Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Hengky Yeimo
Kaka, Ade, Tanta, Om, mari kita simak tulisan ini, tapi sebelumnya saya mengajak pembaca untuk memahami apa itu kafe dan para-para.
Saya mendahuluinya dengan menceritakan pengalaman awal memasuki kafe dan masukan untuk pemangku kepentingan, misalnya Majelis Rakyat Papua, DPR Papua, dan Dewan Kesenian Tanah Papua, agar dapat mendiskusikannya, terutama berkaitan dengan peraturan.
Bahwasannya lagu-lagu daerah jarang kitong dengar di kafe, taksi (angkutan kota), hotel, dan toko, bahkan lagu-lagu daerah jarang dijual. Saya pada tulisan ini lebih menyoroti soal kafe.
Sa pribadi tidak berkepentingan melarang pembangunan kafe. Tapi sedikit memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi antara kafe dan para-para.
Maraknya pembangunan kafe membawa dampak positif dan negatif. Kafe merupakan tempat minum kopi. Pengunjungnya dihibur dengan musik. Rumah kopi dengan konsep sederhana dan menarik. Orang terbiasa nongkrong, diskusi, dan lain-lain sambil minum kopi.
Namun, dampak kehadiran kafe perlahan-lahan menggerus kebiasaan bersantai di rumah. Kita hadir dengan cost yang begitu mahal ke kafe.
Kebiasaan kumpul-kumpul di para-para juga perlahan-lahan hilang karena orang lebih memilih kafe daripada di para-para.
Wikipedia menerangkan pengertian kafe dari bahasa Perancis (cafe). Secara harafiah adalah minum kopi, kemudian menjadi tempat minum, tidak hanya kopi, tapi juga minuman lainnya, termasuk minuman yang beralkohol rendah. Di Indonesia, kafe berarti semacam tempat sederhana, tetapi cukup menarik untuk makan makanan ringan.
Sementara istilah para-para ini familiar di kalangan orang Papua. Para-para untuk berkumpul bersama dan menyelesaikan berbagai macam permasalahan, bersantai, baik bersama keluarga, maupun dengan kelompok-kelompok lainnya. Para-para adalah tempat bersantai sambil berdiskusi bagi orang Papua.
Dari sisi ini, para-para dan kafe sama, yakni tempat berkumpul dan diskusi. Namun ada ketentuan yang harus dipatuhi oleh pengunjung ketika masuk ke kafe maupun ketika duduk di para-para.
Saya baru mengetahui kafe tahun 2007 di Nabire. Sebelumnya saya buta sekali dengan kafe. Saya hanya mengetahui bahwa kafe sama dengan para-para, teras rumah, yang mana kita dapat berkumpul dengan keluarga dan sahabat atau teman.
Selama di Nabire, 2007-2010, aktivitas saya masih seperti di kampung. Duduk di para-para bersama teman-teman dan menghabiskan waktu bersama sambil berbagi cerita seperti laiknya orang Papua lainnya.
Setibanya di Jayapura pada 2010 saya juga belum pernah kafe. Saya baru mengenal kafe pada 2013 setelah menjadi jurnalis, untuk sekadar menumpang wifi saat menulis dan mengirim berita ke media yang mempekerjakan saya. Jika tidak ke kafe, saya mengirim berita di warnet (warung internet).
Saya melihat bahwa suasana kafe sangat berbeda dengan suasana di para-para ketika duduk bersama dengan sanak saudara dan teman.
Ketika saya masuk ke kafe, saya agak kaku karena tempatnya ditata otomatis, tidak bisa diotak-atik, musik, dan ruangannya ber-AC. Harga kopi tentu mahal dengan kisaran Rp 30 ribu atau es jeruk dengan Rp 20 ribu, ditambah makanan.
Waktu bersantai (diskusi) juga dibatasi. Memang ada kafe yang dibuka hingga larut malam. Itu pun terbatas, dan hanya orang-orang tertentu yang bisa memasukinya, seperti, bar dan tempat bernyanyi yang dilengkapi dengan ladies-nya atau hotel.
Saat di kafe, saya jarang, bahkan tidak pernah mendengar lagu-lagu daerah dari Papua. Mirisnya, kafe berada di ibu kota Provinsi Papua–pusat pemerintahan, pendidikan, perkonomian, sosial, dan lain-lain.
Kafe-kafe justru memainkan musik barat atau dari luar Papua lainnya. Di kafe juga kita hanya sebagai penikmat lagu yang diputar operator atau pelayan kafe. Kita tidak bisa meminta lagu kesukaan kita, apalagi lagu-lagu daerah.
Paradoksnya, orang lebih memilih kafe daripada para-para. Kalau di para-para sa mendapat teh gratis, kue, ubi-ubian, dan berdiskusi panjang-lebar alias tidak dibatasi waktunya seperti di kafe.
Di para-para kita dapat memutar musiknya sebebas-bebasnya, bercanda ria dan cerita mop.
Kita tidak menampik bahwa zaman telah berubah. Perkembangan kota semakin modern. Namun, tantangannya adalah bagaimana kita menyesuaikan diri dengan perubahan dan mampu memilih-milih dan memilah-milah, mana hal baik dan mana hal yang buruk.
Orang Papua harus menghadapi tantangan besar, tidak hanya sekadar mengubah cara pandang kita, tapi juga perilaku hidup bersosial. Bagaimana kita menyikapi dinamika sosial? Contoh kecilnya ialah terhadap para-para dan kehadiran kafe yang kian marak.
Banyak orang beranggapan bahwa kafe adalah tempat hiburan, diskotik, minibar, black box untuk ukuran kota-kota besar. Karena tipikal kota berkembang, semua aspek ada; yang baik maupun buruk. Kafe bisa menjadi tempat orang buang sial, setelah kerja, melepaskan penat–dari sisi postif.
Sisi negatifnya itu tadi. Tempa-tempat itu ada perempuannya, minum beralkohol, mengancam nyawa yang berujung pada kekeringan dompet. Di kota berkembang hal-hal semacam itu wajar.
Kalau praktik itu terjadi di kota-kota kecil di kabupaten atau daerah pemekaran, akan berdampak buruk bagi orang Papua.
Dari hal-hal tersebut, perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat dan regulasi yang jelas. Orang-orang muda perlu diberi pemahaman akan tantangan modernisme.
Dari sisi ekonomi, kehadiran kafe di Kota Jayapura wajar. Itu memang konsekuensi dari kota yang sedang berkembang. Apabila dikaitkan dengan konsep para-para, rata-rata di para-para menyajikan kebutuhan siap saji. Tinggal diintegrasikan dengan konsep kafe tadi.
Di kota harus dibangun para-para adat. Apalagi Kota Jayapura sebagai barometer perkembangan Papua, sehingga konsep para-para adat harus diintegrasikan dengan model kafe.
Pergeseran nilai budaya
Setiap perubahan yang masuk, apalagi tanpa regulasi yang bagus, otomatis akan membawa dampak buruk bagi masyarakat itu sendiri. Hal yang paling buruk barangkali kebudayaan satu masyarakat itu hancur, karena tidak dicegah sejak dini.
Tantangannya bagaimana pembangunan itu masuk, tetapi kearifan lokal tetap dijaga. Salah satu contohnya adalah soal kafe dan para-para, seperti disinggung sebelumnya. Pertanyaanya bagaimana membangun kota berbasis budaya? Untuk membangun kota berbasis budaya, tidak bisa hanya mengikuti pemilik kafe. Pemerintah harus menerbitkan regulasi untuk mengatur dan menatanya.
Sebelum pemerintah ada, masyarakat adat sudah membangun para-para adat sejak lama. Tempat ini menjadi tempat untuk membicarakan masalah dan diatur jelas.
Untuk mengatasi pergeseran budaya, MRP sebagai lembaga kultural orang asli Papua, Dewan Kesenian Tanah Papua, dan kamunitas-komunitas harus duduk bersama dan mencari solusi bersama. Bahwasannya Papua sedang terjadi pergeseran kebiasaan hidup yang begitu dahsyat. Salah satu perubahan itu sebagai dampak maraknya kehadiran kafe tadi.
Kehadiran kafe secara ekonomis menguntungkan, tetapi di lain sisi mengancam kebiasaan yang telah terbangun lama di dalam kehidupan orang Papua, yakni duduk bersama dengan keluarga.
Kita terhegemoni dengan konsep orang barat yang seharian menghabiskan waktu di kafe. Padahal sebagai orang yang berjiwa sosial kita diajak untuk bersolider dengan berbagai macam orang.
Hampir sebagian besar orang Papua mempunyai konsep para-para, dan duduk di teras rumah sambil bercanda gurau bersama keluarga. Para-para merupakan tempat menimba ilmu tradisional, menyelesaikan masalah, bertukar pikiran dan sebagainya. Sayangnya hal itu perlahan mulai tergeser.
Barang siapa yang tidak PD (percaya diri) ketika duduk di para-para atau merasa gengsi, tentunya ia secara tidak langsung menyangkal kebiasaan itu. Padahal kebiasaan orang Papua itu yang harus menjadi patokan dalam pengembangan kafe.
Kafe-kafe sedianya ditata sesuai budaya Papua, ornamennya, musiknya, makanan, minuman, dan hal-hal lain yang merepresentasikan budaya orang Papua.
Para-para dan kafe memang mempunyai kesamaan. Namun harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Para-para harus melihat kebutuhan konsumen karena berpengaruh terhadap kehadiran pengunjung, meski suasana nyaman itu subjektif.
Jika di Jawa ada konsep warung lesehan, kafe dengan konsep para-para juga bisa dibuat di Papua. Demikian sebaliknya, para-para dibuat semacam kafe jika ingin menarik minat pengunjung atau pelanggan. Jangan sampai kita memperatahankan para-para adat tapi kemudian pelanggan tidak datang, hingga berdampak pada nilai ekonomis.
Untuk melestarikan budaya, para-para adat kembali ke masyarkat sendiri, apakah mempunyai niat atau tidak. Selain itu, mesti ada peran aktif dari MRP, dan Dewan Kesenian untuk melakukan sosialisasi.
Saya khawatir bahwa hal-hal yang harus kita pegang itu kita anggap kuno, padahal kita bisa menjadikan itu sebagai panduan. Kalau kita pegang budaya kita, bisa menjadi orang yang hidup lama.
Di Tanah Tabi misalnya di Yoka, Tobati, Enggros, Sentani, Genyem, Nimboton, Sarmi, atau Serui dan Biak, masih ditemukan para-para adat. Para tamu diterima di para-para. Kita mesti merawat tradisi seperti ini. (*)
Penulis adalah jurnalis Koran Jubi dan www.arsip.jubi.id juga koordinator Komunitas Sastra Papua
Editor: Timo Marthen