Gemuruh murka Robhong Holo

Kondisi di Doyo Baru pasca-banjir bandang. Air mulai surut tapi Pegunungan Robhong Holo masing mendung. -Jubi/Gusti

Papua No. 1 News Portal | Jubi

PAGAR-PAGAR besi nan kokoh robek serupa kertas di tangan seorang balita. Tembok-tembok rebah, pasrah dengan lumpur yang melindasnya. Hanya hitungan menit, Kota Sentani sebagai ibu kota Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, porak poranda diamuk banjir bandang.

Read More

Hujan lebat mendirus Pegunungan Robhong Holo atau yang lebih dikenal sebagai Kawasan Cagar Alam Cycloop, menjelang senja, Sabtu (16/3/2019). Kira-kira dua jam kemudian, kali-kali yang membelah kota berserah pada amuk yang diutus Robhong Holo dari ketinggian nyaris dua ribu meter di atas permukaan laut. Kali-kali itu di antaranya Kali Ular, Toladan, dan Kemiri.

Dari kesaksian seorang warga yang selamat dan bermukim tepat di kaki Robhong Holo, Abe Wanimbo (47), gemeretak pepohonan dan gemuruh batu yang terdengar sekitar pukul 8 malam, membuat ia berjuang keras untuk menyelamatkan keluarga dan masyarakatnya.

“Di langit guntur. Tapi suara bebatuan lebih keras lagi. Sa ketua RT. Jadi sa mengontrol mereka agar cepat-cepat menyelamatkan diri. Kami lihat mana tempat aman, langsung ke situ,” katanya, ketika ditemui tepat di tepi Kali Ular, Distrik Waibu, Minggu (17/3/2019) siang.

Beruntung, kata dia, tak ada satu pun masyarakat di sekitarnya yang menjadi korban. Setelah air mulai surut Minggu pagi, ia baru ingat ternak dan hasil panenan buah merah (Pandanus conoideus), milik kelompok tani yang ia pimpin.

Adoo! Sa su tra bisa hitung berapa (buah merah) yang dipanen. Kebun 10 hektare juga habis beserta ribuan pohon buah merah. Alat produksi hanyut. Ternak babi 28 ekor dan belasan ayam, hilang diseret arus. Rumah-rumah juga habis,” tuturnya, sambil disahuti satu demi satu warga yang bersamanya melisankan bahasa daerah. Mereka seperti sedang mengutarakan duka dan penyesalan mendalam. Kemudian ia dan sejumlah warga minta diri, bergegas mengunjungi kerabat mereka di Kampung Doyo Baru.

Abe Wanimbo (47), salah satu warga yang bermukim di sekitar Kali Ular. -Jubi/Gusti

Seorang mama yang menggendong dan membalut bayinya dengan kain, Tea Sato (sekitar 30-an), berjalan tanpa alas kaki di tengah sengatan matahari pukul 12 siang. Ia bermukim di Kampung Doyo Baru, hendak menuju Kampung Harapan, di rumah mertuanya.

Sa baru abis melahirkan. Bayi ini baru dua minggu,” katanya.

Namun sepanjang jalan, tak ada satu pun mobil yang menawarkan jasa untuk membantunya. Selain itu, kebanyakan mobil evakuasi bergegas menuju titik-titik terparah yang terdampak banjir bandang.

Ia menggendong bayinya sudah sejauh kira-kira dua kilometer. Beberapa personel Tentara Negara Indonesia (TNI) yang tengah mengatur jalur evakuasi, setelah dinformasikan, berusaha mencegat mobil agar bisa memberi tumpangan kepada Tea Sato dan bayinya. Tapi ia menolak.

“Suami sa ada tunggu di depan sana dengan motor, tra bisa masuk karena lumpur,” katanya. Ia tak berjalan sendiri, ada dua perempuan lain yang turut dan mengekor di belakangnya.

Cerita lain dituturkan Erwin Andriawan (30). Ia bermukim di sekitar Lapangan Terbang (Lapter) Mission Aviation Fellowship (MAF) milik Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) di Kampung Doyo Baru. Salah satu titik terparah yang terdampak banjir bandang.

“Saya mendengar suara mama-mama minta tolong, di tengah suara bebatuan yang bergulung-gulung. Sewaktu melihat mama itu terseret arus dan sempat berpegangan di pagar besi, saya mau menolong, tapi hanya hitungan detik mama itu hilang diseret arus,” kenangnya.

Kompleks perumahan yang ia tinggali, Efata II, cukup berdekatan dengan lapter dan nyaris diterjang bah. Namun arus lumpur dan batang-batang kayu yang hanyut mengarah ke kiri, sedangkan perumahan mereka di samping kanan.

“Banjir mengarah ke BTN Darsua. Tante saya malah di sana nyaris hanyut,” katanya.

Sekitar pukul 10 malam, ia berhasil menolong seorang perempuan yang terseret arus. Tapi seorang pria yang tergencet batang kayu sebesar drum, tak bisa diselamatkan.

“Kami ada delapan orang mau mengangkat kayu itu, tapi tidak bisa. Arusnya juga deras. Pria itu meninggal,” tuturnya.

Ia mengaku kesal karena di saat malam kejadian, tak ada bantuan berdatangan. “Saya hanya melihat satu orang polisi, memakai rompi lapangan yang menyala-nyala itu. Hanya dia saja. Mungkin semua aparat sibuk, karena tempat-tempat (markas dan permukiman) mereka juga kena.”

Salah satu lokasi terparah yang terdampak banjir bandang di Doyo Baru. – Jubi/Gusti

Kota berlumur lumpur

Jika menyusuri Sentani, lanskap kota yang belum lama ini menggaungkan Go Adipura dengan sejumlah program kebersihan, dipenuhi lumpur dan batang-batang kayu berbagai ukuran. Truk, mobil angkutan kota, dan berbagai jenis mobil pribadi tersuruk ditindih lumpur dan batang kayu. Sebagian lumpur yang tercampur pasir, membuat mobil-mobil itu seperti disemen ketika tanah mengering. Sepeda motor yang ditinggal pemilik, tergeletak begitu saja. Tiang-tiang listrik membungkuk dan kabel-kabel merayap di sepanjang jalan.

Bermacam-macam perabotan rumah tangga berserakan. Kulkas, televisi, mesin cuci, kipas angin, kompor gas, dan lain sebagainya, terbenam di lumpur. Sendal-sendal, sepatu, bahkan beberapa buntel pakaian bisa ditemui sepanjang jalan dari Yonif 751/Raider, markas TNI Angkatan Udara, Lapter MAF Advent, sampai ke Kali Ular di Distrik Waibu.

Jalur utama di Kota Sentani sukar dilewati kendaraan. Lumpur setinggi betis remaja terus dikeruk alat-alat berat. Sementara itu, arus lalu lintas macet karena orang-orang yang berdatangan dari luar Kota Sentani, berusaha menjemput kerabat mereka. Selain itu, tampak sebagian orang hanya berkunjung untuk berswafoto dan merekam kondisi kota, lalu dibagikan ke media sosial.

Seorang warga Kampung Doyo Baru, Yuliana Marien (53), mengatakan seharusnya masyarakat pergi mengungsi dan tak berdiam di titik-titik terparah, atau berdatangan ke lokasi kejadian.

“Ini masih bahaya. Kalau hujan pasti banjir lagi,” katanya, sambil menunjuk puncak Pegunungan Robhong Holo yang masih bertudung mendung, Minggu (17/3/2019).

Ia mengaku selamat, kendati permukimannya berdekatan dengan Lapter MAF Advent yang permukiman di atasnya lenyap terganti lumpur dan bebatuan. “Orang-orang di situ semuanya telah mengungsi.”

Perabotan rumah tangga berserakan di jalan Kota Sentani. – Jubi/Gusti

Pegunungan Robhong Holo

Pegunungan Robhong Holo agam membentang sejauh 36 kilometer dari barat ke timur. Bentang pegunungan ini dinamai Pegunungan Cycloop yang kemudian masyarakat kerap menyebutnya Siklop.

Kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Alam sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 56/Kpts/Um/1/1978 tanggal 26 Januari 1978 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 November 1987 dengan luas 22.500 hektare.

Penetapan ditegaskan kembali melalui PP Nomor 28 Tahun 1985 dan SK Menteri Kehutanan No.365/Kpts-II/87. Pada 2012 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.782/Menhut-II/2012, diperluas menjadi 31.479,84 hektare.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) USAID Lestari menyebutkan sepanjang tahun 1990-2014 terjadi perambahan hutan seluas 2.570 hektare. Luasan itu dibuat untuk permukiman warga, berladang, pembalakan liar, dan perburuan satwa.

Lapter MAF Advent tepat berada di kaki Pegunungan Robhong Holo. -Jubi/Kris

Perambahan hutan menurun 32 hektare sepanjang tahun 2015-2017. Penurunan angka disebut-sebut karena kerja sama USAID Lestari, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, dan Dinas Kehutanan, pun polisi kehutanan yang rutin berpatroli untuk menindak oknum perambah hutan di Robhong Holo.

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, menegaskan pasca-bencana banjir bandang ini, Robhong Holo harus diawasi lebih ketat. Menurutnya, pelestarian Kawasan Cagar Alam Cycloop mesti dikontrol penuh oleh pemerintah.

“Kami minta agar Gubernur Papua segera mengambil langkah persuasif, dengan menghadirkan bupati-bupati yang masyarakatnya tinggal di kawasan ini. Intinya, kami mau kawasan ini steril dari aktivitas masyarakat,” katanya, Minggu (17/3/2019).

Sementara itu, Ondofolo Besar Kampung Sereh, Yanto Eluay, mengatakan dalam waktu dekat, ia dan masyarakatnya akan menyatakan sikap untuk mengawasi semua aktivitas masyarakat di Siklop.

“Bencana alam ini murni karena kerusakan alam, kerusakan Kawasan Siklop yang selama ini kita sebut-sebut sebagai mahakarya Tuhan untuk kita,” kata Yanto Eluay, di Sentani, Minggu (17/3/2019). (*)

 

Catatan: Sebagian data diambil dari laporan wartawan Jubi, Engel Wally.

Related posts

Leave a Reply