Papua No.1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Anggota komisi bidang hukum, HAM, dan keamanan DPR Papua, Emus Gwijangge menilai kasus MG merupakan bentuk teror psikis atau mental terhadap orang asli Papua.
Ia mengatakan, kejanggalan dalam penanganan kasus MG, yang dipertanyakan kuasa hukum dan berbagai pihak terbukti di pengadilan.
Putusan sela majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 April 2020, menolak dakwaan jaksa penuntut umum terhadap MG. Majelis hakim menyatakan penuntutan terhadap MG harus dihentikan, dan ia dikeluarkan dari tahanan karena berstatus anak.
MG yang ditangkap pada 12 Mei 2020, sebelumnya terancam pidana maksimal hukuman mati karena dituduh terlibat pembunuhan 17 pekerja jalan Trans Papua di Kabupaten Nduga pada 2 Desember 2018.
“Saya melihat mungkin itu, negara melakukan semacam intimidasi atau teror secara mental karena anak ini masih dibawah umur, dan tidak ada bukti kalau dia masuk dalam anggota TPN/OPM [dan terlibat pembunuhan] seperti yang dituduhkan,” kata Emus Gwijangge melalui panggilan teleponnya, Selasa (11/8/2020).
Menurutnya, mestinya penegak hukum yang menangani kasus MG jeli melihat masalah itu sejak awal. Tidak membabibuta, langsung menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa alasan yang dapat dibuktikan.
“Harus dipastikan semua masalahnya dulu. Apakah benar atau tidak. Dalam kasus ini negara telah keliru,” ujarnya.
Katanya, meski MG telah bebas akan tetapi ia menilai masalah ini belum tuntas. Masih ada sesuatu yang diduga disembunyikan di balik kasus tersebut.
“Pihak penegak hukum yang menangani kasus ini mesti bertanggungjawab. Apa sebenarnya skenario dibalik itu, namun tujuannya tidak tercapai,” ujarnya.
Kata Emus Gwijangge, berbagai kejanggalan dalam proses hukum tidak hanya terjadi dalam kasus MG. Hal serupa sering dialami masyarakat berbagai daerah di Papua.
Ia berharap, ke depan tak ada lagi masyarakat Papua yang dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan tanpa dapat dibuktikan.
“Dalam penanganan perkara, mestinya penyidik memiliki data akurat, sebelum menetapkan seseorang bersalah,” ucapnya.
Sebelumnya, penasihat hukum MG, Mike Himan mengatakan pada 8 April 2020, putusan sela majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak dakwaan jaksa terhadap kliennya.
Dalam putusan sela itu, majelis hakim menyatakan penuntutan terhadap MG harus dihentikan, dan terdakwa dikeluarkan dari tahanan karena berstatus anak. Mestinya kasus ini dibawa ke peradilan anak, bukan peradilan umum.
Katanya, putusan sela itu diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 13 Juli 2020, yang menolak banding dari Jaksa Penuntut Umum.
“Ini juga salah satu pukulan telaklah bagi jaksa yang ada di Papua, maupun penyidik agar ke depannya hati-hati dalam proses penanganan anak-anak di bawah umur seperti ini. Harus dibuktikanlah dengan baik-baik agar perlindungan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum mereka itu bisa dapatkan hak-hak mereka,” kata Mike Himan.
Menurutnya, ada berbagai hal yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam kasus ini. Di antaranya, saat penyidikan hingga pelimpahan berkas perkara kepada jaksa, terdakwa tidak didampingi penasehat hukum dan penerjemah.
Padahal MG yang terancam pidana hukuman mati itu, tidak tahu membaca, menulis, juga tak bisa berbahasa Indonesia. Ia juga tidak tahu tanggal, bulan dan tahun kelahirannya.
Hasil pemeriksaan gigi oleh Tim Kedokteran Gigi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung membuktikan, usia MG berkisar 16 tahun hingga 18,9 tahun. Diperkirakan saat kasus pembunuhan terjadi, MG baru berusia sekitar 15 tahun lebih.
Awal pekan lalu, MG yang di antar penasihat hukumnya dari Jakarta, telah tiba Jayapura. Ia kemudian akan melanjutkan perjalanan ke kampungnya di Nduga untuk bertemu keluarganya. (*)
Editor: Edho Sinaga