Papua No. 1 News Portal | Jubi
FILM Miki's Hope dan Kopi di Bulan Mei diluncurkan. Miki's Hope adalah film dokumenter yang menginspirasi dan mengingatkan perjalanan seorang anak dari kampung ke kota. Film ini bermakna agar manusia harus berjuang dan berbuat baik terhadap sesama dan alam.
Sineas muda asal Jayapura, yang juga sebagai dosen Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua, Muhamad Ilham Mustaida atau akrab disapa Iam Murda, memanggil satu per satu pemain dan kru film di atas panggung, untuk menceritakan pembuatan dua film itu.
Sebelum diluncurkan, film pendek Kopi di Bulan Mei dan Miki's Hope melewati banyak kritikan warganet.
“Mereka bilang ko bikin film tentang kopi, ko tahu sejarah kopi ka. Tapi saya beri tahu kepada mereka. Saya bukan penggila kopi tapi saya hanya penikmat kopi,” katanya, saat peluncuran, 19 Oktober 2018 lalu, di Kota Jayapura.
Ia mengatakan, dari segelas kopi, mereka menikmatinya bersama teman-teman. Di kafe-kafe mereka mencari wifi gratis, dan duduk berjam-jam hanya untuk menemukan ide dan inspirasi.
“Jadi kopi yang kami maksudkan itu bukan sejarah kopi. Tetapi istilah ini kami ambil dari dialek Papua sehari-hari, yakni ko pi di bulan Mei (kamu pergi di bulan Mei)," ujarnya.
Setelah menemui produser, disepakati judul itu. Nama pelayan kafenya juga Mei. "Banyak cowok-cowok mau dekati lalu mereka nongkrong. Semua berlomba-lomba mau antar pulang. Dari situlah saya terinspirasi bahwa bulan Mei dan Mei."
“Saya ingat guru pembimbing saya di pascasarjana Profesor Sapardi Joko Damono pernah menulis tentang Hujan Bulan Juni, dan saya membuat film ini Kopi di Bulan Mei. Akhirnya film Kopi di Bulan Mei dari episode 1-6 walaupun sederhana, ada banyak yang mengkritik mulai dari audionya, gambarnya, dan sebagainya tetapi puji Tuhan bisa jadi,” katanya.
Mereka yang terlibat dalam pembuatan film tidak berlatar belakang produser film. Tapi ada mahasiswa hukum, tukang make up, dan penjual di warung.
"Saya bilang tong bikin film semua orang bicara teknis seni itu tidak kaku. Anak-anak Papua yang berkarya buat 20 tahun lalu dipadam mati,” katanya.
“Beberapa kali kami lakukan demikian. Satu kali kami ditegur oleh sekuriti kafe, mereka kunci. Akhirnya kami tidak bisa pulang jam 11. Kita cerita sampai jam dua subuh,” katanya.
Hasil editan filmnya berseri. Lalu dipromosikan media sosial. Banyak tantangan selama membuat kedua film tersebut, baik dari lokasi syuting, maupun audionya.
“Mereka bilang tong bikin film pendek ka, bicara tentang apa. Miki's Hope kita kendala di lokasi, kafe sponsor. Nonton film Makassar Jalan Kota Rasa Keju. Besoknya saya menonton ternyata film pendek berseri,” katanya.
Film Miki's Hope berbicara mengenai filosofi pohon kelapa. Pohon kelapa itu bisa tumbuh di mana saja. Miki's Hope bicara mengenai harapan, semua manusia di dunia ini ingin berguna bagi masyarakat, alam dan semesta.
"Bagaimana ko mau tinggal di Entrop, Biak, Serui, ko harus mempunyai manfaat seperti pohon kelapa. Manfaatnya salah satu pendidikan akhirnya dia sukses dengan ilmu noken yang diberikan oleh mama,” katanya.
Dengan sekolah baik, Miki bisa bemanfaat bagi kehidupan masyarakat.
“Pesan moralnya bahwa kita harus menjadi orang yang berguna bagi tanah Papua, saya lahir di Papua tapi apa yang saya mau berikan? Saya hanya biasa memberikan pesan-pesan moral melalui film agar kita menjaga Papua ini bersama-sama."
Iam mengatakan, apabila ada yang tersinggung lantaran Kota Jayapura kotor itu tergantung tanggapan dari penonton. “Tetapi saya hanya mengajak bagimana kita bisa menjaga alam ini dengan saksama,” katanya.
Dalam Kopi di Bulan Mei, pemeran Sudirman sebenarnya pembawa alur cerita. Dia sebulan di Jayapura, bertemu teman-teman lama dan teman baru apabila ada masalah. Tapi dia harus pergi pada bulan Mei meninggalkan kota ini.
Kopi di bulan Mei diputar berseri. "Walaupun saya orang tari saya akan tetap konsisten membuat film pendek, berbicara era digital pendidikan bisa kita belajar. Dijadikan sarana edukasi yang tepat. Sebab kita di Papua ini kental dengan budaya tutur ketimbang menulis. Sehingga kami menyajikan film untuk mengedukasi pemirsa sekalian."
Menurutnya banyak kreativitas yang muncul di Kota Jayapura. Mereka membutuhkan wadah-wadah seperti ini, bikin film, dan lagu.
“Kalau kasih wadah mereka juga biasa memberikan edukasi, menari yang baik, menari yang baik itu yang mereka bisa memberikan kontribusi agar dapat membangun SDM yang baik di Papua,” katanya.
Iam berharap, karyanya dikenal dan menginspirasi banyak orang. Selanjutnya di channel Youtube Indonesia Art Movement.
Kepala Seksi Ekbud Dinas Pariwisata Kota Jayapura Muhamad Halib mengapresiasi kemuculan komunitas film di Kota Jayapura. Beberapa tahun yang lalu industri film maju tapi dari luar Papua. Merauke malahan sudah maju. Namun, yang terpenting komedi sudah mendarah daging di Kota Jayapura.
“Karena di Papua itu kita kenal dengan mop dan di luar Papua itu orang menyebutnya dengan Stand Up Comedy. Ini peluang kita, industri film di luar dari itu film komedi kita kembangkan," ujarnya.
Industri film akan diakomodir, termasuk seni pertunjukan agar dapat berkembang. (*)