Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tim Kemanusiaan untuk Papua mendorong penerapan standar penanganan kasus pelanggaran berat HAM dalam pengusutan perkara penembakan terhadap Pendeta Yeremias Zanambani. Berdasarkan investigasi mereka, pembunuhan tersebut patut diduga sebagai pelanggaran berat HAM.
“Kasus ini menjadi perhatian internasional. Kami mendorong penyidikan projustitia dengan standar penanganan kasus pelanggaran berat HAM,” kata Ketua Tim Kemanusiaan untuk Papua Haris Azhar saaat diskusi dan peluncuran daring Laporan Duka dari Hitadipa, Senin (7/12/2020).
Menurut Haris, kasus di Hitadipa pada 19 September 2020 tersebut merupakan penyiksaan dan penghilangan paksa nyawa seseorang. Kejahatan itu dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM), sebagaimana yang dimaksud Pasal 9 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Ada dua upaya penyelesaian berbeda dari TNI Angkatan Darat dan Komnas (Komisi Nasional) HAM. TNI AD menghukum pelaku (dengan sanksi militer) dan membangun kembali rumah dinas kesehatan, sedangkan Komnas HAM meminta (digelar) pengadilan koneksitas,” jelas Haris.
Sementara itu, Tim Kemanusiaan untuk Papua berpendapat kekerasan di Intan Jaya bukan hanya pembunuhan terhadap Pendeta Zanambani. Namun, ada dugaan pelumpuhan terhadap kehidupan warga sipil.
“Kami perlu menginvestigasi lebih jauh. (Namun), kami melihat ini ada semacam motif (kejahatan) lebih luas jika melihat upaya penguasaan terhadap blok Wabu yang memiliki kandungan emas,” jelas Haris.
Pemerhati masalah sosial Papua Theodorus Van den Broek menyatakan seorang tokoh Gereja seperti Pendeta Zanambani merupakan pembimbing di masyarakat. Mereka tetap terbuka dengan siapa pun, termasuk terhadap pihak yang berseberangan pendapat dan perjuangan.
“Dia menjaga keharmonisan dan menjadi pelindung serta menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Tokoh Gereja tidak akan pernah lari ketika masyakat memiliki masalah atau berada dalam bahaya,” jelas Theodorus, yang juga mantan Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Papua.
Karena itu, lanjutnya Pendeta Zanambani menerima siapa pun yang mau berbicara atau berdiskusi dengannya, termasuk pihak koramil setempat. Pendeta Zanambani juga dengan berani mempertanyakan keberadaan dua pemuda yang dibawa aparat dan tidak pernah kembali lagi.
“Dia ingin tahu karena punya tanggung jawab (terhadap penyelesaian persoalan tersebut). Akibat ketegasan itu, dia (justru) dianggap musuh (oleh aparat militer) sehingga dibunuh. Alasan (tudingan) dia ialah anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka) dijadikan legitimasi untuk membunuh. Ini memprihatinkan,” kata Theodorus. (*)
Editor: Aries Munandar