Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kehadiran investasi yang masif di Tanah Papua dalam beberapa tahun terakhir, merampas hak-hak perempuan adat di sana.
Peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Rassela Melinda, mengatakan pihaknya menemukan hilangnya hak pakai dan hak kelola perempuan atas tanah adat pada berbagai wilayah di Tanah Papua. Ini berdasarkan penelitian dan pendampingan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, terhadap pekerja Hak Asasi Manusia atau HAM atas lingkungan pada beberapa kabupaten di Papua dan Papua Barat selama 2020.
Pernyataan itu dikatakan Rassela saat peluncuran laporan dan diskusi daring “Kondisi Pembela HAM atas Lingkungan di Tanah Papua” yang digelar Yayasan Pusaka Bentara Rakyat, Senin (11/1/2021).
“Hari ini yang dominan menjadi korban atau mengalami ancaman lebih banyak kaum laki-laki. Akan tetapi bukan berarti perempuan tidak. Hanya saja konteksnya berbeda,” kata Rassela.
Menurutnya, perempuan adat di Tanah Papua memiliki konteks sosial dan historis dalam mengelola sumber daya alam di tanah adat, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Corak produksi perempuan adat di setiap wilayah berbeda-beda, sesuai substansi masing-masing suku. Ada yang berkebun, meramu. dan lainnya. Sistem ini berlangsung dari generasi ke generasi dan berkelanjutan.
Akan tetapi masalah muncul ketika terjadi pergeseran atau alih fungsi tanah adat, seiring masuknya investasi perkebunan dan pertambangan. Perlahan investasi menggeser peran perempuan dan mengubah tatanan sosial. Beberapa perempuan kehilangan akses atas pengelolaan sumber daya alamnya.
“Perempuan Papua terlempar sebagai buruh upahan harian. Ketika tanah mereka berpindah tangan ke perusahaan, mereka menjadi buruh tanah. Ini menjadi masalah,” ujarnya.
Katanya, dalam situasi ini perempun adat di Tanah Papua tak lagi bisa mengatur waktunya. Banyaknya waktu yang tersita sebagai buruh perusahaan tak jarang membuat mereka tidak lagi bisa melakukan aktivitas sosial, berinteraksi dengan warga lain.
“Mereka dituntut mesti bisa membagi waktu, bekerja, dan mengurus keluarga. Ini juga situasi rentan menimbulkan konflik dalam keluarga,” ucapnya.
Selain itu, kata Rassela, ketika investasi masuk, hak pakai dan hak kelola tanah adat oleh kaum perempuan mulai dipermasalahkan pemilik tanah, meski itu adalah komunitas suku mereka. Padahal sebelum ada invetasi, hal tersebut tidak dipermasalahkan.
Situasi ini terjadi, karena pihak korporasi meminta kejelasan status tanah adat. Pemilik tanah ulayat juga mulai menandai batas tanah tanah mereka.
“Perempuan akhirnya kehilangan hak kelola pakai yang sebelumnya tak pernah dipermasalahkan sebelum ada investasi. Perempuan dalam masyarakat adat Papua kan hanya memiliki hak pakai pengguna atau hak kelola atas tanah adat, dan sumber daya alam komunal. Bukan sebagai penyandang hak milik,” katanya.
Situasi ini kemudian memicu munculnya perlawanan dari kaum perempuan di beberapa daerah di Tanah Papua. Mereka mengorganisir kekuatan dari sesama kaumnya untuk saling mendukung.
Dari hasil penelitian, Yayasan Pusakan Bentala Rakyat menemukan kaum perempuan di Tanah Papua melakukan metode berbeda dengan para pria dalam upaya menolak kehadiran investasi. Jika laki-laki yang menolak investasi, sering beraksi di lapangan dengan pemalangan, membatasi atau menandai tanah adat mereka dan lainnya. Kalau kaum perempuan pada umumnya lebih cenderung mengulas kembali filosofi tanah adalah mama.
“Berbagi cerita pentingnya peran dan kehadiran perempuan pada zaman dulu. Namun cara ini bukan berarti membuat perempuan adat di Tanah Papua luput dari ancaman,” kata Rassela.
Tak jarang, kata Rassela, ancaman terhadap mereka datang dari keluarga terdekat yang mendukung investasi, misalnya dari saudara atau bahkan orangtuanya. Bentuk ancaman berupa intimidasi dan ancaman verbal. Kaum perempuan dilarang bersuara karena dianggap bukan penyandang hak milik sehingga kehilangan hak bicara.
“Padahal mereka (kaum perempuan) sebenarnya yang paling terdampak. Akan tetapi pada akhirnya tak punya hak bicara. Yang saya amati mereka dilarang tidak perlu bicara banyak karena tak punya hak dan lainnya,” katanya.
Pengacara publik dan tim advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea, mengatakan selama tahun 2020, pihaknya melakukan penelitian dan pendampingan di beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat. Di antaranya, Kabupaten Boven Digoel, Papua dan Kabupaten Sorong Selatan, Sorong, dan Manokwari, Papua Barat.
“Ini daerah yang tinggi investasi tanahnya. Korban kehadiran adalah individu dan komunitas masyarakat. Masyarakat adat dan perempuan yang mempertahankan hak atas tanahnya,” kata Tigor.
Ia menambahkan, sudah lama Tanah Papua menjadi incaran investor dari dalam dan luar negeri. Kini ada banyak tanah adat di berbagai wilayah Tanah Papua mendapat konsesi perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan.
“Di wilayah selatan Papua dan Sorong dalam beberapa waktu terakhir invetasi begitu kuat. Ada banyak perusahaan masuk. Juga program pemerintah terkait perkebunan di sana. Namun harus berhadapan dengan masyarakat adat di sana,” ucapnya. (*)
Editor: Yuliana Lantipo