Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Mantan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua Ferdinand Marisan (48) meninggal dunia pada Sabtu,6 Juli 2019 di RSUD Abepura, Kota Jayapura, Papua karena penyakit gula yang lama dideritanya.
Tanah Papua dan pemerhati HAM dan budaya merasa kehilangan atas kepergiannya. Ungkapan belasungkawa ditujukan kepada almarhum dan keluarga, bahkan di laman media sosial dukacita disampaikan sejumlah anak Papua dengan memajang foto dan ungkapan doa.
Mantan Sekretaris Elsham Papua, Paul Mambrasar kepada Jubi, Sabtu pagi, 6 Juli 2019 mengatakan, Ferdinand Marisan atau yang lebih dikenal dengan Ferry Marisanadalah sosok yang getol dan konsisten memperjuangkan hak-hak asasi manusia.
Pada masa transisi dari Orde Baru ke reformasi, 1998, dia bersama kawan-kawannya turun ke jalan untuk memerotes ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Ferry adalah direktur ELSHAM Papua periode 2008 hingga 2017.
“Dia konsisten memperjuangkan penegakan HAM dan pengadilan HAM di Tanah Papua, bahkan kasus Biak Berdarah juga dia perjuangkan,” kata Paul Mambrasar.
Paul berharap agar anak-anak muda Papua melanjutkan perjuangan beliau.
Sem Rumbrar adalah salah satu mitra kerja Ferry Marisan di ELSHAM. Rumbrar mengenal Ferry selama sekitar 20 tahun.
Rumbrar mengatakan, selain melalui ELSHAM Papua, Ferry Marisan juga getol mengkampanyekan hak-hak asasi manusia Papua melalui musik, yaitu grup Black Paradise. Namun, seiring waktu berjalan personil Black Paradise memilih jalan berbeda, sehingga Ferry seorang diri meneruskan spirit musik Black Paradise.
Dia lalu menghidupkan Black Paradise dengan nama baru Eyuser. Melalui Eyuser, Ferry menggiatkan kampanye hak-hak orang asli Papua dalam lagu-lagunya hingga ke Eropa dan Pasifik. Dia tetap konsisten memperjuangkan hak-hak asasi manusia hingga penyakit merenggut nyawanya, dan meninggalkan istri dan dua anak yang sedang kuliah di Filipina.
Direktur Ekologi Papua Titus Kris Pekei menyampaikan belasungkawanya. Dia mengaku merasa kehilangan atas kepulangan penerus suara Mambesak setelah Arnold Ap.
“Suara Mambesak nonstop yang pernah hadir dan menghibur komunitas perajin noken di Hari Noken I dan II di Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Majelis Rakyat Ppua (MRP) terpancar jiwa musisi secara alami, penuh penghayatan, selamat jalan untuk selamanya!” kata Titus Pekei.
“Atas nama komunitas perajin noken Papua di 7 wilayah adat Papua, merasa kehilangan seorang Ferry Marisan,” lanjutnya.
Titus Pekei mengaku Ferry Marisan pernah hadir dan memberi semangat bersama alunan musik khas Papua. Salah satu lagunya berjudul “Domi Dou Ani Damoutopa Tugu-Tugu Tai” yang dibawakan saat hari ulang tahun noken pertama 4 Desember 2013 di auditorium Universitas Cenderawasi dan hari noken kedua 4 Desember 2014 di pelataran kantor MRP. Keceriaan musisi penerus Mambesak hadir menyemanggati kaum perajin mama-mama Papua.
“Kami merasa kehilangan, selamat jalan, hidup kekal dalam damai. Doa dan pujian komunitas perajin noken menyertaimu,” kata Titus Pekei.
Mantan Pemred Jubi Dominggus Arnold Mampioper bercerita, Fery Marisan adalah motor penggerak pertama demonstrasi PT Freeport tahun 1996 dan 1997. Dia bersama mahasiswa se-Kota Jayapura berdemo ke DPR Papua untuk memerotes pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Sejak itulah demo Freeport serentak dilakukan oleh mahasiswa Papua di Yogyakarta, Salatiga, Semarang. Itulah pertama kali Freeport didemo oleh mahasiswa Papua se-Indonesia.
“Demo ini pula dirancang oleh John Rumbiak mantan aktivis dan Koordinator Elsham Papua,” katanya.
Salah satu teman Ferry Marisan, Dominggas Nari mengharapkan agar anak-anak Papua melanjutkan perjuangan almarhum.
“Kita merasa kehilangan. Selama kitong hidup mungkin kitong bisa melanjutkan perjuangannya,” kata Dominggas. (*)
Editor: Angela Flassy