Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Advokat Hak Asasi Manusia atau HAM Papua, Latifah Anum Siregar mengatakan penangguhan penahanan terhadap tersangka kasus makar di Papua, dijadikan aparat keamanan sebagai tabungan kasus.
Menurutnya, penangguhan itu tidak hanya menggantung masa depan tersangka, juga dapat dijadikan alasan menangkap yang bersangkutan dalam kasus berbeda.
Pernyataan itu dikatakan Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP itu dalam diskusi daring “Makar, Pemenjaraan, Aktor Anti-Rasisme Papua, dan Kebebasan Berpendapat”.
Diskusi ini digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (BEM STH) Indonesia Jentera, Jakarta pada Senin sore (27/7/2020).
Katanya, dalam catatan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, sebanyak 20 tersangka dari puluhan orang yang ditangkap pascaunjuk rasa antirasisme di Papua pada Agustus hingga September 2019, ditangguhkan.
Akan tetapi, hingga kini para tersangka itu belum mendapat kepastian sampai kapan penagguhannya, dan bagaimana proses kasus mereka selanjutnya.
“Saya punya klien dari Demta [Kabupaten Jayapura], pada 2010 ditangguhkan. Hinga kini tak ada kabar. Kesannya penangguhan ini dijadikan tabungan kasus. Misalnya Steven Itlay, Buhctar Tabuni, itu orang-orang yang kena tabungan kasus,” kata Anum.
Selain itu katanya, ada juga orang yang ditangkap tidak sampai satu kali 24 jam kemudian dibebaskan. Akan tetapi itu bukan jaminan orang itu benar-benar bebas. Suatu waktu dapat ditangkap lagi ketika ada kasus dan dikaitkan pada dirinya.
“Jadi tidak ada perlindungan sama sekali. Orang bisa ditangkap kemudian pasalnya yang dikenakan diubah. Tuduhan saat penangkapan lain, pasal yang dikenakan nantinya lain atau diubah,” ujarnya.
Di Papua lanjut Anum, orang dengan mudah dapat ditangkap dengan berbagai alasan. Bahkan ketika ikut beribadah atau menghadiri perayaan oleh pihak yang dianggap berseberangan.
Ia mengibaratkan orang Papua hidup dari satu penjara ke penjara lain. Ketika seseorang telah menyelesaikan hukuman di penjara dan bebas, ia justru masuk ke penjara lebih besar.
“Makanya saya bilang teman-teman [tujuh Tapol Papua yang diadili di Kalimantan Timuur], yang baru keluar kemarin, kalian keluar dari penjara kecil ke penjara besar. Kalian bisa ditangkap sewaktu-waktu tanpa alasan jelas,” ucapnya.
Muhammad Isnur, Ketua Bidang Advokasi YLBHI yang juga merupakan pembicara dalam diskusi itu mengatakan, tidak dapat disangkal orang Papua mengalami diskriminasi dalam berbagai hal, termasuk dalam perlakukan hukum.
Menurutnya, salah satu ketidakadilan perlakukan hukum terhadap orang Papua dapat dilihat dalam kasus unjuk rasa antirasisme di berbagai daerah di Papua Agustus hingga September 2019 lalu.
“Teman-teman yang menolak rasisme dituntut belasan tahun, pelaku rasisme di Surabaya divonis ringan. Ada namanya Andria Andiansyah, 26 tahun divonis hanya 10 bulan penjara. Padahal dia salah satu titik awal yang menyulut kerusuhan, demonstrasi aksi dimana-mana,” kata Isnur.
Selain itu menurutnya, Tri Susanti yang membuat narasi bahwa mahasiswa Papua merobek dan mematahkan tiang bendera yang terpasang di tepi jalan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, juga memprovokasi dan menghimpun massa dengan informasi hoaks divonis ringan.
Jaksa penuntut umum hanya menuntut Tri Susanti, satu tahun pidana penjara dan divonis tujuh bulan.
“Bayangkan bagaimana coba. Banyak orang meninggal ditangkap,luka-luka karena perbuatannya, tapi dia hanya dituntut dan divonis rendah,” ujarnya.
Katanya, mahasiswa Papua korban rasisme di Surabaya, Jawa Timur Agustus 2019, juga tidak mendapat hak pemulihan.
Semestinya mereka mendapat perlindungan khusus agar tidak lagi mengalami hal yang serupa kemudian hari.
“Inikan mereka sudah dapat tindakan rasisme, diteror, terancam justru kembali menjadi korban,” ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga