Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
HAMPARAN kerikil-kerikil halus seolah-olah jadi penyangga rumah-rumah warga dan pohon-pohon kelapa. Akar kelapa tertancap di antara celah-celah batu koral, bukan di atas pasir atau karang laiknya pantai umumnya.
Kerikil bahkan dijadikan sarana pijat refleksi oleh para pengunjung. Awalnya mereka bersepatu dan sandal. Lama-kelamaan beberapa di antaranya melepaskan alas kaki. Berjingkrak-jingkrak. Berjalan dan berlari.
Pantai berkerikil halus jarang ditemukan di lepas pantai kawasan Jayapura, bahkan Papua. Di dunia hanya di Tablanusu, Papua (Indonesia) dan Amerika. Ini menjadikan Tablanusu begitu unik.
Kampung yang dihuni suku Sumile, Danya, Suwae, Serantow, Wambena, Somisu, Yakarimlen, Apaserai, Yufuwai, dan Selli ini, merupakan salah satu kampung wisata di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura.
Tablanusu berada di Teluk Tanah Merah, tepatnya, Kampung Etiyebo, Distrik Depapre. Kecamatan Depapre Dalam Angka (BPS 2018) menyebut Etiyebo sebagai kampung terluas dengan luas 137, 79 kilometer. Sedangkan Yapese merupakan kampung terkecil dengan luas 21,30 kilometer persegi.
Saya takjub ketika pertama kali mengunjungi Tablanusu, pertengahan 2009. Ketika itu, saat memulai masa perkenalan para mahasiswa–antara mahasiswa baru dengan para senior. Semacam "ospek" atau sikrab (siang keakraban) tingkat jurusan.
Kesan ini tentu berbeda beberapa bulan sebelumnya, awal 2009. Kala itu, kami memilih bermalam bersama para saudara satu komunitas doa Katolik.
Kami duduk bersila di atas hamparan batu koral, di bawah nyiur yang tegak dan diterpa angin malam. Berdoa, meditasi, bernyanyi, main gitar, dan sharing kitab suci. Lalu tidur dalam pelukan Tablanusu.
Kampung yang menghadap lautan Pasifik ini begitu hening, bahkan suara nyamuk pun tertangkap oleh telinga. Lalu segera diganti padanan deru gelombang dan suara batu-batu kerikil yang ditimpa. Harmoni bagai sebuah pentas orkestra.
Ditempuh sekitar satu jam dari Bandar Udara Sentani atau dua jam dari jantung Kota Jayapura–ibu kota Provinsi Papua, kawasan kampung wisata di Tablanusu mudah diakses, baik dengan menggunakan mobil maupun motor.
Jalannya berlekak-lekuk, dengan khas alam pinggiran danau Sentani, perbukitan pasir, ilalang, dan pegunungan Cycloops.
Pemandangan itu segera berubah ketika melewati kota Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura. Jalanan sedikit berlekuk, ilalang, panorama Pegunungan Cyploops, pohon pinus, dan pakis.
Pohon-pohon seukuran pelukan anak remaja juga, sesekali memayungi jalan hingga terasa sejuk.
Sesampainya di Depapre, akses ke kiri melalui jalur darat ditempuh tak lebih dari setengah jam. Bisa juga menyewa perahu milik warga setempat.
Selain itu, ke arah kanan jalan, kita bisa memilih berpiknik ke objek wisata lainnya, yaitu Pantai Amay dan Harlem. Dua lokasi ini merupakan penghubung Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura di bagian utara, Pasir Enam.
Dulu tenggelam, kini sedang menggeliat
Ditulis Jubi pada artikel berjudul "Tablanusu, Kampung Wisata Yang Unik" yang dipublikasikan 25 Februari 2009, Tablanusu berasal dari kata "Tepuaonusu". Kata ini berasal dari dua kata, yaitu, dari kata tepera dan onusu. Tepera merupakan nama suku setempat dan onusu artinya matahari tenggelam atau terbenam.
Masyarakat Tablanusu semula tinggal di Kampung Kewayo, tapi kemudian pindah ke Kampung Bitiayo karena gelombang tsunami. Kampung Bitiayo kemudian semakin ramai berbarengan dengan kedatangan saudagar dan pemburu burung dari Tiongkok pada 1880.
Lima tahun kemudian, kampung ini ramai dikunjungi. Seiring ramainya arus migrasi, penduduk setempat malah merantau ke Ambon, Maluku, dan pulau Jawa. Namun mereka kembali pada tahun 1900 dan membangun kampungnya. Setelah Perang Dunia II berakhir, 15 Mei 1945, mereka pindah ke Separi Boru hingga sekarang.
Objek wisata
Objek wisata di kabupaten seluas 17.514 kilometer yang dipimpin Mathius Awoitauw dan Giri Wijiyantoro, yang terdiri atas 19 distrik, 139 kampung, dan 5 kelurahan ini, sedang menggeliat sejak beberapa tahun terakhir. Tak hanya alam, budaya, sejarah, dan religi, tetapi juga wisata sejarah menjadi sajian utama bagi pengunjung.
Setidaknya terdapat 60 situs dan objek sedang disurvei, sedangkan lima situs lainnya–Situs Gereja Tua Asei Besar, Yomokho, Tugu Mc. Arthur, Situs Tangki BBM Depapre, dan Situs Megalitik Tutari–merupakan situs-situs budaya yang sudah terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Alam Tablanusu dan sekitarnya menjadi saksi bisu Perang Dunia II atau Perang Pasifik. Di sini masih ditemukan banyak peninggalan perang–landasan meriam, dermaga pendaratan sekutu, dan tangki minyak.
Tangki Perang Dunia II di Depapre merupakan cagar budaya sesuai Data Referensi Kemendikbud Nomor SK Penetapan:PM.21/PW.007/MKP/2007.
Tablanusu berada di Teluk Tanah Merah. Sekitar satu telunjuk ke utara peta, tepatnya di Tanjung Tanah Merah, juga menjadi saksi bisu Operasi Trikora tahun 1962.
Pasukan Kopaska TNI AL dengan kapal selam KRI Nagabanda dari Surabaya, ketika itu, dipimpin Komandan Satuan Kapal Selam Letkol R.P. Poernomo. Mereka menuju Tanah Merah melalui Halmahera, Maluku.
Pasukan TNI tiba saat malam dan dilanjutkan pagi hari menuju Holandia (Jayapura), untuk menerobos pasukan Belanda, dalam rangka merebut Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Pantai Tablanusu adalah pilihan berlibur akhir pekan di wilayah Depapre. Keunikan alamnya menjadikan pengunjung berbondong-bondong saat liburan. Di hutan sekitar pantainya, kita juga dapat melakukan trekking dan menikmati telaga yang bening.
Lokasi festival
Tablanusu menjadi lokasi Festival Bahari Teluk Tanah Merah (FBTTM), 19-21 November 2018. Festival ini menyuguhkan tari-tarian adat, selam, lomba-lomba, dan kuliner lokal.
Pengunjung pun berdatangan hingga hari terakhir, 21 November. Tak hanya wisatawan domestik, tetapi juga dari mancanegara, seperti Jepang dan Australia.
Sebelum pelaksanaan FBTTM, digelar lomba menggambar bagi anak-anak, lomba memancing, tari lemonipis, dan suling tambur, serta seminar dan pencanangan Distrik Sentani Barat Moy sebagai kawasan agrowisata.
Festival FBTTM baru dimulai tahun 2014, setelah tujuh tahun sebelumnya Pemerintah Kabupaten Jayapura menggelar Festival Danau Sentani (FDS).
Festival yang dikhususkan kawasan pesisir Tanah Merah itu, dihelat untuk memperkenalkan wisata laut daerah pesisir. Selain itu dilakukan untuk mendongkrak ekonomi masyarakat lokal.
Souvenir, makanan lokal, seperti ubi, keladi, disajikan di sini. Selain itu, ikan tangkapan warga setempat juga dijual dengan harga terjangkau. Untuk diketahui, mata pencaharian masyarakat pesisir Teluk Tanah Merah sebagian besar melaut dan bercocok tanam.
Potensi-potensi alam, budaya, dan sejarah mereka akan menjadi tujuan wisata andalan jika dikelola dengan baik. Pembangunan infrastruktur jalan, MCK, kapal, dan sarana penunjang lainnya merupakan pendukung kawasan wisata Jayapura.
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, Senin, 19 November 2018, mengatakan FBTTM bertujuan untuk mengangkat potensi seni, budaya, dan jati diri masyarakat adat pesisir Teluk Tanah Merah.
Hal itu sejalan dengan pendapat Ni Komang Ayu Astiti (2016) dalam artikelnya "Mengoptimalkan Sumber Daya Arkeologi Sebagai Daya Tarik Wisata untuk Ketahanan Budaya", yang diterbitkan Jurnal Arkeologi Papua.
Komang (2016:174) menulis, peranan ketahanan budaya masyarakat Papua sangat penting dalam proses budaya sosial budaya secara nasional.
"Mengoptimalisasi peran masyarakat lokal sangat penting karena pada mereka melekat keunikan dan keragaman budaya dalam menciptakan identitas dan jati diri, sebagai bagian dari pengembangan pariwisata secara inklusif untuk meningkatkan ketahanan budaya," tulis Ni Komang.
Bahwasannya "Bumi Khenambai Umbai" memiliki lautan dan pesisir, cagar alam Cycloops, danau Sentani, dan hutan, khususnya Pantai Tablanusu, yang bisa dikelola menjadi kekuatan ekonomi masyarakat setempat.
Hal itu juga sedianya dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia, promosi, dan pemberdayaan masyarakat lokal. (*)