Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Kejaksaan Agung ungkap kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada periode 2013-2019. Kotupsi itu merugikan negara hingga Rp2,6 triliun dilakukan oleh enam orang tersangka yang
berkaitan dengan proses pemberian pembiayaan kepada para debitur di sejumlah perusahaan tak melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
“Tidak sesuai dengan Aturan Kebijakan Perkreditan LPEI sehingga berdampak pada meningkatnya Kredit Macet/Non-Performing Loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kamis (6/1/2022) kemarin.
Baca juga : Kejagung sita mobil mewah dan aset kekayaan tersangka kasus korupsi Asabri
Terdakwa korupsi Asabri Heru Hidayat dituntut hukuman mati
Lima terdakwa korupsi Asabri dituntut 10 hingga 15 tahun penjara
Leonard menyebut perusahaan pembiayaan tersebut mengalami kerugian tahun berjalan hingga Rp4,7 miliar hingga 31 Desember 2019 lalu. Runtuhnya proses pemberian kredit tersebut tak terlepas dari peran para tersangka yang berasal dari unsur internal ataupun eksternal perusahaan.
Sedangkan para tersangka ialah Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta 2016 Josef Agus Susanta, Direktur Pelaksana IV sekaligus Direktur Pelaksana III LPEI Arif Setiawan, dan Kepala Divisi Pembiayaan UKM LPEI 2015-2018 Ferry Sjaifullah.
Termasuk dua tersangka lain berasal dari pihak swasta yakni Suyono selaku Direktur PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia, PT Borneo Walet Indonesia (Grup Walet) serta Direktur PT Mount Dreams Indonesia Johan Darsono.
Menurut Leonard, kerugian negara tersebut timbul lantaran LPEI memberi fasilitas pembiayaan terhadap delapan grup usaha yang terdiri dari 27 perusahaan terpisah. “Proses itu tak sesuai aturan hingga mengakibatkan perusahaan mengalami kolektibilitas lima atau macet,” kata Leonard menjelaskan.
Grup usaha pertama yang mendapat kucuran biaya dari LPEI ialah Group Walet yang terdiri atas tiga perusahaan. Total, grup ini mendapatkan fasilitas pembiayaan sebesar Rp576 juta yang terpisah antar perusahaan.
Tercatat tiga perusahaan dimaksud ialah CV Mulia Walet Indonesia yang mendapat pembiayaan sebesar Rp175 juta. Kemudian PT Jasa Mulya Indonesia sebesar Rp276 juta dan PT Borneo Walet Indonesia sebesar Rp125 juta.
“Akibat kerugian keuangan negara maka penyidik menetapkan tersangka,” katanya.
Dalam pembiayaan ke grup usaha ini, Kejaksaan menduga tersangka Arif berperan sebagai pemutus proses pembiayaan dari awal hingga akhir terhadap Group walet. Kemudian, usaha kedua yang diduga mendapat kucuran pembiayaan tanpa sesuai aturan hukum ialah Group Johan Darsono yang terdiri atas 12 perusahaan.
“Bahwa untuk Group Johan Darsono, total Fasilitas Pembiayaan yang diberikan LPEI sebesar lebih kurang Rp2,1 triliun,” ujar Leonard menambahkan.
Sebelum penetapan tersangka, kasus itu bergulir dengan cukup alot di Kejaksaan Agung. Bahkan, penyidik menetapkan pengacara bernama Didit wIjayanto Wijaya dalam perkara korupsi tersebut sebagai terasngka karena diduga merintangi penyidikan.
Ia diduga meminta agar para saksi tidak memberikan keterangan pada Kejagung. Akibatnya, penyidik Kejagung kesulitan menyelesaikan kasus dugaan korupsi ini.
Didit kemudian ditangkap penyidik setelah dua kali mangkir dari pengggilan pada 26 dan 30 November. (*)
CNN Indonesia
Editor : Edi Faisol