Papua No.1 News Portal | Jubi
Merauke, Jubi – Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Merauke mengklarifikasi pemberitaan mengenai program penanaman 1.000 bibit sagu di Kampung Kaliki, Distrik Kurik. Mereka mengklaim telah berupaya melaksanakan program tersebut sesuai kesepakatan dalam kerja sama dengan Badan Restorasi Gambut atau BRG.
“Saya perlu mengklarifikasi (pemberitaan tersebut). Itu sehingga masyarakat mengetahui secara jelas (permasalahannya),” kata Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Merauke Ratna Laoce, saat memberi keterangan pers, Rabu (1/7/2020).
Penanaman 1.000 sagu diluncurkan pada tahun lalu sebagai salah satu program untuk merestorasi gambut di Kampung Kaliki. Program tersebut terbengkalai lantaran semua bibit mengalami kematian dini. Penyebabnya diduga karena penanaman dilakukan saat kemarau.
Permasalahan tersebut diangkat Jubi melalui liputan khusus dan diterbitkan pada pekan lalu. Kematian 1.000 bibit sagu itu terkonfirmasi melalui temuan lapangan dan sejumlah narasumber kredibel, di antaranya warga dan pemuka masyarakat Kampung Kaliki.
Pada seri liputan investigasi itu, Jubi memuat pula pernyataan dari Ratna Laoce sebagai klarifikasi dan narasumber penyeimbang. Dia waktu itu mengaku telah mengetahui persoalan tersebut, tetapi menurutnya, tidak semua bibit sagu itu mati.
Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Perkebunan Yuliana Payunglangi dalam keterangan pers pada hari ini mengklaim program penanaman sagu itu berjalan secara transparan. Rancangan anggaran belanjanya bahkan dibeberkan saat sosialisasi kepada masyakat setempat.
“Dana yang diturunkan (dialokasikan) BRG senilai Rp200 juta. Informasi itu kami sampaikan berulang kali saat sosialisasi dan penyerahan RAB (rencana anggaran belanja). Kami tidak pernah tertutup soal anggaran,” kata Yuliana.
Dia merincikan sebanyak Rp73 juta dari anggaran tersebut diserahkan pengelolaannya kepada empat marga di Kaliki. Anggaran itu dialokasikan untuk pembersihan lahan, penanaman, pengajiran, pengadaan bibit, dan perawatan tanaman. Adapun dana senilai Rp127 juta digunakan untuk pembelian berbagai peralatan kerja, dan biaya operasional.
“Uang tersebut (untuk marga) diserahkan langsung kepada masyarakat. Itu diketahui (disaksikan) Kepala Kampung Kaliki dan Gapoktan (gabungan kelompok tani),” ujarnya.
Konflik lahan
Berdasarkan pengakuan warga kepada Jubi, setiap marga hanya menerima Rp6 juta dari total pendanaan tersebut. Menanggapi temuan itu, Yuliana malah meminta Jubi menanyakan kembali perihal tersebut kepada warga setempat.
Dia melanjutkan mereka saat itu meminta masyarakat hanya menanam secara simbolis. Penanaman selanjutnya dianjurkan pada saat memasuki musim penghujan. Namun, masyarakat berinisiatif melanjutkan penanaman karena terdapat sumber air di areal seluas 10 hektare tersebut.
“Mereka juga menggelar upacara adat agar sagu itu bisa tumbuh setelah ditanam. Jadi, kami tak mungkin masuk hingga ke ranah adat istiadat (mencampuri urusan masyarakat),” dalih Yuliana.
Dia mengaku mereka juga melakukan pemantauan (monitoring) terhadap pelaksanaan program. Namun, tim mereka tidak bisa memasuki areal penanaman karena mendapat kabar lahan tersebut diblokade warga.
“Kepala Distrik Kurik menyampaikan bahwa ada konflik sehingga masyarakat memasang sasi (blokade) di lahan tersebut. Jadi, sebenarnya kami ingin mendampingi terus (masyarakat setempat), tetapi ada persoalan internal adat di sana,” jelas Yuliana.
Kepala Bidang Perkebunan Christoforus Gunawan Setijadi secara terang-terangan mengaku keberatan atas hasil liputan Jubi yang mengungkap kegagalan Program 1.000 Sagu di Kaliki. Dia meminta para pihak segera mengklarifikasi pernyataan yang disampaikan kepada publik tersebut karena dianggap menyudutkan mereka.
“Sepertinya kami di dinas ini yang salah. Terus terang, saya tidak terima dengan berita seperti itu,” kata Christoforus, sembari menegaskan seluruh pendanaan program tersebut dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya. (*)
Editor: Aries Munandar