Nabire, Jubi – masyarakat adat Kampung Gamei Disrik Uwapa dan masyarakat Kampung Makimi, Distrik Makimi Kabupaten Nabire melontarkan pernyataan sikap terhadap nawacita Gubernur Lukas Enembe terkait persoalan tambang di wilayah adat kedua suku tersebut.
Ini terutama menyangkut keberadaan salah satu perusahaan tambang yakni PT. Pacific Mining Jaya (PMJ) yang dinilai telah mencaplok hak ulayat tanpa kompromi dengan masyarakat adat.
Pemilik hak ulayat Makimi, Silas Rumbobiar yang juga sebagai salah satu tokoh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) di Nabire menuturkan, Tanah Papua yang terbagi di dalam tujuh wilayah adat yakni wilayah adat Mamta, Saireri, Domberai, Anim Ha, La Pago dan Meepago. tersebar 264 (dua ratus enam puluh empat) suku dan Bahasa (sesuai klasifikasi peta belanda ,1920).
“Yang mana masing-masing suku dan bahasa mempunyai hak ulayat adat dan marga yang melekat dalam tatanan kehidupan sehari – hari,” ujar Rumbobiar vis rilis yang di terima Jubi di Nabire. Rabu (17/07/2019).
Dikatakan, ketika Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sejak tahun 2001, diharapkan lebih mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua (OAP) dari berbagai segi. Baik Pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) , Sumber Daya Manusi (SDM) serta hak-hak adat. Tak dipungkiri, sejak bergulirnya UU Otsus sejak 18 tahun silam , berbagai persoalan menyangkut jaminan – jaminan bagi OAP sebahagian telah dirasakan.
“Seperti, kebebasan masyarakat adat papua dalam memproteksi SDA demi kesejahteraan rakyat Papua,” tuturnya.
Bahkan kata Rumbobiar, pada era Otsus dan kepemimpinan Gubernur Papua, Lukas Enembe hampir enam tahun terakhir, banyak maanfaat yang telah dirasakan seperti peningkatan SDM, pengelolaan SDA yang pro rakyat, menekan angka pengangguran, keperpihakan terhadap masyarakat adat akan hak kepemilikan komunal.
Namun di tengah cita-cita luhur Gubernur Lukas Enembe dalam mendorong Papua bangkit, mandiri dan sejahtera, banyak pula kejanggalan dan memanfaatkan kesempatan oleh oknum – oknum di dalam sistem birokrasi pemerintahan. Seperti, dalam memuluskan kepentingan investor – investor berjubah kapitalis guna menguasai tanah – tanah masyarakat adat akan pengelolan SDA. Khusus di dibidang pertambangan, tanpa diketahui dan disetujui oleh masyarakat pemilik tanah.
“Dan ini tidak sejalan dengan Nawacita Gubernur Enembe serta melukai hati masyarakat adat pemilik tanah. Hari ini kami masyarakat adat Gamei Distrik Uwapa dan masyarakat adat Makimi Distrik Makimi Kabupaten Nabire – Papua sebagai salah satu pemilik komunal tanah adat di kagetkan dengan penguasaan tanah adat kami oleh PT. Pacific Mining Jaya, seluas 10.000 hektar, dengan izin usaha di bidang pertambangan. Ini tak diketahui dan disetujui oleh kami masyarakat pemilik tanah,” ungkapnya.
Adapun pernyataan masyarakat adat Gamei Distrik Uwapa dan masyarakat adat Makimi, Distrik Makimi, Kabupaten Nabire, antara lain :
Segera mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Pacific Mining Jaya, seluas 10.000 hektar di atas tanah adat kami.
Karena IUP tersebut tanpa sepengetahuan kami sebagai masyarakat pemilik tanah. Dan hal tersebut sangat bertentangan dengan undang – undang Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi papua, khususnya Bab XI tentang perlindungan hak – hak masyarakat adat pasal 43 dan 44.
Sejak berlakunya undang – undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, banyak izin-izin yang dikeluarkan oleh dinas-dinas di provinsi Papua bagi para investor tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemilik tanah. Terutama masyarakat adat Gamei dan Makimi.
“Maka, kami meminta segera dilakukan evaluasi terkait izin – izin tambang dan lain sebagainya di atas hak ulayat tanah adat kami. Karena hal ini terkesan memangkas, memasung dan mendiskriminasi masyarakat adat akan hak atas tanah adat kami,” terangnya.
Sementara itu, Pieter Madai kepala Suku Umum Distrik Uwapa menambahkan, berdasarkan tiga pernyataan diatas, pihaknya sangat memohon agar Gubernur Provinsi Papua, DPRP, MRP agar segera menindak lanjuti apa yang disampaikan.
“Sebab investor yang masuk di wilayah kami hanya merusak tatanan kehidupan bahkan banyak membuat ulah terhadap masyarakat kami,” imbuhnya.(*)
Editor: Syam Terrajana