Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Anggota DPR Papua, John NR Gobai bersaksi dalam sidang lanjutan kasus 57 kontainer kayu merbau ilegal asal Papua yang diamankan di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar pada 8 Januari 2019.
John Gobai mengatakan, sekitar 10 pertanyaan ditanyakan majelis hakim kepadanya dalam sidang di Pengadilan Kelas IA Makassar, Sulawesi Selatan pada Kamis (4/7/2019).
“Saya diminta oleh kuasa hukum terdakwa menjadi saksi yang meringankan empat orang terdakwa. Saya ditanyai sekitar 10 pertanyaan oleh majelis hakim. Namun tidak ada pertanyaan yang bertele-tele,” kata John Gobai kepada Jubi, Jumat (5/7/2019).
Dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim, ia menyampaikan tidak ada keadilan dalam pengelolaan kayu di Papua selama ini. Tidak ada keberpihakan, pendampingan, perlindungan terhadap masyarakat asli Papua yang menjadi penggesek kayu dan pengusaha mitra mereka, yang selama ini membeli kayu hasil olahan masyarakat.
“Saya konsisten menyampaikan apa yang saya selama ini saya bicarakan. Perusahaan pemegang HPH menjadi anak emas. Pengelola hutan yang lain dianggap tidak penting,” ujarnya.
Sebanyak empat orang menjadi terdakwa dalam dalam kasus 57 kontainer kayu merbau ilegal ini. Keempatnya adalah DG (Direktur PT MGM), BA (kuasa Direktur PT HB), DT (Direktur CV EAJ) dan TS (Direktur PT RPF).
Namun kata Gobai, pengelolaan kayu di Papua selama ini selalu berpedoman pada Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Namun undang-undang itu tidak mengatur tentang penggesek kayu. Sementara di Papua ada masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya sebagai penggesek kayu.
Ada di antara penggesek kayu itu kata Gobai, membuat sawmill untuk menampung kayu hasil olahannya, dan dibeli oleh pengusaha lokal. Namun hingga kini belum ada payung hukum melindungi penggesek kayu di Papua dan mitranya.
“Sementara pemilik HPH aman, nyaman. Itu akar masalahnya. Tidak ada payung hukum untuk masyarakat adat dan mitranya. Yang ada hanya untuk HPH. Orang Papua inikan sudah belajar mengelola kayu dari hutan adatnya. Mereka mesti mendapat payung hukum agar tidak menjadi sasaran dari penagih-penagih ilegal,” ucapnya.
Yang harus diatur dalam payung hukum itu lanjut Gobai, seusai hanya diwajibkan membayar Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), sesuai aturan undang-undang. Namun hadirnya payung hukum tersebut dinilai kembali kepada DPR Papua dan Pemprov Papua.
“Apakah mau merancang perda kehutanan yang baru karena Perdasus nomor 21 tahun 2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua tidak relevan lagi atau membiarkan kondisi ini. Sesuai Undang-Undang nomor 23 tahun 2014, izin pengelolaan kayu 6.000 meter kubik ke bawah adalah kewenangan provinsi,” katanya.
Salah satu pengurus Dewan Adat Papua, Ferdinan Okoserai kepada Jubi belum lama ini mengatakan, masyarakat adat Papua ingin mendapat ruang mengelola kayu dari hutan adatnya. Namun selama ini, upaya masyarakat adat itu dianggap ilegal.
“Ini dikarenakan belum adanya payung hukum. Makanya kami ingin ada sebuah regulasi yang melegalkan masyarakat adat dalam mengelola kayu dari hutan adat mereka,” kata Okoserai. (*)
Editor: Edho Sinaga