Jayapura, Jubi – Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPR Papua (Bapemperda DPRP), Ignasius W Mimin menilai keliru jika ada pihak yang berpendapat , bahwa Perdasus 14 kursi pengangkatan di DPR Papua mesti diatur oleh Peraturan Pemerintah atau PP.
Pernyataan itu dilontarkan Mimin kepada Jubi, sebagai respons terhadap mantan anggota Bapemperda DPR Papua periode 2009-2014, Weinand Watori yang mengatakan, Perdasus 14 kursi pengangkatan perlu PP sebagai acuan hukum.
Tidak hanya UU Otsus Papua, karena UU Otsus tidak mengatur hak-hak keuangan 14 anggota DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan.
Mimin meminta jangan salah menafsirkan salah satu amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 116/PPU-VII/2009 yang menyatakan “Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua periode 2009-2014 sebanyak 56 (lima puluh enam) anggota sah menurut hukum, ditambah 11 (sebelas) anggota yang diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Khusus sebagaimana amar putusan ini dan berlaku hanya sekali (einmalig) untuk periode 2009-2014.
Menurutnya, yang disebut hanya berlaku sekali dalam amar putusan itu, adalah jumlah anggota DPR Papua saat itu, karena melebihi batas normal.
Jika 56 anggota DPR Papua ditambahkan 11 anggota melalui mekanisme pengangkatan, jumlahnya adalah 67 orang.
Dia mengatakan, dalam putusan MK nomor 116/PUU-VII/2009, poin [3.17], MK berpendapat bahwa sehubungan dengan pengisian 11 kursi keanggotaan DPRP yang diangkat maka Gubernur Provinsi Papua bersama DPR Papua perlu segera membuat Perdasus tata cara pengisian anggota DPRP yang di dalamnya memuat, antara lain ketentuan tentang penambahan 11 anggota DPRP yang diangkat dan berlaku satu kali (einmalig) untuk Periode 2009-2014.
Untuk periode berikutnya harus dikembalikan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU 21/2001, yaitu anggota DPRP dipilih melalui pemilu dan dengan cara diangkat, yang tata cara pengangkatannya diatur dengan Perdasus.
Putusan MK itu kata Mimin menyebut einmalig karena memerintahkan menambahkan 11 anggota DPRP periode 2009-2014, yang saat itu anggota DPRP jumlahnya sudah 56 orang.
Jumlah itu dinilai MK sebagai tindakan melampaui batas kewenangan, karena mestinya jumlah anggota DPRP dari parpol ketika itu hanya 45 orang.
Namun saat itu, KPU Papua menafsirkan jumlah 45 anggota DPRP harus ditambah seperempat, sehingga jumlahnya 56 orang. Jika ditambah 11 orang melalui mekanisme pengangkatan jumlahnya 67 orang atau melampaui ketentuan perundang-undangan.
Gubernur Papua, Lukas Enembe dan DPRP telah melaksanakan putusan MK dengan membuat Perdasus nomor 6 tahun 2014 yang kemudian direvisi menjadi Perdasus nomor 7 tahun 2016 tentang keanggotaan DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan periode 2014-2019.
“Yang dimaksud einmalig dalam putusan MK itu adalah jumlah anggota DPR Papua periode 2009-2014 yang akan mencapai 67 orang atau melampaui batas jika ditambah 11 orang dari mekanisme pengangkatan. Namun penambahan anggota DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan baru dapat dilaksanakan pada periode 2014-2019,” kata Mimin, Senin (24/6/2019).
Untuk periode selanjutnya kata Mimin, selama Pasal 6 ayat 2 dan 4, UU nomor 21 tahun 2001 belum dicabut, keanggotaan DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan tetap akan ada. Tata cara pengangkatannya diatur dengan Perdasus, tanpa menyebutkan periode tetapi masa jabatannya lima tahun.
Sesuai pendapat mahkamah pada poin [3.16.7] bahwa pengisian keanggotaan DPRP melalui pengangkatan merupakan pengisian berdasarkan sistem komunal/kolegial,yang dalam pelaksanaan di Papua berdasarkan Perdasus.
Gubernur dan DPR Papua kemudian membuat Perdasus untuk mengatur tata cara anggota DPR Papua yang diangkat sebagaimana yang dimaksud MK.
Selain itu lanjut Mimin, UU lain yang melindungi kursi pengangkatan di DPRP adalah pasal 422 UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 yang berbunyi “Undang- Undang Ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, dan DPR Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang tersendiri”.
“Saya pikir ini untuk kepentingan kita semua anak asli Papua. Yang berpendapat seperti itu saya pikir keliru. Kalau saya lebih bagus ini kursi itu terus lanjut,” ujarnya.
Anggota Bapemperda DPR Papua, John NR Gobai mengatakan hal yang sama.
Menurut Gobai, frasa “sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang tersendiri” pada pasal 422 UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 dan Pasal 399, UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, telah memberikan kekuatan hukum.
“Frasa ‘diatur secara khusus’ telah diatur dalam pasal 6 ayat 2 dan 4 UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua. Pasal inilah yang telah diuji ke MK dan telah mendapatkan putusan, yang kemudian diatur dengan Perdasus kursi pengangkatan di DPR Papua,” ujar Gobai.
Terkait hak keuangan anggota DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan, diatur dalam pasal 48 ayat 2 Perdasus nomor 6 tahun 2014 yang telah direvisi menjadi Perdasus nomor 7 tahun 2016.
Dalam pasal itu disebutkan “Anggota DPRP yang diangkat berhak mendapatkan hak-hak keuangan berupa gaji dan tunjangan dan hak-hak administrasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.”
Selain itu kata Gobai, posisi anggota DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan diperkuat surat Dirjen Otonomi Daerah di Kementerian Dalam Negeri nomor 900/1884/OTDA, tertanggal 6 Maret 2018 yang ketika itu ditujukan kepada Pjs. Gubernur Papua.
Ada empat poin dalam surat itu, di antaranya pengisian anggota DPRP mekanisme pengangkatan ditetapkan berdasarkan Perdasus, dan sesuai ketentuan pasal 7 huruf f UU nomor 12 tahun 2011. (*)
Editor: Syam Terrajana