Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar menyatakan, berbagai insiden kekerasan yang terjadi di Papua dalam beberapa bulan terakhir telah digiring menjadi isu separatis. Penggiringan opini itu meningkatkan risiko konflik horisontal di Papua.
Hal itu dinyatakan Anum Siregar dalam diskusi bersama para aktivis hak asasi manusia (HAM), aktivis mahasiswa, perwakilan gereja, dan tokoh adat dengan Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM RI, Ahmad Taufan Damanik dan komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Diskusi itu berlangsung di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua di Jayapura, Senin (14/10/2019) petang.
“Inikan ada tiga periode. Periode rasisme, periode anarkis, dan periode separatis. Kita sekarang ditarik pada periode paling akhir, [yaitu masalah separatis]. [Akan] tetapi soal rasisme [yang terjadi di Surabaya] tidak diselesaikan,” kata Anum Siregar.
Menurutnya, penggiringan opini itu membuat di Papua publik terpolarisasi dalam dua kutub ekstrim. Di satu kutub, masyarakat [digiring memahami konteks persoalan Papua sebagai] isu Papua merdeka, [berhadapan dengan] Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di kutub lainnnya, masyarakat digiring memahami konteks persoalan Papua sebagai konflik horizontal.
“Dua ruang itu yang sedang didesain. Setiap orang diarahkan pada dua konteks itu. Ini soal serius, dan mungkin kita harus punya banyak energi [untuk menghadapinya], karena nampaknya ceritanya akan makin panjang,” ucapnya.
Anum Siregar menduga, dinamika yang kini terjadi di Papua tidak akan selesai dalam waktu dekat, karena itu aktor di balik berbagai peristiwa dan insiden di Papua sangat banyak, dan sangat sulit dipetakan. Komnas HAM dinilai tidak cukup hanya bicara bagaimana menyelesaikan masalah secara perdamaian, karena Komnas HAM punya kewenangan dalam konteks pro justisia.
“Perdamaian tidak [bisa] terwujud tanpa penegakan hukum. Itu yang mesti dipegang Komnas HAM. Bukan soal penyelesaian secara damai, tapi penegakan hukumnya,” ujarnya.
Pendeta Dora Balubun dari Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua mengatakan, semua insiden di Papia belakang ini berawal dari masalah rasisme di Surabaya. Akan tetapi saat mahasiswa di Papua menggelar demontrasi menolak rasisme, mereka ditangkap dan diarahkan ke pasal makar.
“Saya pikir ini sudah dibelokkan jauh sekali. Diarahkan ke Politik. Kesempatan ini digunakan aparat atau negara mengambil langkah-langkah menangkap aktivis, pejuang Papua merdeka,” kata Pendeta Dora Balubun.
Padahal menurutnya, jika dilihat organisi pejuang kemerdekaan Papua semisal Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) tidak terlibat dalam demonstrasi tersebut. Demonstrasi itu murni didorong oleh mahasiswa. Namun kini para aktivis KNPB dan ULMWP ditangkap, dibawa jauh dari Papua. “Kami minta Komnas HAM agar mereka dibawa kembali karena mereka tidak terlibat dalam demonstrasi itu dan mereka tidak melakukan kekerasan,” ucapnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G