Papua No. 1 News Portal | Jubi
BERMODALKAN 1 hektare lahan, Yaseni menangguk pendapatan cukup menggiurkan. Dia menanami lahan pemberian kerabatnya tersebut dengan jagung dan aneka sayuran, seperti terung, gambas, bayam, dan kacang panjang.
“Saya memilih (membudidayakan) tanaman yang cepat dipanen,” kata Yaseni kepada Koran Jubi, pekan lalu.
Berkat usaha itu, Yaseni bisa meraup pendapatan bersih minimal Rp4 juta dari sekitar Rp9 juta omzetnya dalam sebulan. Dari usaha itu pula, dia mampu menguliahkan kedua anaknya hingga menjadi sarjana.
Karena seorang sarjana pertanian, Yaseni kerap mempraktikan ilmu semasanya berkuliah. Dia tidak sembarangan dalam memilih pupuk dan menentukan komoditas yang akan ditanam. Jenis dan dosis pupuk disesuaikan dengan jenis serta kebutuhan tanaman. Pupuk urea lebih utama digunakan untuk mendukung pertumbuhan vegetatif tanaman.
Yaseni juga tidak pelit dalam berbagi ilmu. Meskipun belum bergabung dengan kelompok tani, dia kerap berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan sesama petani.
“Saya suka berbagi ilmu dengan petani lain, terutama cara bertanam dan pemilihan pupuk yang baik (dan benar). Saya juga bisa membuka lapangan kerja buat mereka,” ujarnya.
Kemurahan hati Yaseni dalam berbagi pegetahuan dan pengalaman tersebut diamini Margo, rekannya sesama petani.
“Saya senang berteman dengan beliau. Banyak ilmu yang dibagi kepada saya, dan teman lain.”
Kiat pemasaran
Yaseni merupakan perantau asal Jember, Jawa Timur. Dia baru sekitar lima tahun menetap dan bercocok tanam di Kampung Kalisemen di Distrik Nabire Barat.
Namun, bertani bukan pekerjaan baru bagi Yaseni. Di Kampung halamannya di Jember, dia juga bertani. Usaha itu dirintisnya sejak tamat kuliah, sekitar 28 tahun lalu.
Yaseni memilih menjadi petani lantaran dianggap lebih mudah dalam manajemen waktu dan keuangan. Semua bisa diatur sendiri sehingga tidak harus bergantung kepada orang lain. Hasil dari usaha bercocok tanam itu pun dianggap memuaskan sehingga dapat diandalkan sebagai pendapatan utama keluarga.
Banyak suka-duka yang dialami Yaseni selama bertani. Kemarau menjadi saat paling menantang baginya. Tanaman bisa terhambat pertumbuhannya bahkan terancam mati akibat kondisi cuaca dan kekurangan air.
“Duka dalam bertani hanya terasa pada saat musim kemarau. Bila kemarau lewat (berakhir), petani akan ceria kembali,” katanya.
Yaseni juga memiliki kiat dalam menjalani usaha bercocok tanam. Dia selalu memperhatikan peluang pasar, dan bijak dalam menetapkan harga jual. Yateni harus memastikan pedagang juga masih bisa memeroleh keuntungan dari hasil menjual sayurannya kembali kepada konsumen. Itu menjadi salah satu cara dalam menjaga relasi bisnis dengan para penampung langganannya.
“Ini untuk menjaga kesinambungan pedagang dalam menjual komoditasnya sehingga dia masih bisa membeli lagi dengan petani. Jadi, kerja sama (petani dan pedagang) pun terus berlanjut,” jelas Yaseni.
Keberhasilan usaha Yaseni juga berkat dukungan penuh keluarga kecilnya. Kedua anaknya, kini bahkan mengikuti jejaknya, yakni menjadi petani selepas menggondol gelar sarjana.
“Saya tidak minder (bersuamikan seorang petani) karena kami sama-sama bekerja untuk (menafkahi) keluarga. Saya (malah) bersyukur, dari hasil tani, bisa menghasilkan dua sarjana,” kata Sumarni, istri Yaseni. (*)
Editor: Aries Munandar