Kelompok militan muncul akibat tak selesainya masalah di Papua

Papua
Mahasiswa Tolikara, Papua saat melakukan aksi tolak otsus beberapa waktu lalu di Jayapura - Jubi/Yuliana Lantipo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Makassar, Jubi – Koordinator Jaringan Damai Papua atau JDP, Adriana Elizabeth menyatakan tak adanya keseriusan pemerintah menyelesaikan masalah Papua yang memunculkan lahirnya kelompok militan.

Menurutnya, para pihak militan di Papua ini akhirnya mendorong gerakan anti Otonomi Khusus atau Otsus, dan sebagainya. Akan tetapi mereka dianggap sebagai kelompok Papua pro merdeka.

Read More

Pernyataan itu dikatakan Adriana Elizabeth dalam diskusi daring “Otonomi Khusus dan Masa Depan Peace Building di Tanah Papua”.

Diskusi yang diselenggarakan Jaringan Damai Papua dan Jubi ini,  dimoderatori Victor Mambor, digelar pada Senin (3/8/2020).

“Itu menjadi hal yang tak bisa kita hindari, tapi juga menurut saya harus membacanya lebih dalam. Kenapa [mereka] menjadi militan, karena mereka putus asa. Tak ada lagi solusi. Dialog [Jakarta-Papua yang diharapkan] terlalu lama. Ya sudah, usulannya referendum,” kata Adriana Elizabeth.

Katanya, referendum mesti dipahami dari berbagai perspektif. Di antaranya, perspektif politik dan perspektif hukum. Perspektif politik agendanya jelas untuk safety determination.

“Bagaimana melihat referendum dari kacamata hukum. Referendum adalah bagian disproses. Seperti dialog juga. Hanya itu ada persyaratan seperti membangun dialog juga tidak mudah, bicara referendum juga butuh proses. Misalnya proses itu jangan sampai dimanipulasi kelompok tertentu. Dialog juga seperti itu,” ujarnya.

Selain itu katanya, mereka yang ikut dalam referendum harus dipastikan paham apa yang sebetulnya akan mereka lakukan. Jangan ada upaya memanipulasi orang-orang itu.

Paling penting apakah dengan itu tak ada lagi masalah keamanan secara luas. Jika melihat masalah Timor Leste, ini yang kemudian dibaca bahwa referendum itu masih sangat bermasalah.

“Jadi ketika ada pihak yang mengusulkan referendum, reaksinya langsung tidak bisa. Tapi saya memahami. Saya melihat dialog dan referendum itu bagian dari proses perdamaian. Namun mesti disiapkan secara matang agar tak ada manipulasi dalam proses maupun dalam hasilnya,” ucapnya.

Dalam diskusi yang sama, dosen dari Universitas Melbourne Australia, Profesor. Dr. Richard Chauvel menilai mestinya strategi yang digunakan pemerintah adalah berdialog dengan masyarakat Papua.

Katanya, dengan begitu pemerintah bisa mendengar dan mengetahui keinginan orang Papua dan mencari solusi terbaik.

“Kalau saya lihat, selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, sikap beliau boleh dikata tidak serius dialog. LIPI telah mengusulkan dialog sektoral kepada presiden tapi hingga kini tak ada komitmen dari pemerintah pusat,” kata Richard. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply