Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Jurnalis senior Papua, Victor C Mambor menyatakan disinformasi atau informasi palsu mengaburkan berbagai fakta yang terjadi di Papua selama ini.
Ia mencontohkan saat ribuan warga Kabupaten Nduga mengungsi ke berbagai daerah terdekat sejak akhir 2018, informasi yang beredar di publik mereka meninggalkan kampungnya karena diteror kelompok bersenjata di wilayah itu.
Akan tetapi informasi itu berbeda dengan keterangan warga pengungsi. Warga menyatakan memilih mengungsi karena khawatir menjadi korban salah sasaran.
Aparat keamanan melakukan operasi penegakan hukum hingga ke kampung-kampung, mencari kelompok bersenjata.
Pernyataan itu dikatakan Mambor dalam diskusi daring “Teroris atau Kelompok Kekerasan Bersenjata?” (kekerasan Berbasis Agama, Etnis dan Politik di Indonesia).
Diskusi yang digelar, Kamis (16/7/2020) itu, juga menghadirkan dua pembicara lain, yakni Ustad Sofyan Tsuri yang merupakan mantan narapidana teroris dan mantan anggota Al Qaeda Asia Tenggara, juga pengamat politik dan keamanan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara.
“Pengalaman saya, ada disinformasi yang cukup massif di Papua. Kalau seperti [dalam kasus pengungsi Nduga] ini, apakah kita juga mau sebut aparat keamanan sebagai teroris? Kan tidak mungkin,” kata Mambor.
Menurutnya, bersama salah satu media nasional pihaknya pihaknya pernah menginvestigasi media-media daring yang ‘siluman’.
Media-media ini diduga menyebar propaganda dan hoaks terkait informasi mengenai kelompok bersenjata atau OPM.
“Semua Informasi itu sumbernya selalu aparat keamanan. Padahal dalam menulis, kita mesti independen. Bersih dari kepentingan propaganda agar bisa objektif,” ujarnya.
Kata Mambor, disinformasi dan misinformasi (ketidaksengajaan) inilah salah satu menyebabkan masalah Papua tidak pernah selesai.
Ia mengatakan, ada dua masalah penting yang mesti diselesaikan jika tak ingin Papua terus bergejolak memisahkan diri dari Indonesia.
Pertama adalah pelurusan sejarah masuknya Papua ke Indonesia, kedua yakni penyelesaian pelanggaran HAM juga penegakan hukum.
“Menurut saya kita harus punya konsesi yang sama dalam hal ini. Sejarah Papua ini sangat bias sehingga kita tidak bisa menyimpulkan secepat itu. Kita harus sama-sama berjiwa besar melihat kebenaran dari sejarah itu. Apakah Papua ini benar diintegrasikan ataukah dianeksasi.
Sementara itu, pengamat politik dan keamanan, Robi Sugara mengatakan perlakuan pemerintah terhadap kelompok teroris di daerah lain dengan kelompok bersenjata yang ada di Papua, adalah sama.
“Misalnya di Papua ada orang yang dikenal pasal makar. Kalau kita geser ke kelompok teroris sama dengan apa yang dilakukan pemerintah di Papua. Teroris ada yang ditembak kalau dianggap melawan. Di Papua juga begitu,” kata Robi. (*)
Editor: Edho Sinaga