Dari “daun perang”, kini Daun Mambri lebih dikenal sebagai “daun bungkus”

Daun Bungkus, Papua
Daun Mambri (Smilax rotundifolia) yang dikenal masyarakat adat Saireri sebagai daun perang kini justru terkenal dengan sebutan "daun bungkus". - Istimewa

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Daun Mambri (Smilax rotundifolia) menjadi legenda, terutama ketika diperkenalkan sebagai “daun bungkus”. Daun Mambri bukan hanya dilingkupi berbagai pengetahuan lokal tentang beragam manfaat dan julukannya sebagai “daun perang”, namun juga dilingkupi beraneka mitos yang melambungkan namanya sebagai “daun bungkus”.

Apolos Sroyer, Mananwir Kainkain Karkara Byak menuturkan bagaimana masyarakat adat Biak memanfaatkan Daun Mambri sebagai “daun perang”. Menurutnya, Daun Mambri semula digunakan untuk menambah keberanian bagi kaum laki-laki Biak, terutama dalam perang. Kaum pria akan mengunyah daun tiga jari itu untuk memanaskan bagi leher dan tubuh, karena diyakini daun itu menambah keberanian mereka saat tampil dalam medan perang sebagai seorang mambri atau panglima perang.

Read More

Sebutan “daun bungkus” itu muncul belakangan, karena Daun Mambri dimitoskan berkhasiat memperbesar ukuran penis. Cara yang dianjurkan dalam mitos “memperbesar” itu adalah memakai Daun Mambri untuk membungkus penis. Berhasil? Entahlah, yang jelas banyak kasus cara itu bisa menimbulkan alergi atau menyebabkan kulit melepuh.

“Saya sendiri tidak sepakat dengan kata ‘daun bungkus’, sebab daun itu gunanya untuk menambah keberanian, vitalitas, dan semangat bagi kaum pria dalam perang. Saya sendiri tidak setuju kalau disebut ‘daun bungkus’,”kata Apolos Sroyer.

Baca juga: Sejumlah pihak di Papua bahas pengembangan griya pengobatan tradisional

Sroyer menjelaskan beragam manfaat Daun Mambri memang membuatnya lebih pantas disebut “daun perang”, misalnya ketika daun itu dipakai untuk menyembuhkan luka bekas kena tombak atau panah. Itulah mengapa Sroyer sangat berkeberatan dengan sebutan “daun bungkus” yang membuat Daun Mambri hanya dikenal dalam urusan bungkus membungkus itu.

Peneliti dari Fakultas MIPA Universitas Cenderawasih, Dr Lisye Iriana Zebua menyebut sampai saat ini belum ada penelitian terbaru yang bisa membuktikan mitos “daun bungkus” dan urusan bungkus membungkus. Zebua sendiri mengaku belum pernah meneliti manfaat dan khasiat daun Mambri, termasuk dalam urusan bungkus membungkus.

Zebua menyebut potensi tanaman obat dari Papua memang sangat banyak dan beragam, termasuk potensi daun Mambri. “Pengetahuan lokal tanaman obat Papua berbeda-beda untuk setiap suku. Dan [pengetahuan itu] sesuai dengan dengan tempat tinggal mereka, baik di wilayah pegunungan maupun di dataran rendah,” katanya.

Baca juga: Papua, “surga kecil di bumi” penuh ragam obat tradisional

Namun, Zebua menyebut penelitian ilmiah atas berbagai tanaman obat Papua terkendala minimnya pengetahuan generasi muda Papua tentang tanaman obat itu. Sekarang sudah sangat jarang ada anak anak muda yang mengetahui tanaman obat tradisional dari suku mereka.

”Tidak banyak anak-anak muda Papua yang mengetahui tanaman obat tradisional dari suku mereka, Apalagi bila mereka sudah tinggal di perkotaan. Maka sebutan untuk nama lokal tumbuhan obat dari suku merekapun tidak mereka pahami,” katanya.

Selain itu,  umumnya pengetahuan tanaman obat Papua hanya bisa diperoleh dari keterangan atau penjelasan para orang tua yang usianya di atas 60 tahun, “Estafet pengetahuan dari para orang tua tentang tanaman obat Papua jarang terjadi bahkan tidak ada sama sekali,” katanya

Baca juga: Kampung Biawer Jadi Pusat Agro Wisata Tanaman

Antropolog JR Mansoben, PhD MA menyebut sejak dulu orang-orang tua suku Byak mengenal beragam jenis daun yang memiliki khasit tertentu. Orang tua selalu menganjurkan para pemuda memakan daun agar pintar membuat perahu, atau daun untuk mengukir dan menempa parang.

“Berbagai jenis daun ini jelas berfungsi untuk memberikan semangat dan juga sebagai herbal dalam kesehatan, agar bisa berpikir lebih jernih,” kata Mansoben kepada Jubi, Rabu (9/3/2022). Mansoben menambahkan banyak tumbuhan yang sampai sekarang belum diteliti dan dimanfaatkan sebagai obat obatan tradisional.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Cenderawasih, Dr Rosye Hefmi Tanjung mengatakan pihaknya meneliti berbagai tanaman obat Papua. Menurut Tanjung, pihaknya baru saja mengajukan hak paten terhadap hasil peneletian manfaat Katuk Hutan atau Bremia cermua dalam pengobatan kanker.

Tanjung menjelaskan habitat katuk hutan itu menyebar di dataran rendah seperti daerah pantai, tetapi tumbuh agak jauh dari garis pantai. Tumbuhan itu tumbuh subur di tanah gembur dengan kadar air yang cukup. Tumbuhan itu ditemukan menyebar di dataran rendah yang datar hingga ketinggian 50 meter di atas permukaan laut. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply