Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi –Serombongan masyarakat adat dari Kampung Enggros, Kota Jayapura melakukan pemalangan lokasi pembangunan fasilitas “venue” dayung PON (Pekan Olahraga Nasional) Papua 2021 di Teluk Youtefa pada Rabu, 8 Juli 2020 siang.
Mereka memalang lahan yang berada di hutan bakau tersebut untuk meminta ganti rugi. Akibat pemalangan para pekerja yang sedang melakukan penimbunan lahan sekitar dua hektare itu terpaksa menghentikan aktivitas.
BAGIAN KEDUA: LONCENG KERUSAKAN MANGROVE DI TELUK YOUTEFA
BAGIAN KETIGA: TERANCAMNYA HUTAN PEREMPUAN DI KAMPUNG ENGGROS
Karena ada pemalangan, Pemerintah Provinsi Papua dan Balai Wilayah Sungai Papua, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR melakukan negosiasi.
Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Papua Alex Kapisa kepada Jubi mengatakan sulit membayar ganti rugi tanah, karena yang dilakukan hanya menimbun laut.
Pemerintah Provinsi Papua tidak akan membayar ganti rugi, namun menyewa lahan selama pelaksanaan PON. Setelah itu fasilitas tersebut akan diserahkan kepada warga Kampung Enggros.
“Betul ada pemalangan di lokasi pembangunan venue dayung, kita sudah turun ke lapangan dan bertemu dengan masyarakat, intinya kita berkomunikasi dengan masyarakat terkait dengan proses administrasi penggunaan lahan itu,” katanya.
Setelah bertemu dengan warga yang protes, kata Kapisa, proyek penimbunan dan pembangunan venue dilanjutkan Kembali.
Menurut Kapisa, Pemprov Papua tidak mungkin membayar ganti rugi atau membeli lahan tersebut.
“Lahan venue dayung itu kita sewa selama pelaksanaan, mulai dari persiapan venue sampai pelaksanaan PON,” ujarnya.
Terlepas dari protes penyewaan lahan, lokasi proyek venue dayung PON tersebut sebenarnya bermasalah dari aspek peruntukan lahan.
Lokasinya berada antara hutan lindung dan Taman Wisata Teluk Youtefa. Namun setelah dicek titik koordinatnya, ternyata lokasi tersebut masuk dalam kawasan Hutan Lindung.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Jayapura Ketty Kailola membenarkan hal itu. Dia mengatakan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Jayapura No. 1 Tahun 2014 tentang RTRW Kota Jayapura, kawasan venue dayung dan bangunan sepanjang pantai Holtekamp masuk dalam kawasan lindung yang tidak boleh ada aktivitas pembangunan.
“Wilayah itu termasuk kawasan Hutan Lindung, tidak bisa dibangun dan belum ada Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal),” ujarnya.
Kepala Kampung Enggros Origenes Merauje menyampaikan undangan lisan agar Jubi ikut berpartisipasi dalam Konsultasi Publik yang diadakan di ruang pertemuan Kantor Balai Wilayah Sungai Papua, Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Kotaraja, Kota Jayapura Jumat, 30 Juli 2020
Dalam acara itu, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Cenderawasih Rosye Hefmi Tanjung mengingatkan seharusnya Amdal dilakukan sebelum ada aktivitas apapun.
“Karena salah satu tujuan konsultasi publik adalah menerima masukan masyarakat, selain menginformasikan kepada masyarakat,” katanya.
Pelaksana proyek venue dayung PON baru menyampaikan pengumuman pelaksanaan Amdal melalui Cenderawasih Pos edisi 29 Juli 2020. Iklan itu tayang sehari sebelum pelaksanaan pertemuan Konsultasi Publik. Iklan memberitahukan bahwa pihak pelaksana menerima kritik dan saran selama 10 hari.
Namun pantauan Jubi.co.id di lapangan, ternyata aktivitas proyek pembangunan venue tersebut sudah jalan. Setiap hari truk keluar-masuk membawa karang untuk menimbun laut di Teluk Youtefa tersebut, termasuk sebagian hutan bakau. Tampaknya proyek sudah berjalan tanpa ada plang keterangan proyek pembangunan venue dayung.
Sementara, Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR mendapat tugas untuk melaksanakan pembangunan pengaman Pantai Teluk Youtefa. Satu paket tender proyek ini senilai Rp48,5 miliar dimenangkan PT Sinar Purna Karya asal Serui, Kabupaten Yapen.
Proyek pengamanan pantai memiliki panjang 2,2 KM dengan lebar 50 meter. Target proyek selesai sebelum Oktober 2020. Tujuan proyek adalah mengamankan pantai yang terancam abrasi.
Proyek yang tadinya berjalan untuk sementara masih berhenti. Tetapi penimbunan sudah berjalan sambil menunggu proses Amdal di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Provinsi Papua.
BWS Papua menyadari perlu kehati-hatian dalam menangani proyek Teluk Youtefa, karena bagi masyarakat kampung Enggros, Tobati, dan Nafri, hutan mangrove dan laut di lokasi tersebut merupakan sumber mata pencaharian mereka. Ditambah lagi dengan status area hutan lindung dan kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa.
Ada tiga pilihan pembangunan pengaman pantai tersebut, yaitu tekni sea woll, groin, dan yeti. Namun pelaksana memilih “groin” karena lebih alami.
Groin merupakan struktur pengaman pantai yang dibangun menjorok relatif tegak lurus terhadap arah pantai. Bahan konstruksinya bisa kayu, baja, beton, atau batu. Hal itu dilakukan agar tak terjadi perubahan garis pantai secara signifikan
Menanggapi pembangunan venue dayung di lokasi Teluk Youtefa, mama Adriana Youwe Meraudje menyesalkan penimbunan di lokasi tersebut.
“Mending dibangun jembatan dari kayu atau beton agar laut tetap utuh dan tidak ditimbun,” ujarnya.
Rencana penimbunan lokasi venue dayung diperkirakan sekitar 2 hektare. Sedangkan lintasan dayung sepanjang 2000 meter atau 2 kilometer. Dalam konsultasi publik, pelaksana mengatakan akan mengeruk lintasan dayung sedalam tiga meter karena ada bagian lain yang hanya sedalam 2,5 meter.
Peneliti dan dosen Perikanan dan Kelautan dari FMIPA Universitas Cenderawasih John Kalor mengingatkan bahwa pengerukan akan menyebabkan laut keruh dan akan berpengaruh terhadap jumlah oksigen di dalam air.
“Itu akan menyebabkan ikan dan biota laut kekurangan oksigen dan bisa mati, serta ada bagian terumbu karang yang rusak,” katanya.
Apalagi, Kalor mengingatkan, wilayah Teluk Youtefa memiliki lamun yang luas sehingga mempengaruhi areal ikan dalam berkembang biak. (Dominggus Mampioper, Timoteus Marthen, dan Ramah)
(Laporan ini 1 dari 3 tulisan hasil kolaborasi Jubi.co.id dengan Majalah TEMPO dan dan Tempo Institute)
Editor: Syofiardi