Kian memburuk, Covid-19 di Fiji mulai sebabkan konflik

Kian memburuk, Covid-19 di Fiji mulai sebabkan konflik 1 i Papua
Orang-orang muda terlibat dalam perkelahian di Jittu Estate, Fiji. - ABC News

Papua No.1 News Portal | Jubi

Suva, Jubi – Sementara pandemi Covid-19 di Fiji terus melemahkan ekonomi negara itu, muncul juga kekhawatiran yang terus meningkat bahwa krisis ini dapat memicu kerusuhan di negara kepulauan kecil itu.

Keprihatinan itu meningkat setelah terjadi perkelahian di daerah yang dihuni keluarga prasejahtera di ibu kota, Suva, selang akhir pekan lalu, setelah penduduk desa dimana karantina wilayah diberlakukan melakukan berbagai protes.

Read More

Sebuah video perkelahian di Jittu Estate telah beredar secara meluas melalui media sosial di Fiji.

Menurut polisi, para pemuda yang mabuk memulai pertengkaran itu, tetapi laporan lokal mengatakan kejadian itu dipicu oleh kasus pencurian tanaman pangan. Saat ini orang-orang sedang cemas bagaimana mereka dapat menyokong keluarga mereka. Bahkan sebelum gelombang wabah kedua yang terjadi saat ini dimulai, pandemi telah menghancurkan ekonomi Fiji yang sangat bergantung pada sektor pariwisata dan banyak orang yang diberhentikan dari pekerjaannya.

Pekerja sosial mengungkapkan bahwa orang-orang semakin stres dan tertekan, namun seorang ahli merasa itu tidak akan mengarah pada jatuhnya pemerintah.

Jeremaia Merekula bekerja untuk Lifeline dan mengungkapkan bahwa ada semakin banyak permintaan untuk konseling lewat telepon, jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu.

“Di desa-desa semakin sering terjadi ketegangan karena ada orang-orang yang kehilangan pekerjaan dan ingin pergi menanam singkong tetapi mereka tidak punya lahan,” katanya. “Bulan lalu, panggilan yang diterima saluran siaga bantuan KDRT mencapai 800, saluran siaga bantuan anak mencapai 500 panggilan, banyak orang di Fiji yang sedang mengalami krisis.

“Jumlah panggilan yang kami terima ini tidak sebanding dengan ribuan orang di luar sana yang pasti juga merasa kesulitan dan tidak bisa meminta bantuan. Dari dulu kami punya budaya untuk diam, yang berarti sulit sekali bagi kami untuk berbicara tentang apa yang sedang kami alami dan rasakan.”

Apolosi Ranawai Lasei dari Dinas Sosial juga telah menyaksikan langsung dampak krisis Covid-19 di Fiji. Baru-baru ini dia menghadiri sebuah protes yang dilakukan oleh warga desa yang dikarantina dan kehabisan makanan.

“Mereka melanggar aturan tentang jaga jarak dan keluar begitu saja karena mereka perlu butuh bantuan,” tuturnya.

Perusahaan konsultan Fitch Solutions, dalam prospek terbarunya untuk Fiji, menekankan bahwa risiko akan pecahnya kerusuhan sosial semakin meningkat. Ahli sejarah Fiji, Brij Lal, menerangkan bahwa adanya beberapa protes baru-baru ini itu signifikan, dan gelombang wabah itu merusak reputasi pemerintahan Perdana Menteri Frank Bainimarama. Namun, menurutnya, rasa marah dan frustrasi masyarakat tidak akan menggoyahkan pemerintah. (ABC News)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply