Ditempati PKL, RTH pantai Nabire dinilai tak berfungi

Lapak PKL di RTH pantai Nabire – Jubi/Titus Ruban.
Lapak PKL di RTH pantai Nabire – Jubi/Titus Ruban.

“Dampak kehadiran PKL serta wahana hiburan keluarga menimbulkan penumpukan sampah yang mengotori lingkungan sekitar area,”

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Read More

Nabire, Jubi – Ruang Terbuka Hijau (RTH) pantai Nabire dinilai sudah tidak lagi berfungsi sesuai peruntukannya. Keberadaan fasilitas umum itu  kini menjadi pusat penjualan pedagang kaki lima (PKL) yang saban hari menjajakan dagangannya.

“Dampak kehadiran PKL serta wahana hiburan keluarga menimbulkan penumpukan sampah yang mengotori lingkungan sekitar area,” kata seorang warga Nabire, Kurios B Duwiri, 46 tahun, Kamis (28/11/2019).

Baca juga : Dewan Sayangkan Rumah Kabandara Sentani yang Dibangun di Ruang Terbuka Hijau

Pembangunan RTH Bandara Sentani dalam proses penghitungan lahan

Pengusaha Pantai Nabire rutin bersihkan areal RTH

Kondisi itu menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan maupun kesehatan masyarakat yang datang berkunjung maupun berdomisili di sekitar lokasi tersebut. Situasi itu menjadi dilematis mengingat PKL yang menjajakan dagangannya di sekitar lokasi hadir mencari nafkah, tak jarang banyak pihak yang membuka pintu bagi kehadiran mereka.

“Mereka merasa berhak berada di tempat tersebut karena telah membayar retribusi. Hal ini lantaran Pemkab hingga saat ini belum memiliki solusi alternatif untuk mengakomodir kebutuhan warganya yang berprofesi sebagai PKL,” kata Duwiri menjelaskan.

Ia juga menyalahkan pembiaran PKL di runag terbuka hijau itu, termasuk  adanya retribusi bagi PKL yang justru seakan melegalkan mereka menempati lahan yang tidak sesuai peruntukannya. Duwiri juga mempertanyakan aturan yang mendasari pemungutan retribusi PKL yang sejatinya melanggar aturan itu.

“Jika retribusi dimaksud diklaim sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Nabire, seberapa signifikan kah angka pemasukan ini terhadap jumlah PAD di kas daerah,” kata Duwiri mempertanyakan.

Sekretaris Suku Wate kampung Oyehe itu menilai retribusi itu tidak sebanding dengan dampak kerusakan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk merehabilitasi lingkungan yang terdampak sampah dan polusi akibat penyimpangan yang terjadi.

Pegiat lingkungan Kabupaten Nabire, Bentot Yatipai, meminta agar perlu evaluasi kembali fungsi RTH yang beralihfungsi menjadi pusat perdagangan PKL.

“Mengingat kapasitas lahannya sudah tidak nyaman, baik pejalan kaki maupun aktifitas olahraga dan tempat bersantai keluarga,” kata Bentot.

Menurut dia, kawasan RTH itu awal perencanaannya hanya untuk mitra kelompok penjual buah. Namun sekarang sudah berubah dan tidak sesuai  master plan desain RTH.

Sedangkan pertimbangan dan analisa nilai retribusi serta dampak lingkungan yang terjadi sangat tidak tepat. “Sebab terkesan dampak lingkungan yang rusak, seperti sisah makanan dan lainnya,” katanya.

Sekretaris Badan Pendapatan Daearah (Bapanda) Nabire, Fatnawati menjelaskan pengangkutan sampah di kawasan RTH pantai Nabire diserahkan kepada Distrik Nabire dengan biaya sebesar Rp 800 ribu perbulan. “Sedangkan pembersihannya dari ibu – ibu kelurahan Morgo. Jadi sampah disapu oleh ibu – ibu dan akan di angkut oleh petugas distrik, ” kata Fatnawati.

Ia mengaku dampak sudah dipikirkan, namun tanggungjawab pengguna RTH harus dilaksanakan.

Menurut dia, masuknya pedagang di sana bukan kebijakan Bapenda tetapi distrik sebagai pengelola sebelumnya. “Dan tidak semua tempat ditaruh jualan tapi ada tempat khusus saja,” katanya. (*)

Editor : Edi Faisol

Related posts

Leave a Reply