Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Koordinator Solidaritas Mahasiswa Papua, Yops Itlay menyatakan pihaknya akan mendatangi Kantor Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua di Jayapura pada Selasa (9/6/2020). Mereka akan mengadukan masalah beratnya tuntutan bagi tujuh tahanan politik Papua yang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, dan meminta ketiga lembaga itu turun tangan.
“Kami [akan] menyampaikan aspirasi terkait tujuh tahanan politik yang didakwa dengan pasal makar, yang noatabene adalah korban rasisme. Kami [ingin] melakukan audiensi dan meminta tujuh tahanan politik itu segera dibebaskan tanpa syarat,” kata Yops Itlay saat ditemuinya di Jayapura, Selasa (9/8/2020).
Ketujuh tahanan politik (tapol) Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca warga Papua berdemonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Ketujuh tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.
Baca juga: Pengacara Tapol Papua diteror dan diserang OTK setelah diskusi #PapuanLivesMatter
Dalam persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ketujuh tahanan politik Papua itu dengan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Itay menjelaskan Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.
Berdasarkan catatan Jubi, tuntutan bagi ketujuh tapol Papua jauh lebih berat dibandingkan hukuman bagi para terpidana dalam kasus rasisme di Surabaya. Pada 3 Februari 2020 lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menghukum Tri Susanti alias Susi tujuh bulan penjara. Terdakwa lainnya, Syamsul Arifin, pada 30 Januari 2020 dihukum lima bulan penjara. Hingga kini tidak ada aparat keamanan yang diadili atas kasus rasisme di Surabaya itu.
Itlay mengatakan tuntutan bagi ketujuh tapol Papua sangat tidak adil. Mereka adalah korban rasisme, namun dituntut hukuman yang lebih berat dibandingkan hukuman bagi pelaku rasisme Papua di Surabaya.
Baca juga: Pastor Katolik Pribumi Papua dari lima keuskupan minta keadilan untuk Buchtar Tabuni Cs
“Kami menilai ini sangat tidak adil, diskriminatif, dan negara menciderai hukumnya sendiri. Negara menerapkan undang-undang [dengan diskriminasi] rasial kepada orang Papua. Mereka harus dibebaskan, tanpa syarat apapun,” katanya.
Sebelumnya, advokat Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua, Emanuel Gobay selaku penasehat hukum ketujuh tapol Papua menyatakan proses hukum terhadap kliennya kabur sejak dalam tahap dakwaan. “Misalnya ada kejadian yang diangkat dari 2008 sampai 2019. Padahal ada asas tempus delicti dan locus delicti. Waktu kejadian mestinya pada tanggal kejadian yang dituduhkan. Kalau menyebut beberapa waktu itu berarti ada sesuatu,” kata Emanuel Gobay.
Gobay juga menilai alat bukti dalam kasus ketujuh kliennya mengada-ada. Selain itu, Jaksa Penuntut Umum menyimpulkan perbuatan para tapol Papua hanya berdasarkan kesaksian ahli bahasa, ahli psikologi dan ahli hukum tata negara.“Mestinya, dalam kasus ini yang dapat mengurai unsur-unsur tindak pidana makar adalah ahli hukum pidana,” ujarnya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G