Inilah penyebab kegagalan atletik Papua di PON Jabar

Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,

Jayapura, Jubi – Konsultan cabang olahraga atletik Papua, Hans-Peter Thumm mengirimkan hasil analisanya atas kegagalan cabang olahraga atletik Papua dalam PON XIX di Jawa Barat bulan September lalu kepada Jubi. Ia menyoroti ketidak mampuan pelatih dalam mempersiapkan program latihan, kehadiran “turis” hingga soal mabuk yang terjadi dalam kontingen PON Papua yang berlaga selama PON XIX sebagai faktor penting kegagalan.

Hans-Peter Thumm yang bergelar Doktor dan menjadi konsultan pelatih untuk Federasi Atletik Jerman ini didatangkan oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Papua untuk menambah strategi dan tekhnik tim Atletik Papua yang berlaga pada Pra PON dan PON XIX Bandung Jawa Barat.

Berikut ini analisa Hans-Peter Thumm yang dikirimkan kepada redaksi Jubi, Selasa (25/10/2016).

I. Alasan-alasan mengapa Atletik gagal dalam PON 2016

Dua pertanyaan pertama :
– Bagaimana bisa sebuah provinsi yang memiliki potensi terbesar untuk atletik di Indonesia (hal yang juga diakui oleh provinsi-provinsi lain) hanya mengantongi 4 medali dalam PON?
– Mengapa KONI dan PASI mengabaikan laporan yang ditulis oleh konsultan sebelumnya lalu malah membuat keputusan sendiri untuk PON 2016?

A) Umum
1. Tidak adanya "Konsep Pengembangan/Pembinaan" dari PASI dan DINAS Olahraga, dimana Papua belum mampu menciptakan secara luas "budaya atletik" di seluruh provinsi.

2. Oleh karena itu nomor event yang berbeda-beda (nomor lompat, nomor lari jarak menengah/jauh, putra dan juga atletik untuk putri pada umumnya), dapat dikatakan 80% dari potensi yang tersedia telah
diabaikan! Konsekuensinya secara otomatis: Papua hanya bisa berpartisipasi dalam 13 nomor dari 44 yang dilombakan. Dengan demikian artinya adalah Papua kehilangan banyakkesempatan untuk memenangkan medali.

3.  Kualitas 'melatih' di papua benar-benar ada pada tingkat yang terendah! Kebanyakan pelatih semata-mata bergantung pada pengalaman masa lalu mereka sebagai atlet dan jauh dari segala aspek ilmiah.
Standar pendidikan pelatih-pelatih di PPLP / PPLM di bawah Dinas olahraga  tidak memungkinkan mereka untuk menangani pencarian bakat luar biasa ataupun menangani atlet-atlet berprestasi tinggi untuk dapat berkompetisi seperti dalam PON ini.

4. Tidak adanya kompetisi-kompetisi secara teratur dari waktu ke waktu di semua 29 kabupaten oleh PASI / Dinas Olahraga. Bagaimana kita ingin memotivasi / menarik pemuda untuk meminati atletik, sementara sepak bola, basket dan olahraga lainnya menawarkan berbagai kesempatan seperti itu dari minggu ke minggu? Kurangnya peralatan seharusnya tidak menjadi alasan yang umum.

B) Khusus (menuju PON)
5. Hanya 6 orang pelempar saja yang menjajal satu-satunya kompetisi yang tersedia selama persiapan ini (Babel 21-22 Mei 2016), sebagai ujian untuk PON. Semua pelatih dari pelari menyatakan "merasa tidak siap" untuk bersaing, bahkan mereka tahu atau menyadari bahwa akan sulit mendapat kesempatan kedua untuk dapat mengukur perkembangan atlet-atletnya. Mereka melewatkan kesempatan ini, dan hanya "bermimpi" akan ada kompetisi lain yang ditawarkan oleh KONI.

6. Menghadapi masalah yang luar biasa akan kurangnya peralatan, pada tanggal 1 Mei 2016 konsultan telah memberikan kepada KONI daftar sejumlah 64 buah peralatan yang diperlukan. Sebagai olahraga yang heterogen/berbagai nomor event- seperti atletik (24 nomor event) peralatan tersebut tergantung pada berbagai jenis yang berbeda-beda. Sampai saat PON tiba – kecuali beberapa item – KONI tidak mampu menyediakan peralatan yang diperlukan. Meng-Improvisasi jenis peralatan yang akan digunakan untuk latihan adalah pekerjaan yang rutin dari hari ke hari.

7. Sebelum memulai Kontrak Kerja dengan Konsultan, kebanyakan pelatih atletik tidak dapat memberikan atau menunjukkan program latihan yang kongkrit/jelas (pernyataan ini disampaikan oleh bapak John Banua). Ia telah meminta pelatih untuk menunjukkan program latihan yang dibuat.

Pertama kali bahwa mereka harus diajarkan bagaimana menuangkan/ mencantumkan program latihan mereka untuk dituliskan ke dalam kertas dan mengajarkan bagaimana bekerja sistematik dari bulan ke bulan ("siklus meso").
"Sistem" kami berjalan dengan baik dan suatu peningkatan yang signifikan dari kebanyakan atlet telah dicatat dan dapat dilihat pada 2 (dua) "performance test / uji prestasi" (dilaksanakan pada akhir April /akhir Juni – dapat dilihat pada laporan I / II yang diserahkan ke KONI) dimana test ini meliputi "Periode Persiapan Umum" menuju PON.

8. Untuk bulan-bulan terakhir (Juli-September) program perencanaan latihan yang harus dipindahkan ke dalam program "Periode Persiapan Khusus" sebagaimana hal ini menjadi Kunci-Utama situasi bagi semua pelatih. Semua program latihan dan jadwal latihan yang mereka buat harus direvisi dan telah diadakan konsultasi dengan pelatih satu persatu karena masih kurang/tidak jelasnya bagi pelatih-pelatih tersebut untuk membedakan atau mengetahui perperbedaan yang sebenarnya antara Program "Umum" dan "Khusus" (= dimana sesuai dengan nomor-nomornya event).

Pada saat/point itu berjalan, kesuksesan kita menuju PON menjadi sesuatu yang terbelit, karena ke-empat rekan kami yaitu Dominggus Lutrun, Yanes Raubaba, Alfred Andarek dan Juliana Effendi (Juliana bekerja di Jakarta dan tidak terkontrol oleh KONI) sepertinya tidak dapat menerima dibuatnya koreksi-koreksi yang diperlukan dan tampaknya tidak dapat menunjukkan dan menyerahkan program latihan dari bulan itu sampai dengan PON yang semestinya dbuat untuk atlet-atlet mereka

Sementara itu tampaknya Juliana mendelegasikan latihan di Jakarta kepada orang lain. Tiga pelatih lokal meninggalkan atlet mereka tanpa program latihan dan pelatih-pelatih ini berkonsentrasi untuk tugas-PPLP dan tugas lain di Dinas Olahraga atau pekerjaan lain selama berminggu-minggu.

Untuk menangani permasalahan latihan ini, pelatih lain harus menyeimbanginya dengan membantu menangani latihan dari atlet-atlet yang terlantar tersebut. Terutama junior Dominikus Ndiken, Amatus Somagai, Samuel Gebze yang telah dipanggil oleh Dominggus dari Merauke agar datang ke Jayapura untuk PON,  yang akhirnya kehilangan ritme mereka. Pada saat yang sama Dominggus gagal menjalankan tugasnya sebagai koordinator yang bertugas mengkoordinir semua kelompok dalam
 atuan tugas PON ini (kami merujuk tugas Dominggus yang dijelaskan oleh bapak John Banua kepada kami saat kami memulai tugas ini sebagai Konsultan)

Meskipun rekomendasi yang kuat (Laporan III / IV) telah dibuat namun KONI dan PASI tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan beberapa pelatih tersebut dari tim. Demikian juga beberapa atlet yang malas.

Semua saran-saran dari konsultan telah diabaikan. Hari ini kita tahu, bahwa hampir semua atlet yang ditangani empat pelatih ini gagal dalam PON.

9. Selama masa sulit ini Ketua PASI (Mr. Kambuaya) – jarang terlihat sebelumnya dalam latihan kami – bersikeras untuk mengadakan test yang kurang-masuk akal alasannya pada tanggal 3 Agustus 2016 yang penyelenggaraannya diorganisir seseorang yang tidak memenuhi tanggungjawab atas tugasnya sendiri (Dominggus Lutrun).

Semua atlet pelempar dapat dikonfirmasi mengenai penampilan prestasi mereka, namun beberapa pelari "dapat berjalan bebas" untuk pergi ke PON tanpa mengikuti test/uji yang diadakan tersebut Untuk tiga pelari 100m terbaik kami (1- Amatus, 2- Samuel, 3- Marten) test/uji yang diadakan telah menjadi kekecewaan besar, karena setelah itu mereka tiba-tiba diberitahu oleh PASI mereka tidak diperkenankan bertanding di Bogor dikarenakan peraturan dari PB-PON.

Bukannya meminta pendapat dari konsultan, Dominggus yang telah juga diberikan mandat oleh Kambuaya dan Mr. Wattimena (di Jakarta) untuk menentukan tim-akhir untuk PON 2016 !! smalah membuka “pintu-belakang” untuk berbagai "turis" (= contohnya seperti yang tak-berprestasi seperti Julian Emigail, Selly Yoku). PASI/KONI sekarang harus mengambil tanggung jawab penuh atas "kegagalan" ini. Kualifikasi seperti ini yang tidak dapat ditanyakan saat Pra-PON hendaknya saat ini lebih baik diperhitungkan dari prestasi yang aktual.

10. Nominasi "tim-manager" kami (Bupati F. Gebze / Merauke) diterima/ diberitahukan kepada kami dengan terlambat, akan tetapi beliau juga telah mendapat informasi (copy laporan Meso III / IV) oleh konsultan mengenai bagaimana situasi tim atletik yang ada. Jika beliau benar-benar telah mempelajari laporan yang diberikan, maka pencalonan Dominggus (atau yang bersangkutan telah mengangkat dirinya sendiri?) sebagai sekretarisnya mungkin tidak terjadi .

Untungnya Mr. Erwin (Assistant Manager) bertindak atas nama Bupati bisa menangani semua masalah kita sehari-hari sebelum PON (Mandala) dan selama di Bogor. Begitu juga segala hal yang perlu diurus di Bogor telah di hadapi penangannya oleh pelatih Don Bosko, bukannya Dominggus yang menjabat sekretaris.

11. Hasil kompetisi berikut memberikan bukti yang jelas bahwa para pelatih dan para atlet yang mengikuti secara konsekuen program latihan dari April-September dibawah arahan konsultan terbukti dapat atau bisa mencapai puncak-nya pada saat yang paling penting (dengan medali atau tanpa medali). Sedangkan kebanyakan para pelatih dan atlet-atlet yang telah meninggalkan strategi kami pada bulan Juli / Agustus (bekerja tanpa program latihan yang pasti/jelas) tidak bisa memberikan hasil yang diharapkan.

Mereka yang berada pada puncaknya ketika pada saat yang paling penting :

12.  Sebagian besar atlet kami menggunakan telepon yang berakibat mengganggu fokus mereka pada target bertanding mereka. Bertambah banyaknya jumlah orang-orang disekitar mereka baik itu di luar dan/atau di dalam hotel menjadi risiko lain. Beberapa atlet dan pelatih yang hanya sebagai wisatawan (sosok tanpa-prestasi), teman-teman "pengamat" dan “keamanan" yang tidak jelas – hadir selama kegiatan kompetisi tingkat tinggi seperti ini. Para atlet yang cukup matang sebenarnya tidak memerlukan orang-orang seperti ini di lingkungan sekitarnya.

Situasi seperti ini bisa dengan mudah menjadi “tanpa terkendali”. Contohnya ketika seorang anggota Komite KONI (Mr. Ismail Sroyer) mencoba untuk mengganggu dua kali konsentrasi dua atlet kami sebelum pertandingan. Bahkan satu kejadian adalah yang bersangkutan dalam kondisi mabuk di pagi hari (4:15 WIB) pada tanggal 26 September 2016, sebelum kompetisi, mengklaim "sebagai mantan pelatih bertanggung jawab untuk mereka". Pihak keamanan Hotel, KONI dan penjaga kita sendiri
harus diberitahu, bagaimana bisa "orang bodoh" seperti itu menjadi anggota "Tim PON" kita?

C. Kesimpulan
Untuk semua yang memiliki rasa sayang atau mencintai atletik di Papua dari dalam hatinya, PON 2016 ini harus menjadi pembuka mata.  Dalam rangka memanfaatkan potensi yang luar biasa dan untuk menutup celah kekurangan untuk menjadi provinsi terkemuka, Papua sangat membutuhkan adanya generasi baru pelatih-pelatih yang berkualitas (Pendidikan), atlet-atlet (dari Pencarian Bakat – TID) dan konsep yang professional (Masterplan dari konsultan yang telah diserahkan ke Wakil Gubernur) untuk menuju PON 2020.

Singkatnya, masa depan tidak harus lagi dibiarkan/diserahkan kepada kelompok pelatih dan petugas/pejabat/officials yang bertugas seperti pada saat ini, yang mana telah memainkan politik mereka di belakang atau di punggung atletik di provinsi ini.  (*)

Related posts

Leave a Reply