Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
SEKRETARIS Jenderal (Sekjen) Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas), Letjen TNI Doni Murdano, pada acara tatap muka dengan tokoh Papua di Aula Makorem 172/PWY, Selasa, 25 September 2018, mengatakan tanaman sagu, sukun, matoa, alpokat, pinang, dan kakao serta kopi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat jika dikelola dengan baik.
“Tentunya perlu didampingi oleh pemangku kepentingan dan dipasarkan dengan baik, sehingga produksinya cepat terserap,” kata Letjen TNI Murdono.
Masih kata dia, buah pinang, di Cina dijadikan bahan baku permen, bisa dibuat jus dan obat untuk kebugaran fisik. Buah alpokat kini paling banyak dikonsumsi oleh para orang kaya, ini juga bisa dilihat dan dikerjakan.
Misalnya tanaman sagu, kata mantan Pangdam III/Siliwangi itu, merupakan kekayaan alam Papua jika dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Indonesia. Apalagi lahan sagu di Papua tercatat seluas 4,7 juta hektare dan Papua Barat 510 ribu hektare. Sedangkan daerah lainnya paling luas hanya sekitar 30 ribu hingga 60 ribu hektare.
”Dalam satu pohon sagu yang sudah bisa dipanen pada umur 7 tahun bisa menghasilkan 150 hingga 200 kg tepung sagu. Jika di pasaran Rp 6.500/kg. Maka ini juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Ini belum dikreasikan dalam bentuk lain,” ujarnya.
Disela-sela pemaparan tersebut, Doni Munardo mengaku siap memberikan 100 ribu bibit pohon pinang unggulan sebagai bentuk kepedulian pihaknya terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua.
”Nanti Danrem 172/PWY carikan lahan untuk bibit pinang ini ditanam yah,” kata Doni.
Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama Provinsi Papua, Pdt. Lipiyus Biniluk, memberikan apresiasi kepada Sekjen Wantanas Letjen TNI Doni Munardo yang begitu perhatian dengan rakyat di Bumi Cenderawasih itu.
"Kami sambut positif yah, ini program sangat brilian, ini yang memang dibutuhkan dari dulu dan baru terjadi, tidak apa-apa. Kami tokoh agama sangat mendukung, tugas kami pertama doa, kedua akan terlibat dalam program ini," katanya.
Sementara itu, Pastor John Jonga peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009 berpendapat bahwa masalah Papua cukup kompleks karena menyangkut idiologi dan pengalaman masa silam yang begitu pahit.
"Saya kira selain persoalan kesejahteraan, masalah yang saya sampaikan itu juga harus diselesaikan karena masalah kekerasan di Papua harus didialogkan, karena dialog Papua ini masalah kesejahteraan, politik, dan pelanggaran HAM," katanya.
Berkaitan dengan program peningkatan kesejahteraan yang dipaparkan oleh Sekjen Wantanas, Jhon berharap ada tim yang melakukan pemantauan sehingga jika program itu dijalankan bisa benar-benar memberikan manfaat bagi orang asli Papua.
"Jangan kita lihat contoh seperti saat Presiden Jokowi resmikan BBM satu harga di wilayah pegunungan waktu lalu, harga BBM-nya murah saat itu, belakangan kembali ke harga normal, harganya naik," katanya.
Danrem 172/PWY, Kolonel Inf Jonathan Binsar P Sianipar, mengaku siap mendukung program yang disampaikan oleh Sekjen Wantanas Letjen TNI Doni Murdano.
"Program yang disampaikan, kalau saya lihat Pak Sekjen Wantanas ingin melibatkan semua komponen bangsa untuk menyelesaikan persoalan Papua dari aspek kesejahteraan bukan dari sisi keamanan. Jadi kami akan gandeng para tokoh agama, kepala suku, toko masyarakat dan pemuda untuk menggali potensi yang luar biasa di Papua," katanya.
Lima kabupaten ajukan 600 ribu hektare hutan adat
Sementara itu, lima kabupaten di Papua sedang menyiapkan pengajuan penetapan hutan adat seluas 600 ribu hektare ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Proses penyiapannya sedang berjalan di masing-masing komunitas adat sambil menunggu pengesahan Perda Pengakuan Masyarakat Adat.
Asisten Kepala Program Perkumpulan Silva Papua Lestari (PSPL), Dewanto Talubun, di Merauke, Selasa (25/9/2018), mengatakan 600.000 ha hutan adat yang akan diajukan terbagi sekitar 300.000 ha di Kabupaten Boven Digoel, 200.000 ha di Asmat dan 100.000 ha di Kabupaten Yahukimo, Mappi, serta Pegunungan Bintang.
Ia menjelaskan kondisi hutan di daerah itu masih primer dan statusnya hutan negara berupa hutan produksi terbatas, hutan produksi dan hutan konversi yang sudah siap dikelola. Saat ini proses administrasi pengajuan hutan adat sedang disiapkan, termasuk pemetaan partisipatif yang dilakukan bersama masyarakat adat.
Untuk Perda Pengakuan Masyarakat Adat, menurut dia, sudah didorong untuk segera diproses ke DPRD. Proses yang sedang berlangsung sekarang, yakni identifikasi masyarakat hukum adatnya, dilanjutkan dengan membuat naskah akademik yang dilakukan bersama Universitas Cenderawasih.
Tim Badan Pembuat Perda Masyarakat Hukum Adat di Boven Digoel baru dibentuk sejak November 2017. DPRD berjanji mulai membahas draft Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam pertemuan-pertemuan Pansus dan Rapat Paripurna Oktober 2018.
Perkembangan proses penyiapan pengajuan hutan adat ke KLHK di masing-masing kabupaten berbeda-beda. Dewanto mengatakan di Kabupaten Asmat saat ini masih dalam tahap pengembangan naskah akademik yang dilakukan Perkumpulan Silva Papua Lestari dan kuasa hukumnya.
”Setelah naskah akademik selesai rencananya akan kami bahas bersama dengan masyarakat adatnya. Setelah itu baru kami serahkan ke DPRD,” katanya.
Untuk Pemerintah Kabupaten Asmat sendiri, menurut dia, sangat mendukung adanya Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat ini. (*)