Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey menegaskan tidak pernah merendahkan martabat manusia atau hak asasi manusia (HAM) dalam kasus penembakan yang menewaskan dua pemuda di Mile 34 Kabupaten Mimika, Papua beberapa waktu lalu.
Pernyataan itu dikatakan Frits Ramandey melalui panggilan teleponnya kepada Jubi, Rabu (29/4/2020).
Ramandey mengklarifikasi pemberitaan Jubi sebelumnya yang memuat pernyataan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum Manokwari, Yan Christian Warinussy.
Dalam pemberitaan itu, Warinussy meminta pimpinan Komnas HAM menonaktifkan Kepala Perwakilan Komnas HAM di Papua Frits Ramandey.
“Saya mesti meluruskan ini, saya sama sekali tidak merendahkan atau melecehkan korban seperti yang dituduhkan. Keliru kalau disebut ada pernyataan saya yang merendahkan atau melecehkan korban dalam kasus Mile 34,” kata Ramandey.
Menurutnya, dalam kasus itu keluarga korban justru menyampaikan pengaduan kepada pihaknya.
Komnas HAM perwakilan Papua diminta melakukan investigasi dan memastikan proses hukum terhadap aparat yang diduga melakukan penembakan. Kini Komnas HAM perwakilan Papua sedang melakukan proses klarifikasi.
“Dalam pernyataan saya di media, saya menyebut peristiwa itu dapat diduga sebagai unsur dugaan pelanggaran HAM kalau aparat yang melakukan operasi salah sasaran. Tidak ada pernyataan yang merendahkan atau melecehkan martabat manusia,” ujarnya.
Kata Ramandey, Komnas HAM sebagai lembaga negara memiliki apa yang disebut pedoman dan verifikasi fakta.
Meski hingga kini tim Komnas HAM perwakilan Papua belum bisa ke lokasi karena pembatasan akses penerbangan di Papua, namun berdasarkan kewenangan, pihaknya telah melakukan cross cek kepada para pihak terkait, di antaranya Pangdam, Kapolda.
“Kita masih menggunakan mekanisme Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang pelaksanaan fungsi Komnas HAM, untuk memastikan kasus itu memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Keliru juga kalau kasus seperti itu menerpakan Undang-Undang 26 tahun 2000,” ucapnya.
Akan tetapi kata Ramandey, sebagai seorang aktivis, Yan Christian Warinussy sering melontarkan kritik tidak hanya kepadanya, juga kepada para pejabat publik lainnya.
Misalnya mendesak agar pejabat publik itu mengundurkan diri dari jabatannya. Padahal sebelum menempati sebuah jabatan, termasuk posisi kepala kantor Komnas HAM perwakilan Papua, ada sejumlah persyaratan dan klasifikasi yang mesti dimiliki seseorang.
Meski begitu lanjut Ramandey, ia menganggap pernyataan Warinussy tersebut merupakan bagian dari kontrol terhadap kinerja Komnas HAM perwakilan Papua.
Namun, sebagai pekerja HAM yang bersangkutan juga harus menghargai pendapat pihak lain, sehingga tidak sampai keliru.
“Pernyataan itu disampaikan ketika saya belum mengikuti pelatihan kepemimpinan administrator secara virtual di Lembaga Administrasi Negara selama lima bulan, sehingga saya sebagai pimpinan Komnas HAM perwakilan Papua saat itu mesti memberikan klarifikasi,” katanya.
Sebelumnya, Yan Christian Warinussy mendesak Pimpinan Komnas HAM menonaktifkan Frits Ramandey karena dinilai merendahkan martabat manusia serta merendahkan HAM korban penembakan di Kali Kabur Mile 34 Tembagapura-Timika.
“Saya mendesak Pimpinan Komnas HAM di Jakarta agar menon-aktifkan saudara Frits Ramandey, karena memberi pernyataan tanpa dasar fakta hukum dan investigasi HAM sebagaimana dimaksud dalam aturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Yan Christian Warinussy belum lama ini.
Ia menilai pernyataan Ramandey di salah satu media nasional dengan judul berita “Komnas Duga Ada Kecerobohan”, di dalam pemberitaan itu Ramandey menyebut insiden penembakan yang diduga dilakukan prajurit TNI dan menewaskan dua warga sipil di Papua sebagai tindakan ceroboh dan mencederai HAM, dianggap tidak tepat dan tidak proporsional, juga berindikasi menihilkan dugaan Pelanggaran HAM Berat dalam peristiwa Kali Kabur Mile 34 tersebut.
“Padahal Komnas HAM sendiri belum memulai langkah apapun untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM berat tersebut,” ujar Warinussy. (*)
Editor: Edho Sinaga