Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura, Komisaris Besar Gustav R Urbinas menyatakan pembubaran unjuk rasa mahasiswa yang menolak rencana pemekaran Provinsi Papua pada Selasa (8/3/2022) sudah sesuai prosedur. Menurutnya, unjuk rasa itu dibubarkan para peserta unjuk rasa ngotot ingin melakukan long march atau berpawai, dan polisi tidak setuju.
“[Dalam] imbauan kami, sudah [kami] sampaikan. Waktu juga kami sudah berikan. Massa ingin memaksa long march. Itu yang tidak boleh, sehingga kami menembakkan gas air mata,” kata Urbinas saat ditemui Jubi di lokasi demonstrasi, Selasa. (8/3/2021).
Urbinas mengatakan pihaknya menurunkan sekitar 800 polisi untuk menjaga Kota Jayapura. Polisi itu ditempatkan di berbagai lokasi unjuk rasa menolak pemekaran Provinsi Papua.
“Aksi hari ini, di Abepura ada tiga titik, [di] Tanah Hitam dua titik. Di Gapura Uncen Abepura, satu. Kemudian di Heram ada tiga titik,” katanya.
Baca juga: Demonstran dipukuli polisi di halaman Fakultas Teknik Uncen
Urbinas mengatakan pihaknya sudah memberikan ruang kepada mahasiswa untuk berunjuk rasa, namun pihaknya tidak ingin mahasiswa melakukan pawai atau long march. Menurutnya, pawai itu berbahaya, karena rawan disusupi provokator.
Selain itu, warga Kota Jayapura juga memiliki trauma dengan pawai massa unjuk rasa dalam jumlah besar. “Masyarakat juga ada yang punya memori baik dan memori buruk, itu yang kami jaga,” katanya.
Urbinas menegaskan semua tindakan polisi terhadap peserta unjuk rasa menolak pemekaran itu telah sesuai prosedur. Ia menyatakan langkah itu justru diambil untuk menjaga keselamatan mahasiswa yang berunjuk rasa. “Kami juga mengamankan massa aksi. Kita tidak tahu, apakah ada yang senang atau tidak [senang terhadap massa aksi],” katanya.
Urbinas mengatakan peserta unjuk rasa juga memukul polisi, dan mencoba merusak satu mobil polisi. “Ada enam orang [polisi] terluka, satu kami sedang visum. Kami akan melakukan pengejaran terhadap pelaku,” ujarnya.
Ketua Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Cenderawasih, Abniel Doo mengatakan aksi bertajuk “Menolak Daerah Otonom Baru di Tanah Papua” itu telah mengikuti semua prosedur hukum yang ada. Namun Polisi melarang aksi tersebut.
Baca juga: Demi menolak pemekaran, mahasiswa tetap ingin berunjuk rasa pada Selasa
“Kami sudah masukan surat di Kepolisian Resor Kota Jayapura untuk aksi. Tetapi polisi tidak memberikan ruang menuju Kantor DPR Papua sesuai dengan tujuan massa [aksi]. Kami bernegosiasi, tetapi a lot, sehingga kami terpaksa menduduki Perumnas 2 [di Waena],” katanya.
Doo mengatakan pembubaran unjuk rasa mahasiswa pada Selasa merupakan bentuk pembungkaman demokrasi. Ia menyatakan kebebasan menyatakan pendapat di muka umum adalah hak dasar yang telah dijamin Undang-undang Dasar 1945.
“Setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum. Jika aparat kepolisian, apalagi pemerintah, melarang kami mereka sendiri melanggar aturan yang dibuat oleh para pendiri negara,” katanya.
Doo mengatakan para mahasiswa berdemonstrasi secara damai, menyatakan pendapat tanpa melakukan kekerasan, namun diperlakukan seperti musuh oleh aparat keamanan. “Kami mahasiswa independen, menyuarakan apa yang dirasakan oleh masyarakat kami yang ada di kampung dan perkotaan,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G