Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Akademisi dari Universitas Cenderawasih atau Uncen Jayapura, Yakobus Murafer mengatakan dualisme jabatan sekretaris daerah atau Sekda Papua kini, jangan sampai menghambat pelayanan kepada publik.
Menurut pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atau FISIP Uncen itu, ketika situasi seperti ini perlu ada sikap bijaksana, kedewasaan dalam politik pemerintahan ini.
Sebab dibutuhkan kepemimpinan yang baik menyelenggarakan agenda pemerintahan.
“Semua pihak mesti dewasa dan saling menghormati. Dalam konteks inikan, kita memberi pelajaran politik pemerintahan yang baik bagi masyarakat,” kata Yakobus Murafer kepada Jubi, Selasa (2/3/2021).
Ia berharap, situasi ini tidak berlarut, karena akan menghambat pelayanan publik bagi masyarakat, sebab pemerintahan sebenarnya adalah milik masyarakat bukan segelintir orang.
“Saya pikir semua elite politik tidak boleh membangun opini dalam menganalisis situasi ini agar tidak terjadi perpecahan di masyarakat. Elite politik mesti membangun kesadaran merangkul, dan harmonisasi. Tidak menciptakan dua kubu,” ujarnya.
Ia berpendapat masalah mendasar dalam sengkarut ini, karena belum ada aturan spesifik mengenai penempatan atau pengangkatan Sekda definitif.
Jabatan Sekda definitif dan penjabat Sekda tingkat provinsi dan kabupaten/kota memang diatur dalam Pasal 213 dan 214 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Akan tetapi, dalam kedua pasal itu tidak disebutkan secara detail bagaimana proses pengangkatan seorang Sekda definitif.
Kedua pasal ini lebih banyak menjelaskan tugas seorang Sekda, tata cara dan syarat pengangkatan penjabat Sekda, apabila Sekda definitif berhalangan.
“Secara normatif itu mengandung kepastian hukum. Akan tetapi pengangkatan Sekda definitif belum dibuat lebih rinci. Pemerintah pusat hanya merincikan peraturan tentang penjabat Sekda,” ucapnya.
Kata Murafer, tata cara dan syarat pengangkatan penjabat Sekda justru diatur secara spesifik melalui Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018.
Ia berharap, ke depan perlu ada aturan lebih terperinci, khususnya bagi daerah yang melaksanakan disentralisasi secara khusus, seperti Papua. Ini penting agar tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah.
“Kita mengantisipasi terjadinya krisis legalitas karena dua dua ini sama sama memiliki legalitas hukum. Perlu ada aturan lebih terperinci lagi, khususnya bagi daerah yang melaksanakan disentralisasi secara khusus seperti Papua,” katanya.
Pada Senin, Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal di Kota Jayapura melantik Doren Wakerkwa menjadi Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua. Pada hari yang sama, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di Jakarta melantik Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Provinsi Papua definitif.
Sebelumnya, Doren Wakerkwa sudah dilantik menjadi Penjabat Sekda Provinsi Papua pada 25 September 2020 lalu.
Padahal, pada 23 September 2020 Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 159/TPA Tahun 2020 yang mengangkat Dance Yulian Flassy menjadi Sekda Provinsi Papua definitif.
Melalui keterangan pers tertulis yang diterima Jubi pada Senin malam, Enembe menegaskan tetap menghargai dan tetap akan melaksanakan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 159/TPA Tahun 2020 yang mengangkat Dance Yulian Flassy menjadi Sekda Provinsi Papua definitif.
Menurutnya, pelantikan Doren Wakerkwa sebagai Penjabat Sekda Provinsi Papua untuk menghindari kekosongan karena masa jabatan Wakerkwa sebagai Penjabat Sekda berakhir pada Senin.
“Kami tidak tahu [jika] pada waktu yang sama juga ada pelantikan Sekda [Papua] definitif oleh Menteri Dalam Negeri di Jakarta. Kami hanya hindari kekosongan jabatan, makanya kami kembali memperpanjang masa jabatan Penjabat Sekda [hingga] enam bulan ke depan,” kata Enembe. (*)
Editor: Edho Sinaga