Jurnalis di Papua harus menjadi pilar demokrasi

Webinar tentang Jurnalis di Papua
Poster webinar “Cerdas Berdemokrasi: Tantangan Jurnalistik di Era Digital”. - Istimewa

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Jurnalis senior Papua, Amir Hamzah Siregar mengatakan jurnalis di Papua harus menjadi pilar demokrasi dalam semua lini kehidupan. Hal itu disampaikan Amir Hamzah Siregar selaku pembicara dalam webinar “Cerdas Berdemokrasi: Tantangan Jurnalistik di Era Digital” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama RRI Jayapura, Selasa (29/3/2022).

“Kita jurnalis menjadi pilar demokrasi. Di mana posisi jurnalis  dalam konteks pilar demokrasi itu? Jurnalis menjadi pilar demokrasi di semua lini kehidupan, mau bidang hukum, ekonomi, dan lain sebagainya,” kata Siregar.

Read More

Siregar mengingatkan bahwa jurnalis  menjadi pilar demokrasi sebagai bentuk kedaulatan rakyat.  “Pertanyaannya adalah bagaimana pilar itu bisa terwujud dalam konteks pemberitaan kita sebagai jurnalis? Agar kita benar-benar menjadi pilar dalam kehidupan berdemokrasi di masyarakat?” tanya Siregar.

Baca juga: Berita yang akurat penting untuk menangkal hoaks

Ia mengatakan seorang jurnalis  perlu membangun relasi yang positif dalam kehidupan bermasyarakat. Siregar menyatakan jurnalis yang melakukan aktivitasnya tidak boleh merusak relasi sosial.

“Misalnya, dalam pemberitaan menyebut satu suku yang bertikai, menyudutkan suku tertentu, itu bisa berimbas kepada sisi negatif dalam pilar demokrasi sebagai kedaulatan rakyat. Di Papua ada banyak suku bangsa. Kalau ada kekacauan muncul dalam pemberitaan, [dan] suku disebutkan, dan terjadi konflik.  Itu mencederai relasi sosial, sehingga berdampak ke daerah di mana suku itu berada,” katanya.

Siregar mengatakan jurnalis harus mampu membangun relasi sosial yang positif kepada semua pihak. “Itu yang paling penting, peran kita jaga sebagai wartawan,” katanya.

Baca juga: Dekan FISIP Uncen: Jurnalis di Papua jangan hanya menulis berita politik

Siregar mengatakan, pada era digital banyak wartawan melakukan kloning berita, dan tidak selektif menaikkan berita. Berbagai pemberitaan dipublikasikan tanpa melihat apakah berita itu membangun relasi positif atau negatif dalam konteks negara demokrasi.

“Membela kedaulatan rakayat itu bukan sebebas-bebasnya. Bukan itu yang dimaksud kebebasan. Kita membuat berita [sesuai ketentuan yang] ada di undang-undang, wartawan harus mengacu ke situ,” katanya.

Siregar mengatakan perkembangan media pada era digital tidak boleh menjadi alasan bagi jurnalis untuk mengejar kecepatan dan efisiensi. Ketelitian dalam meliput berita tetap menjadi tuntutan utama bagi setiap jurnalis.

Baca juga: Warganet di Papua jangan salah gunakan kebebasan dalam bermedia sosial

“Wartawan pada era digital bisa mewawancarai orang menggunakan saluran media apa saja. Itu bentuk positif era digital. Tapi, kerugian yang muncul, karena kita mengejar kecepatan, kita [bisa] membuat berita yang bias atau keliru, mengabaikan keberimbangan atau cover both side. Itu harus dihindari,” kata Siregar.

Siregar mengatakan ia sering menjumpai wartawan yang tidak kritis ketika meliput jumpa pers, sehingga segala hal yang disampaikan narasumber diberitakan. Ia menekankan wartawan harus bersikap kritis, dan berani mengatakan “salah” kepada narasumber yang salah.

“Saya melihat beberapa berita rekayasa. Berita [yang] merusak relasi sosial masyarakat itu tidak [bisa] dibenarkan.  Kalau mau cari berita, kejar narasumbernya, lalu konfirmasi lagi, verifikasi, dan membuat berita itu berimbang, baru kita publikasikan. Apalagi di Papua ini rawan,” katanya.

Baca juga: LBH Pers gelar pelatihan hukum bagi jurnalis dan CSO Papua

Siregar mengkritik wartawan yang bekerja asal-asalan, yang penting mendapat uang. “Akhirnya muncul bahasa [kasar] dalam pemberitaan yang bisa merusak relasi sosial. Itu juga harus dihindari,” katanya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih, Marlina Flassy  SSos MHum PdD selaku pembicara dalam webinar yang sama menyatakan warganet di Tanah Papua dapat mempergunakan kebebasan berekspresi di dunia nyata maupun di media sosial dengan baik. Menurutnya, warganet harus selalu menjaga etika dalam berkomunikasi, dan menghindari penyebaran berita bohong atau hoaks.

Flassy menyatakan warganet harus memahami kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan yang tanpa batas. “Pemerintah Indonesia telah mengatur kebebasan, termasuk kebebasan dalam menyampaikan pendapat di ruang publik maupun di media massa. Ada batasannya,” kata Flassy.

Flassy menegaskan setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di media sosial maupun media arus utama. Akan tetapi, kebebasan berpendapat itu jangan menjadi sumber perpecahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Warganet di Tanah Papua juga harus menggunakan etika berkomunikasi dalam kehidupan di Tanah Papua yang majemuk.

“Kita bangsa berbudaya, dan bangsa  yang multi etnis, dari Sabang sampai di Merauke. Setiap berita atau informasi yang kita sampaikan kepada publik, baik di dunia nyata maupun di media sosial, [harus] tetap menjaga etika dan sopan santun, agar tidak memecah belah. Berita hoaks diproduksi oknum warganet yang tidak bertangung jawab. Kita harus menjaga kekerabatan sesama orang Papua, juga warga nusantara lainnnya,” kata Flassy. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply