Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Koordinator Jaringan Damai Papua, Pastor Jhon Bunay mengatakan pihaknya akan berupaya mempertemukan para aktor konflik di Papua untuk membangun jalan menuju Dialog Papua. Dialog Papua diharapkan dapat membicarakan solusi atas rumusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI tentang empat akar masalah konflik Papua.
Hal itu dinyatakan Pastor Jhon Bunay di Jayapura, Papua, Selasa (28/1/2020). Ia menyatakan Jaringan Damai Papua (JDP) juga ingin melibatkan masyarakat adat di Papua untuk membicarakan empat akar masalah Papua yang dirumuskan LIPI. Sejumlah empat akar masalah itu adalah stigmatisasi dan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan, dan kontroversi status serta sejarah politik Papua.
“Empat akar masalah di atas harus dibicarakan di para-para tujuh wilayah adat yang ada di Tanah Papua. [Pembicaraan itu dilakukan] dengan melibatkan masyarakat adat untuk menyelesaikan persoalan Papua. Tugas kami JDP adalah pertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk membicarakan akar masalahnya melalui mekanisme dialog,” kata Pastor John Bunay.
Ia menyatakan konflik di Papua telah berlangsung sejak Papua akan diintegrasikan ke dalam Indonesia pada 1961. Proses integrasi itu tidak berjalan benar, sehingga menyisakan masalah hingga saat ini. “Indonesia mengaku integrasi Papua ke Indonesia sah. Sementara orang Papua tidak mengakui integrasi [itu sah], sehingga terjadi konflik yang berkepanjangan antara kedua kubu. Fakta yang terjadi hari ini-seperti konflik di Kabupaten Nduga, Intan Jaya dan Nabire-semua terjadi karena proses integrasi yang cacat hukum,” katanya.
Bunay menyatakan LIPI sudah jelas merumuskan konflik Papua berkepanjangan karena perbedaan versi status politik itu tidak kunjung dibicarakan dan dicarikan penyelesaian. “Untuk menyelesaikan persoalan status sejarah, para aktor proses integrasi musti dilibatkan, temasuk orang Papua. Tugas JDP menfasilitasi [para aktor] untuk duduk bersama meluruskan sejarah dan status politik itu secara bersama-sama, agar polemik panjang itu bisa diakhiri,” katanya.
Bunay mengatakan pembicaraan tentang sejarah status politik Papua harus dilakukan secara transparan dan bermartabat. Ia mengingatkan, perbedaan versi itu terus menimbulkan protes dari banyak orang Papua, dan dibalas aparat Negara dengan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kini, berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM itu juga harus dibicarakan dan dicarikan solusi.
“Kekerasan dan pelanggaran HAM yang sudah pernah terjadi sejak tahun 1965. Sejak tahun itu hingga saat ini belum dipecahkan secara adil. Sehingga perlu sebuah dialog untuk penyelesaian persoalan di Tanah Papua,” katanya.
Menurut Bunay, para pihak yang bertikai harus duduk bersama dan masing-masing mengakui bahwa dulu pernah berbuat salah.“Setelah mengakui dengan hati yang lapang dan bermartabat, kita berbicara. Kita selesaikan pelanggaran HAM dan kasus kekerasan yang terjadi selama ini. Kalau persoalan itu ditutupi dan seolah di Papua ini tidak ada masalah, itu justru menyembunyikan persoalan yang sebenarnya,” katanya.
Bunay melihat berbagai kampanye Indonesia kepada masyarakat internasional tentang pendekatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur untuk menyelesaikan konflik Papua telah mentah, karena berbagai peristiwa kekerasan baru terus terjadi di Papua.“Oleh sebab itu, tanpa saling mencurigai [atau] saling menuding, mari kita duduk bersama berdialog untuk perdamaian. Jika kita tidak berkomunikasi, persoalan akan terus berkepanjangan,” katanya.
Pemerintah Indonesia juga harus menuntaskan persoalan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua. Indonesia masih menempatkan Papua sebagai warga negara kelas dua, antara lain terlihat dari cara Indonesia yang selalu mengalihkan pembicaraan persoalan Papua dengan berbagai cara, termasuk memberi jabatan kepada orang Papua yang kritis.
“Ketika orang Papua menuntut merdeka, kemudian orang Papua itu diembel-embeli jabatan, dikasih posisi strategis di pemerintahan maupun birokrasi. Negara bermurah hati memberi otonomi khusus Provinsi Papua dan menempatkan putra-putri asli Papua di jabatan yang strategis karena ada satu tuntutan, yaitu Papua merdeka,” katanya.
Bunay menilai praktek ini justru memperlihatkan bagaimana Indonesia melakukan diskriminasi struktural kepada orang Papua. “Jika praktik itu diulang terus-menerus, juga tidak akan menyelesaikan persoalan diskriminasi. [Praktik itu] justru akan menyemai persoalan yang tak kunjung usai,” kata Pastor John Bunay.
Bunay mengatakan Indonesia juga membiarkan praktik rasisme yang terjadi sejak lama. Praktik rasisme sejak lama itu membuat aparat negara salah menangani persoalan rasisme Papua di Surabaya, hingga memicu gelombang protes dan unjukrasa dari puluhan ribu orang Papua. “Negara masih memandang orang Papua terbelakang, miskin, tidak mampu. Ini pandangan diskriminatif yang kemudian bisa membuat orang Papua marah,” katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G