Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf Kawer menilai Negara melalui pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Papua tidak memunyai niat baik untuk menyelesaikan persoalan hak asasi manusia atau HAM di Tanah Papua. Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Papua dinilai sama-sama mengabaikan amanat Otonomi Khusus Papua.
Gustaf Kawer menyatakan Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi Papua. Indonesia juga telah memiliki lembaga yang berwenang menangani pelanggaran HAM di Tanah Papua.
“Seharusnya [pemerintah] bisa menggunakan regulasi dan institusi [yang telah ada] untuk menyelesaikan [berbagai] kasus [pelanggaran HAM] di Tanah Papua. Akan tetapi, Negara [melalui pemerintah] malah menggunakan cara-cara di luar [ketentuan] undang-undang untuk menyelesaikan persoalan,” kata Gustav Kawer kepada wartawan, Senin (11/11/2019).
Kawer meyebut pembentukan tim terpadu penyelesaian pelanggaran HAM di Papua ilegal, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbagai undang-undang telah menyatakan lembaga yang berwenang menangani pelanggaran HAM adalah Komisi Nasional HAM dan Kejaksaan RI.
Kawer mencontohkan keengganan aparat hukum menindak para pelaku rasisme terhadap orang Papua. Padahal, rasisme adalah tindak pidana yang telah dilarang Undang Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Indonesia bahkan juga memiliki Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
“Jika dihitung sampai sekarang, Undang-undang Penghapusan Diskriminasi Rasial sudah 11 tahun berlaku. Akan tetapi UU itu [efektif] belum dijalankan,” kata Kawer.
Kawer juga menyinggung Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang telah mengamanatkan pembentukan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. “Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, tidak mampu [menjalankan amanat itu]. Padahal mandat Otonomi Khusus Papua ada di dalam undang-undangnya,” katanya.
Kawer juga menyoroti keberadaan berbagai lembaga negara yang oleh sejumlah Undang-undang diberi wewenang menangani masalah HAM dan pelanggaran HAM. Akan tetapi, wewenang itu tidak pernah efektif dijalankan.
”Persoalan kita di Papua adalah Komnas HAM [dan perwakilannya di] Papua tidak punya kewenangan penyidikan. Selama ini Komnas HAM hanya memantau [berbagai dugaan pelanggaran HAM], [lalu laporannya] dikirim ke Jakarta. Jakarta tidak buat tim Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM, sehingga penanganan pelanggaran lambat,” kata Kawer.
Kawer menyatakan pemerintah dapat memperbaiki situasi itu dengan memberikan kewenangan kepada Komnas HAM RI untuk melakukan penyidikan berbagai pelanggaran HAM di Papua. penyidikan itu juga harus diberikan kepada Komnas HAM Perwakilan Papua.
“Komnas HAM selidiki apakah ini pelanggaran HAM, menyidik siapa pelakunya. Sama seperti KPK [dalam penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi]. Apabila regulasi diatur dengan baik, korban bisa mendapatkan keadilan melalui proses persidangan. Kalau Komnas HAM diberi kewenangan untuk menyidik, pasti [kasus pelanggaran HAM akan] punya bukti yang cukup untuk disidangkan,” katanya.
Penggagas Rancangan Peraturan Daerah Khusus tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), John NR Gobai mengatakan KKR memang harus segera dibentuk. KKR itu dinilainya penting untuk menyelesaikan sengketa tentang sejarah Papua maupun menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua.
“Pasal 46 Undang-undang Otonomi Khusus Papua menyatakan bahwa KKR harus dibentuk di Papua, untuk memantapan persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itu, Peraturan Daerah Khusus KKR harus ada dulu, untuk menjadi dasar hukum bagi Gubernur Papua mengusulkan pembentukan KKR di Papua,”katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G