Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Immount de Djthem
Pemerintah dan kelompok-kelompok tertentu mengagung-agungkan kebijakan pemerintah Indonesia yang mendorong pembangunan infrastruktur di Tanah Papua, seperti jalan dan jembatan, bandar udara, pelabuhan dan gedung-gedung atau kantor, sekolah, rumah sakit, hotel, gereja, masjid, rumah, dan lain sebagainya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) seolah-olah itu segalanya untuk Papua, sehingga bakal cukup untuk menilai, bahwa Papua sudah baik-baik dan maju.
Di lain sisi, dari Presiden Soekarno sampai Presiden Jokowi, yang terlalu banyak mengunjungi Tanah Papua, berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan membuka akses bagi jurnalis asing, tetapi tidak pernah terwujud.
Tulisan ini mencoba memperlihatkan kebijakan pemerintah di Tanah Papua di sektor infrastruktur–yang dianggap sebagai “tuhan atau juruselamat”, dalam perspektif Immanuel Kant tentang model pendekatan etika “deontologi”, yang merujuk pada buku “Model Pendekatan Etika, Immanuel Kant: Kehendak Baik dan Kewajiban” yang diabadikan oleh Romo Setyo Wibowo (hal. 135-154). Bahkan tetap memperhatikan tiga karya fenomenal dari Kant sendiri tentang etika, yaitu; Grundlegung Metaphysik der Sitten (1785); Kritik der Praktischen Vernunft (1788) dan Die Metaphisik der Sitten (1797).
Konsep dasar deontologi dari Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf terbesar barat modern dari Jerman. Dalam etika dia mengabaikan konsepsi etika yang selalu menekankan pada aspek moralitas. Ia berpendapat bahwa hukum tertinggi dalam dunia etika moral terdapat pada kebaikan, bukan kebahagiaan yang dikonsepsikan oleh Aristoteles dan muridnya, Plato.
Kebaikan tersebut dilakukan karena berakar pada kewajiban, tidak jauh dari sifat-sifat dan prinsip dasarnya. Bukan karena paksaan, tetapi seseorang menolong dan membangun sesuatu secara bebas, tanpa ada kepentingan untuk mendapatkan keuntungan, pujian, kehormatan, kemuliaan, kesenjangan, keagungan, kekayaan, tanda heran, dan menjadikan buah bibir orang lain yang mengangkat-angkat dirinya karena seorang berbuat baik kepada orang lain.
“Kehendak itu baik apabila mau memenuhi kewajibannya,” kata Immanuel Kant, sebagaimana ditulis Wibowo (hlm. 136). Kehendak baik yang dimaksudkan Kant ialah sebuah kehendak baik yang mau dilakukan bukan karena paksaan, ketakutan, keraguan, keprihatinan, empati, solidaritas dan belas kasihan, melainkan karena seseorang ingin mewujudkan “kehendak baik” itu karena sebuah kewajiban moral. Kewajiban moral berarti tidak mengharapkan keuntungan, pujian, kehormatan, tanda heran, kebaikan, balas jasa, dan untung ruginya.
Seseorang melakukan sesuatu dengan kesadaran akan tanggung jawab moral, memenuhi apa yang wajib dan betul-betul baik. Dia ingin melakukan sesuatu—membangun jalan dan jembatan, bandara, pelabuhan dan gedung pencakar langit yang mewah–karena dia sadar bahwa dia punya tanggung jawab moral untuk membangunnya.
Tanggung jawab moral bukan hanya karena mengambil keuntungan dan menikmati hasil dari sebuah usaha. Namun, dia melakukannya dengan sadar dan bebas dari kepentingan untuk mendapatkan bantuan dan kebaikan yang sama. Lebih dari itu, dia memprioritaskannya karena dia melakukan “kebaikan” itu sebagai suatu kewajiban yang mulia, sebuah tujuan akhir yang paling tinggi dalam etika moralitas manusia.
Kewajiban pemerintah kolonial
“Saya” kalau sudah ambil alih rumah itu dengan cara kasar, diam-diam seperti pencuri, setelah menempatinya wajib hukumnya untuk saya perbaiki jika rusak. Saya mau pergi ke kebun, kerja dan menikmati hasil di sana tapi kalau ada kali besar dan tidak bisa melewatinya, saya harus bangun jalan dan jembatannya.
Pemerintah sebagai penguasa yang sah atas daerah pendudukan modern ini (Tanah Papua), wajib hukumnya untuk membangun jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dan pembangunan gedung lainnya. Apapun alasannya, pemerintah kolonial sebagai penguasa punya hak dan kewajiban penuh untuk menjalankan pembangunan apa saja.
Membuka jalan dan jembatan, bandara, pelabuhan dan properti lainnya adalah jalan yang tepat guna mendukung aktivitas kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme. Kalau produksi bahan mentah semakin mengikis dan perusahaan terancam bangkrut, maka mau tidak mau, guna mendukung dan mengisi kerentanan grafis produk yang turun, dituntut agar harus mencari jalan alternatif. Misalnya, membuka lahan, mengeksploitasi sumber daya alam, mengambil dan menikmati hasilnya.
Maka wajar Indonesia sebagai kolonial bersama negara-negara sekutu kapitalis dan imperialis membangun semua itu di Tanah Papua. Namun orang Papua yang sakit, miskin, nganggur, tertinggal, dan hidup sekarat hanya menjadi objek.
Pemerintah cukup banyak dan lama mengambil segala sesuatu dari Papua. Setelah menekan kontrak karya I Freeport sejak 7 April 1967, pemerintah kolonial bersama imperialis Amerika Serikat (AS), Inggris dan 23 negara yang memiliki saham di Freeport, mengeruk isi perut bumi Papua dan mengambil hasil, serta menikmati hasilnya di atas kemiskinan, penderitaan dan kematian orang Papua selama hampir 40-an tahun.
Kolonial bersama kapitalis dan imperialis global mendapatkan keuntungan dua kali lipat. Setiap tahun berapa dolar AS, lebih dari apa yang pemerintah berikan melalui dana otonomi khusus yang hanya berkisar tidak sampai 10 triliun per tahun. Dana otsus tentu saja tidak sebanding dan sampai kapan pun tidak akan setara juga.
Apa yang pemerintah berikan untuk orang dan Tanah Papua tidak cuma-cuma. Tidak ada pembangunan gratis di Tanah Papua dalam bingkai NKRI.
Segala “kebaikan” pemerintah, orang Papua selalu balas bukan hanya dengan kebaikan semata. Tetapi lebih daripada itu dengan darah, air mata dan nyawa. Hal inilah yang orang banyak belum tahu.
Letak tuntutan orang Papua
Tuntutan orang Papua pada tahun 1960-an adalah pengakuan kedaulatan politik. Tuntutan itu banyak menelan korban jiwa dan selanjutnya berkembang menjadi pelanggaran HAM dengan adanya operasi militer, sejak Soekarno mencetuskan Trikora pada 19 Desember 1961 hingga saat ini, operasi yang sama masih berlanjut di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Maybrat dan Pegunungan Bintang. Tuntutan itu diikuti dengan gugatan Pepera 1969 di Mahkamah Internasional.
Melihat peningkatan kasus pelanggaran HAM itu, orang Papua mulai menuntut pemerintah dan mendesak pihak internasional agar menggerakkan Indonesia guna menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Karena merasakan pelanggaran HAM, rasisme dan diskriminasi yang tak kunjung usai, orang Papua terus mengumandangkan kemerdekaan untuk pisah dari NKRI.
Sebenarnya, kalau pemerintah merasa terancam dengan tuntutan pengakuan kedaulatan politik dan penyelesaian kasus Pepera itu, dan takut kehilangan, seharusnya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Atau menuruti kemauan orang Papua. Sekaligus meyakinkan mereka bahwa dengan menyelesaikan kasus-kasus HAM, orang Papua semakin merasa aman dan menyatu dengan Indonesia.
Tetapi pemerintah tidak memperhatikan ini. Pemerintah malah mendorong pembangunan fisik, yang sama sekali tidak diharapkan oleh orang Papua. Ini sungguh-sungguh sebuah kebijakan yang kontroversial, jauh dari permintaan hati nurani orang Papua terhadap otoritas pemerintah Indonesia. Ini sama halnya dengan orang minta lain, dikasih lain.
Tidak selesaikan akar persoalan Papua-Indonesia
Pembangunan infrastruktur fisik di Papua itu kalau sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi, maka apapun pembangunan fisik atas nama Tuhan, kemanusiaan, pembangunan, kemajuan, kesejahteraan, ketertinggalan, kemiskinan, pengangguran dan lainnya adalah percuma.
Percuma mendorong kebijakan seindah apapun tetapi tidak diimbangi dengan “kehendak baik”, dan hati nurani. Justru mempermudah akses bagi kapitalis dan imperialis. Juga untuk mempertahankan kekuasaan dan keutuhan kolonial tanpa “berkehendak baik” pada masa depan rakyatnya.
Tidak ada kebijakan pembangunan fisik yang mengakui, menghargai, dan menjunjung tinggi martabat orang Papua. Semua tempat keramat, dari dalam kota, hutan, pegunungan, kali, sungai, telaga dan jalan yang memiliki totem, dan nilai khas filosofis dicaplok, dan diganti namanya sesuka hati.
Misalnya, jalan Soekarno. Hatta, Sudirman, Jawa, Surabaya, Sumatera, Sulawesi, stadion Mandala, Trikora, dan lainnya yang asing; jembatan ini dan itu; pelabuhan ini dan itu; Bandara Frans Kaisiepo, dan masih banyak lagi. Ini semua sifat-sifat dan bentuk-bentuk kolonialisme yang tidak berbobot, amoral, dan menunjukkan “kehendak tidak baik”.
Kehendak baik pemerintah yang memaksakan diri secara sepihak, seperti yang kita lihat pada belakangan ini justru membangun citra buruk, meningkatkan kesan otoritarianisme, sebuah sistem pendudukan yang karat kurang baiknya (sederhana) dan utilitarianisme, seperti yang dipandangkan oleh John Stuart Mill, filsuf Inggris abad ke-19.
Lebih daripada itu, pemerintah memperlebar ciri khas pendudukan yang bersifat aneksasionis, karena merumuskan, merencanakan dan melaksanakan apapun tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Kalau pemerintah bermoral dan “berkehendak baik” pasti dia akan mengakui, menghormati, melestarikan dan mengangkat segala sesuatu yang ada di daerah setempat. Namun, hal yang terjadi adalah sebaliknya, pemerintah lebih dominan menunjukkan “keasingan” di Papua, sehingga itu memang ada fakta pendudukan terselubung dalam pembangunan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur yang kita bangga-banggakan itu sebenarnya tidak bermoral dan tidak berpihak pada eksistensi kodrat orang asli Papua. Tidak menyentuh akar dan menyelesaikan persoalannya. Justru menambah masalah demi masalah.
Jalan percepatan genosida bagi orang Papua
Kebijakan fisik pembangunan di mata pemerintah memang baik, indah dan etis adanya. Bahkan sangat bermoral, sebagaimana yang dijelaskan oleh Kant dalam prinsip maksim kategoris. Akan tetapi bagi saya adalah kebijakan yang kontra pada nasib dan masa depan orang Papua ini merupakan sebuah kebijakan amoralitas dan tidak pro-OAPM
Keprihatinan dan keseriusan pemerintah ini patut diragukan. Sebab perintah terkesan tidak memiliki “kehendak baik” dalam kebijakannya. Bikin baik-baik di bibir, di depan orang Papuanya, di depan layar laptop, handphone dan lainnya, akan tetapi sama sekali tidak memberikan kewenangan penuh kepada orang Papua. Sungguh pun ada pasti dia ingin terus intervensi dan itu sebuah etika moral yang cacat.
Pembangunan infrastruktur itu di mata pemerintah adalah jalan kebenaran, kehidupan, pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan, membuka isolasi daerah dan mengejar ketertinggalan pembangunan. Akan tetapi bagi saya, pada satu sisi, semua itu sebagai jalan kehancuran, kematian dan mempercepat proses genosida bagi orang Papua di bawah ketiak Indonesia. Bisa saja 30-100 tahun orang Papua tidak ada di tanah airnya sendiri!
Pemerintah harus mengubah pendekatan yang lebih harmonis. Misalnya, mendorong kebijakan yang humanis, pro pada pengakuan orang Papua sebagai warga negara. Pembangunan infrastruktur fisik itu tidak dibutuhkan dan itu bukan solusi. Solusi bukan juga soal pemekaran, infrastruktur fisik dan kesejahteraan. Kalau bisa, pulihkan luka batin orang Papua. (*)
Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Jayapura
Editor: Timoteus Marten