapol itu telah menjadi seruan Dewan Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa.

Anggota KNPB, Teren Surabut menyatakan proses hukum terhadap tapol korban rasisme itu tidak berjalan dengan baik. Negara telah berupaya mengkriminalisasi perjuangan kemanusiaan ketujuh tapol Papua itu. “Negara Indonesia sedang berupaya mengiring pejuang dan aktivis mahasiswa dengan tuduhan pasal makar, seolah aksi demo di Papua Barat itu menuntut kemerdekaan Papua Barat,” kata Surabut.

Surabut mendesak Presiden segera mengusut tuntas aparat keamanan yang terlibat melakukan ucapan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. “Kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mengusut tuntas seorang oknum TNI pelaku rasisme di depan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III di Surabaya. Kami mendukung koalisi advokat Papua guna mendampingi proses hukum tujuh tapol di Balikpapan,” katanya.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply