Kebijakan ekstrim harus diambil untuk proteksi OAP

Papua
Ilustrasi orang asli Papua - Jubi. Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Makassar, Jubi – Dosen Universitas Cenderawasih atau Uncen Jayapura, Balthasar Kambuaya mengatakan pemerintah pusat dan pengambil kebijakan di Papua mesti berani mengambil kebijakan “ekstrim” memproteksi orang asli Papua, yang kini terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Pernyataan itu dikatakan Balthasar Kambuaya dalam diskusi daring Papua Strategic Policy Forum #6 “Desain Pembangunan Untuk Memproteksi Orang Asli Papua”.

Read More

Diskusi yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua Universitas Gajah Mada (UGM) ini, digelar pada Rabu (29/7/2020).

“Perlu ada tindakan ekstrim, diskriminasi positif. Namun itu bukan tidak nasionalis, tidak republik dan lainnya. Kita mesti berani bertindak diskriminatif positif dan memberi perlindungan. Itu intinya,” kata Balthasar Kambuaya.

Menurutnya, meski Undang-Undang Otonomi Khusus atau Otsus memberi ruang perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua akan tetapi hingga kini apa yang diamanatkan undang-undang itu belum sepenuhnya terwujud.

Misalnya pasal 28 ayat (1) dalam UU Otsus Papua yang mengamanatkan penduduk Papua dapat membentuk partai politik.

Hingga kini amanat pasal itu tidak dapat diwujudkan meski kehadiran partai politik lokal telah lama diperjuangkan orang asli Papua.

“Keinginan orang Papua membentuk parpol lokal tidak disetujui Jakarta, dengan berbagai alasan. Nilai-nilai dasar ini yang mesti diperjuangkan bersama, agar itu nyata untuk kepentingan orang Papua,” ujarnya.

Ia berpendapat, jika ingin menjadikan orang asli Papua subjek utama dalam berbagai hal, kembali pada regulasi. Aturan yang ada perlu ditinjau kembali.

“Misalnya ayat (1) pasal 28 Undang-Undang Otsus memberi kewenangan orang Papua membentuk partai politik. Akan tetapi ayat (2), mengharuskan mengikuti ketentuan perundang-undangan nasional. Jelas orang Papua sulit memenuhinya” ucapnya.

Dosen UGM, Andi Sandi sependapat dengan Balthasar Kambuaya. Ia mengatakan, masalah dalam pelaksanan UU Otsus Papua ada pada tataran regulasi.

“Regulasinya itu tidak pada level nasional, tapi ada pada level implementasi dan itu hampir semua provinsi yang khusus dan istimewah mengalami itu,” kata Andi.

Menurutnya, keistiweaan UU Otsus di antaranya hadirnya “tiga tungku”, yakni pemerintah, adat dan agama. Keterwakilan adat dan agama diimplementasikan dalam pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), sehingga kewenangan adat dan agama melekat pada kewenangan publik.

“[Akan tetapi] saya melihat ini masalah utamanya adalah implementasi regulasi,” ujarnya.

Misalnya, dalam pasal 65 UU Otsus sangat jelas mengatur mengenai ketenagakerjaan wajib mendahulukan orang asli Papua.

Akan tetapi, yang menjadi masalah saat diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

“Saya yakin, teman-teman di Papua mendorong norma-norma itu masuk dalam Perdasi. Akan tetapi saat dibawa ke level nasional, dianggap bertentangan dengan aturan lain. Akhirnya tidak rampung, padahal normanya dalam undang-undang ada,” kata Andi Sandi.

Menurutnya, lebih sulit lagi ketika pejabat berwenang di pemerintah pusat, tidak paham mengapa pasal tersebut dimasukkan dalam UU Otsus. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply