Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Jurnalis Jubi, tirto.id dan The Jakarta Post berbagai pengalaman saat berkolaborasi melakukan liputan mendalam pascaunjuk rasa yang meluas menjadi rusuh di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua pada 23 September 2019.
Kontributor The Jakarta Post, Syofiardi Bachyul mengatakan, sepekan lebih pascaperistiwa Wamena yang menyebabkan korban jiwa, korban luka dan kerugian materil, jurnalis Jubi, jurnalis tirto.id dan The Jakarta Post sepakat membuat liputan mendalam untuk menggali fakta yang luput dari pemberitaan media lain.
Pernyataan itu dikatakan Syofiardi dalam diskusi online “Wamena investigation: What the government is not telling us” dengan moderator Victor Mambor dari Perkumpulan Jubi, Rabu (24/6/2020).
Menurutnya, setelah peristiwa Wamena media lebih banyak memuat informasi dari pemerintah dan aparat keamanan. Akan tetapi data jumlah korban yang disampaikan ke publik tidak detail. Bahkan ada korban dari kalangan orang asli Papua tidak terdata.
“Ini menjadi pertanyaan, fakta seperti apa yang terjadi di Wamena? Memang waktu hanya sepekan di Wamena tidak cukup melakukan penelusuran lebih luas, sehingga kami fokus pada topik kami,” kata Syofiardi.
Katanya, sebelum meliput ke Wamena ia dan tim terlebih dahulu mengumpulkan berbagai data, dan informasi yang dibutuhkan. Bertemu sejumlah pihak terkait termasuk Gubernur Papua, Lukas Enembe.
“Satu hal yang saya rasa masih terbengkalai atau diabaikan, penyebab dari konflik itu. Sejauh mana penelusurannya, prosesnya, dan bagaimana penyelesaian akar masalah agar tidak terulang lagi,” ujarnya.
Ia berpendapat, kejadian di Wamena mestinya menjadi prioritas media-media besar dalam pemberitaan. Mengirim wartawan ke lokasi agar dapat memberitakan sesuai fakta dan tidak terjadi simpang siur informasi, karena jurnalis tidak berdiri di satu etnis. Tidak masuk di antara pihak yang berkonflik. Jurnalis hanya mencari fakta dan menggali apa yang diabaikan atau tidak diungkap media lain.
Dalam diskusi yang sama Editor tirto.id, Fahri Salam mengatakan sejak awal tim telah mendiskusikan apa yang akan ditulis. Fakta yang belum diberitakan atau diungkap media tentang peristiwa Wamena.
“Saat itu narasi dari sisi orang [asli] Papua belum banyak ditulis,” kata Fahri.
Dalam melakukan liputan fakta di balik peristiwa Wamena, berbagai kendala dialami tim. Misalnya adanya kecurigaan dari orang asli Papua, yang menyebabkan sulitnya menggali banyak informasi dari mereka.
“Beruntung Jubi memiliki banyak jaringan dan dipercaya orang [asli] Papua. Saya bisa bilang, baru tim kami yang bisa menggali banyak informasi dalam peristiwa Wamena dari orang asli Papua. Kami mendapat akses ke perkampungan di pinggir Kota Wamena, bertemu tokoh agama, tokoh masyarakat dan lainnya,” ujarnya.
Editor The Jakarta Post, Evi Mariani mengatakan pihaknya memutuskan menggunakan data korban orang asli Papua dalam hasil liputan peristiwa Wamena, karena korban data korban dari kalangan warga perantau telah diberitakan banyak media.
“Banyak hal yang tidak disampaikan pemerintah [dalam peristiwa Wamena],” kata Evi.
Editor Jubi, Aryo Wisanggeni menambahkan ia dan tim berangkat ke Wamena melakukan liputan dengan beban pikiran yang begitu berat, sebab ketika itu opini yang terbangun di publik warga perantau yang menjadi korban dalam peristiwa itu.
“Pekerjaan rumah meliput peristiwa seperti ini, bagaimana menggali fakta tanpa menimbulkan luka baru [terhadap korban]. Tanpa mengabaikan siapapun korbannya,” kata Aryo.
Katanya, tim liputan yang dibentuk pihaknya saat itu ingin memberikan gambaran kepada publik jika masalah di Wamena tidak sesederhana yang tergambar di berbagai media saat itu.
Ketika itu, kebanyakan media dalam pemberitaannya, selalu menempatkan warga perantau sebagai korban. Padahal saat peristiwa, banyak orang asli Papua menyelamatkan warga perantau.
“Memang jurnalisme tidak bisa menggambarkan sesuatu secara utuh. Tapi kita coba menggali kesaksian dari mereka yang dengan berani menolong warga perantau saat kejadian,” ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga