Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Fraksi Gabungan II Bangun Papua di DPR Papua mengingatkan pemerintah tidak mengabaikan berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua, dalam beberapa waktu terakhir.
Sekretaris Fraksi Gabungan Bangun Papua, Alfred Fredy Anouw mengatakan euforia pelaksanaan pesta olahraga bergengsi, Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua, jangan menutupi berbagai peristiwa kekerasan di Papua, belakangan ini.
Pernyataan itu disampaikan politikus Partai Garuda itu saat menyampaikan pandangan fraksinya dalam paripurna II dengan agenda pandangan umum fraksi terhadap materi raperdasi APBD tahun anggaran 2021, Rabu (29/9/2021).
Menurutnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Garuda, yang tergabung dalam Fraksi Gabungan II Bangun Papua, tak henti hentinya mengingatkan pemerintah melalui pemerintah daerah, tentang berbagai peristiwa yang terjadi akhir akhir ini di Bumi Cenderawasih.
Katanya, ini disebabkan warisan masalah Pemerintah Indonesia pada masa lalu, yang telah mengupayakan penyelesaian masalah Irian Barat selama 11 tahun, sejak 1950an.
Namun karena tidak diindahkan oleh Pemerintah Belanda ketika itu, sehingga permasalahan ini selalu diangkat dalam forum PBB.
“Misalnya pada tahun 1954,1955,1957, 1960, 1961, dan 1969. Perjanjian New York tetang Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat, kepada pemerintah de jure Indonesia bagi Rakyat Irian Barat, apakah berintegrasi dengan Indonesia atau tidak [ada kekosongan hukum di sana],” kata Alfred Anouw.
Fraksi Gabungan II Bangun Papua berpendapat, akibat kekosongan hukum itulah negara- negara yang di bawah koordinasi Republik Vanuatu dan Papua Nugini kembali menyoroti dugaan pelanggaran HAM di Papua, dalam sidang umum PBB 2021, yang berlangsung belum lama ini.
Beberapa peristiwa yang menjadi sorotan itu, di antaranya peristiwa di Kabupaten Nduga, Puncak, Intan Jaya, dan yang terakhir di Pegunungan Bintang.
“Tidak sedikit peristiwa-peristiwa kekerasan yang menyebabkan dugaan pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil tak berdosa. Fasilitas umum dihancurkan. Slogan kata ‘TNI/POLRI mati banyak dan TPNPB-PB mati banyak’ alias harga mati,” ujarnya.
Di sisi lain, sejumlah aktivis, pekerja kemanusiaan dan jurnalis dianggap menjadi ancaman terhadap negara dan kelompok tertentu.
“Ujung-ujungnya, Tanah Papua, Negara Indonesia menjadi negara terburuk yang menjalankan kekerasan urutan ke 45. Di bawah koordinir dan pengawasan PBB ini, terungkap dalam pidato di sidang Umum PBB tahun 2021,” ucapnya.
Karenanya, Fraksi Gabungan II Bangun Papua menyerukan dialog damai, seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia dengan GAM di Aceh. Pemerintah Indonesia juga dipandang mesti membuka diri, berdialog secara damai dengan ULMWP demi mengakhiri berbagai kekerasan di atas Tanah Papua.
Sementara itu, menyikapi banyaknya persoalan kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua, hingga mengorbankan masyarakat sipil baik Orang Asli Papua (OAP) maupun non-OAP, salah satu bekas tahanan politik (tapol) Papua, Linus Hiluka meminta agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dapat memediasi penyelesaian masalah di Papua.
“Demi keselamatan rakyat sipil, pemerintah Indonesia yaitu TNI dan Polri bersama TPNPB-OPM segera duduk bersama kemudian dimediasi oleh PBB,” kata Linus Hiluka saat menghubungi Jubi beberapa hari lalu.
Menurut Linus Hiluka, penting agar PBB dapat memediasi persoalan kekerasan di Papua, supaya tidak semakin banyak warga sipil yang menjadi korban dari kontak bersenjata yang terjadi.
“Baik pemerintah Indonesia maupun pihak Papua merdeka, semua pasti membutuhkan manusia dan penduduk, namun situasi saat ini banyak korban nyawa yang terjadi, sehingga perlu suatu mediasi oleh PBB,” ujarnya.
Pembela HAM di Papua, Theo Hesegem menyebut jika siapa pun yang ada di Papua entah OAP maupun non-OAP punya hak untuk hidup di atas Tanah Papua.
“Yang perlu dilihat pemerintah daerah dan pusat, mengapa konflik bersenjata di Papua selalu terjadi, sehingga berdampak pada pelayanan kepada masyarakat sipil lainnya,” kata Theo Hesegem.
Untuk itu, ia mengharapkan adanya pembentukan tim independen untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi, termasuk kejadian di Kiwirok, Pegunungan Bintang. (*)
Editor: Edho Sinaga