Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Unjuk rasa menolak rasisme di halaman kantor Kantor Bupati Kabupaten Deiyai pada Rabu, pada 28 Agustus 2019, seketika menjadi tragedi. Salah satu anggota DPRD Deiyai, Alfret Pakage menceritakan betapa tragis dan sedihnya peristiwa itu.
Peristiwa bermula karena seorang pemuda bernama Yustinus Takimai tewas ditabrak mobil aparat keamanan yang dikemudikan prajurit TNI, selanjutnya massa mengamuk hingga berujung penembakan.
“Seperti apa kejadian di belakang kantor Bupati saya tidak tahu, karena saat itu saya ada di pintu samping kantor Bupati menonton massa berdatangan. Jadi setelah pemuda Takimai ditabrak mobil, masyarakat bunuh seorang tentara dalam mobil.
Lalu pemuda semua gabung. Ada yang depan masuk sambil ‘Waita’, ada yang masuk dari belakang lewat kantor BKD. Saat itu posisi aparat kemanan gabungan ada di sudut kantor Bupati. Saya juga ada di samping berhadapan BKD,” cerita Alfret Pakage kepada Jubi lewat percakapan telepon, Rabu, (11/9/2019).
Kemudian, kata dia, massa melempar ke arah aparat gabungan. Aparat membalasnya dengan tembakan gas air mata.
Namun menurutnya, setelah aparat mengetahui ada tentara telah mati dibunuh, aparat gabungan langsung lepaskan peluru ke masyarakat. “Dan saya larang Kasat Reskrim Polres Paniai. Itu terjadi setelah mereka (aparat) mengetahui satu anggota TNI meninggal. (Mereka) langsung tembak lurus ke warga,” ungkapnya.
Lalu Danramil langsung keluar dari kantor Koramil yang ada di seberang jalan depan kantor bupati. “Dan teriak saya punya anggota mati, mana Bupati harus tanggung jawab. Senjata dikeluarkan, jadi itu hajar mereka tidak mau tahu. Ada Brimob juga,” ucapnya.
Di tempat kejadian hanya dirinya sendiri. Sedangkan Bupati,Wakil Bupati, anggota DPRD dan semua pejabat telah meninggalkan kantor. Polisi injak warga yang meninggal di bawah tiang bendera halaman kantor bupati.
“Saya teriak tidak boleh injak.” Ia bingung bagaimana caranya agar bisa melerai hingga bisa menjadi kondusif. Namun Pakage mengaku tak bisa berbuat apa-apa, karena seorang diri bahkan dirinya juga diancam akan tembak.
“Setelah itu depan saya ada warga yang mati tempat di bawah tiang bendera [halaman kantor Bupati]. Jadi cuma saya sendiri. Setelah aparat tahu beberapa senjata dibawa lari warga, mereka larang saya jadi penengah. Bahkan aparat juga arahkan senjata ke saya. Mereka bilang ‘ko mau mundur atau tidak? Kalau tidak ko tanggung jawab’. Setelah itu saya mundur. Tapi saya masih teriak-teriak tidak boleh berlebihan,” kisahnya lagi.
Selanjutnya kata dia, Pakage bergeser ke sebuah kios depan kantor Bupati. Situasi sudah sunyi, tidak ada orangpun yang berani lewat. Di kios itu ia bergabung dengan beberapa anggota polisi asli Mee. Ketika itu, waktu sudah menunjukkan pukul 17.12WP, lalu ia melihat mobil ambulance dari RSU Deiyai menuju ke arah tempat kejadian dengan maksud mengecek, melihat dan mengumpulkan warga yang mati .
“Saya lihat ada mobil ambulance datang dari arah RSUD Deiyai lalu menaikkan korban masyarakat yang sempat kena peluru dan jatuh, tapi polisi hadang mobil itu lalu aparat mengecek ada korban masyarakat kemudian dengan emosi dan sengaja aparat mengeluarkan korban itu dan rampas kunci mobil ambulance, lalu aparat kasih naik korban tentara. Lalu sopir dan medis dipulangkan. Kemudian mobil arahkan ke Paniai, tapi korban orang Papua ditinggalkan,” katanya menceritakan.
Hari sudah mulai larut malam, ia bergegas ke rumah mengingat dirinya juga harus selamat dari bahaya tersebut. Sepanjang perjalanan pulang kota Waghete jadi senyap, hanya didapati aparat keamanan mulai dari kantor Bupati hingga Waghete II bahkan di komplek Bandar udara.
Kamis (29/8/2019) keesokan harinya,ia kembali lagi ke tempat kejadian dengan maksud untuk mengecek dan memastikan apakah korban meninggal masih ada di komplek kantor Bupati atau sudah dibawa ke RSUD Deiyai.
Namun dirinya mendapati gapura RSUD Deiyai sudah digembok mati. Bahkan menurutnya, tidak ada aktivitas dalam rumah sakit itu.
“Besok paginya juga sepanjang jalan hanya aparat saja, saya tidak lihat masyarakat. Pertama saya cek RSUD Deiyai, tidak beraktivitas, pagar dikunci. Saya masuk dalam dan ketuk-ketuk ruangan tidak ada satu petugas pun yang ada. Lalu saya naik ke TKP untuk cek apakah mayat atau tidak, lalu saya parkir di pintu masuk kantor Bupati. Tiba-tiba aparat gabungan kerumuni saya dan berkata dengan emosi.
“Mereka tanya ‘kami punya senjata di mana?’ Saya langsung bilang, saya juga bagian dari negara ini, senjata juga alat negara dan saya akan cari senjata-senjata yang hilang. Tapi korban yang ada di halaman kantor Bupati tidak ada. Lalu saya naik ke Damabagata, Distrik Tigi Timur, ada pemuda yang bilang ada senjata, waktu itu Danramil yang jaga dengan senjata di pertigaan Waghete, Dogiyai dan Paniai,” tuturnya.
Selanjutnya, ia mengatakan, dirinya dipanggil Polres Paniai untuk dimintai keterangan sebagai saksi. “Waktu itu aparat tidak bedakan siapa yang harus tembak, itu kesalahan besar. Lalu saya diperiksa sebagai saksi di Polres,” ucapnya.
Pastor Santon Tekege Pr menyatakan investigasi Sekretariat Keadilan untuk Perdamaian [SKP] Dekanat Paniai, Keuskupan Timika menyimpulkan penembakan itu dipicu sebuah mobil aparat keamanan yang menabrak seorang pemuda bernama Yustinus Takimai (17) hingga tewas.
“Akibat tembakan dan gas air mata itu, tujuh warga sipil tewas. Sejumlah 43 warga lainnya mengalami luka-luka karena tembakan, baik luka berat maupun ringan,” kata Pastor Santon. (*)
Editor: Syam Terrajana