Jayapura, Jubi – Beberapa bulan belakangan ini semakin banyak wacana dari pemerintahan yang berjanji untuk memperbaiki sejumlah masalah terkait dengan industri perkebunan. Tanggal 19 September 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Inpres no 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, yang menginstruksikan pemerintah untuk meninjau kembali izin-izin perkebunan yang sudah terbit. Beberapa minggu kemudian, Gubernur Papua dan Papua Barat menjanjikan akan ambil langkah yang sama khusus untuk Tanah Papua. Dalam ‘Deklarasi Manokwari’ yang dihasilkan konferensi konservasi ICBE bulan Oktober lalu ada komitmen untuk membentuk tim kerja yang akan meninjau ulang izin-izin perkebunan skala besar, pertambangan dan industri berbasis lahan.
Di Tanah Papua ratusan ribu hektar hutan masih terancam karena berada dalam konsesi perkebunan yang belum digarap. Seringkali izin-izin untuk industri perkebunan penuh masalah: tidak ada keterbukaan informasi dalam proses perizinan, dan pelanggaran peraturan sering terjadi. Hak masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas hutan yang menjadi sasaran perusahaan perkebunan juga dilanggar. Tidak ada satupun perusahaan perkebunan yang pernah melakukan proses negosiasi yang baik dan adil dengan masyarakat adat dalam arti memberikan kesempatan untuk masyarakat memilih bersama-sama dan secara bebas untuk menerima atau menolak perusahaan, tanpa tekanan dan dengan informasi penuh.
Di Provinsi Papua kabupaten dengan hutan alami terluas yang dibebani konsesi perkebunan adalah Boven Digoel. Di sana 14 perusahaan perkebunan sudah mendapatkan izin Pelepasan Kawasan Hutan dengan luas total 417.251 hektar, saat ini sebagian besar masih tertutup hutan. Sampai akhir Desember 2018 hanya sekitar 30,254 hektar dari jumlah total tersebut yang sudah dibuka dan ditanami kelapa sawit – sisanya masih hutan alami. Masyarakat yang mendiami hutan itu sudah bertahun-tahun berada dalam ketidakpastian karena nasib hutan mereka tidak jelas. Mereka tahu ada perusahaan yang sudah lama memegang izin namun alat berat tidak kunjung datang untuk membongkar hutan mereka. Sementara di kota Tanah Merah, Jayapura dan Jakarta para pejabat pemerintah memberikan izin baru kepada perusahaan lain, juga mencabut izin lama. Saham perusahaan perkebunan juga berpindah-pindah tangan kepada pihak yang juga kurang jelas, dan semua ini terjadi tanpa keterlibatan masyarakat sebagai pemilik hak sekaligus penjaga utama hutan yang bersangkutan.
Sebuah investigasi jurnalistik kerjasama Tempo, the Gecko Project, Mongabay dan Malaysiakini menggali untuk mengungkap salah satu cerita perampasan tanah di Boven Digoel. Kolaborasi ini menelusuri bagaimana sebuah kelompok perusahaan siluman bernama ‘Menara Group’ mendapatkan izin lengkap untuk tujuh anak perusahaannya dalam sebuah blok hutan primer seluas 280.000 hektar, setara dengan separuh luas pulau Bali. Anak-anak perusahaan tersebut lalu dijual kepada perusahaan lain di Malaysia dan Timur Tengah.
Investigasi lengkap ini menjadi berita utama dalam Majalah Tempo edisi 23 November 2018 dan versi lain baru saja diterbitkan di web Gecko Project dan Mongabay Indonesia. Keduanya merupakan bahan bacaan yang sangat menarik untuk memahami secara terinci bagaimana kongkalikong antara perusahaan, politisi dan pihak lokal terjadi dalam kasus besar tersebut. Tulisan di bawah ini bermaksud untuk membahas beberapa praktik kotor yang dilakukan tidak hanya dalam kasus Menara Group ini, namun juga sudah terjadi dalam kasus lainnya di Boven Digoel dan di mana saja industri perkebunan mencoba untuk masuk di seluruh Tanah Papua.
Kepemilikan digelapkan.
Ketujuh konsesi yang diketahui pernah berafiliasi dengan Menara Group terletak di Distrik Jair, Mandobo, Fofi dan Kia, di antara Sungai Digoel dan Sungai Mappi, di tanah adat Suku Auyu.
Salah satu temuan dari investigasi tersebut adalah bagaimana kepemilikan ketujuh perusahaan perkebunan yang pernah dikuasai Menara Group sudah beberapa kali pindah tangan dalam sepuluh tahun terakhir. Anehnya, setiap pemilik baru memutuskan untuk mengambil langkah untuk menyembunyikan identitasnya.
Ketujuh perusahaan ini didirikan tahun 2007. Masing-masing perusahaan didaftarkan dengan alamat resmi yang berbeda-beda di Jakarta Barat, dan sahamnya dipegang oleh dua individu untuk setiap perusahaan, semuanya dengan nama berbeda. Wartawan Tempo mendatangi berapa alamat ini, namun tidak ada tanda-tanda pernah ada kantor perusahaan – alamatnya palsu. Tempo juga berhasil mewawancarai beberapa orang yang terdaftar sebagai pemegang saham. Ternyata kebanyakan hanya masyarakat biasa, dengan pekerjaan sederhana seperti pembersih kantor. Mereka tidak pernah tahu bahwa mereka pernah menjadi pemegang saham dalam perusahaan perkebunan di Papua. Sepertinya data KTP mereka dipakai tanpa seizin atau sepengetahuan mereka.
Menurut Yusak Yaluwo, pada 2007 dia tidak memberikan izin lokasi itu kepada Menara Group melainkan Genting Group, sebuah konglomerat besar dari Malaysia. Menara Group hanya mengambil alih perusahaan itu ketika Genting Group tidak jadi membuka perkebunan di Papua. Kemudian bulan Januari 2010 Menara Goup sebagai pemilik baru mengganti semua nama pemegang saham dengan nama orang lain. Kali ini, walaupun sebagian besar pemegang saham baru tahu akan pemakaian nama mereka, beberapa diantaranya masih orang kecil yang sama sekali tidak terlibat dalam pendanaan atau pengurusan perusahaan. Mereka hanya pemegang saham di atas kertas saja, pemilik modal sebenarnya masih disembunyikan melalui sistem kontrak dan kesepakatan yang tidak dipublikasikan.
Kemudian tahun 2011 dua dari tujuh perusahaan dijual kepada perusahaan Malaysia bernama Tadmax Resources Berhad. Sampai saat ini Tadmax belum pernah melakukan kegiatan perkebunan di lapangan. Beberapa bulan kemudian, saham sebesar 80% dalam empat anak perusahaan Menara Group lainnya dijual kepada investor beralamat di Uni Emirat Arab (Dubai dan Ras-al-Khaimah FTZ). Identitas investor baru ini tidak bisa diketahui secara pasti karena negeri-negeri emirat tersebut tidak terbuka dengan data perusahaan. Namun ada banyak indikasi bahwa pemilik baru saat itu adalah Hayel Saeed Anam Group dari Yaman yang juga memiliki Pacific Inter-link (PIL), sebuah perusahaan Malaysia yang aktif dalam pengolahan dan perdagangan minyak kelapa sawit walaupun tidak memiliki perkebunan sendiri.
Dua anak perusahaan (PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama) sudah mulai membongkar hutan dekat Kampung Anggai sejak tahun 2014. Sekarang sekitar 7.000 hektar sudah ditanami kelapa sawit. Di Boven Digoel, proyek perkebunan ini masih sering disebutkan ‘Tujuh Menara’ namun sampai pertengahan tahun lalu cukup banyak bukti menunjukkan bahwa perkebunan justru dikelola oleh PIL. Beberapa anggota keluarga Hayel Saeed duduk di dewan direksi, dan beberapa alamat perusahaan dipindahkan ke kantor PIL di Jakarta. Namun pada tanggal 6 Juni 2018, PIL mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan, bahwa pihaknya tidak memiliki perusahaan perkebunan tersebut. Menurut PIL, walaupun pernah ada rencana untuk membeli perusahaan, mereka tidak terlibat lagi sejak pertengahan 2017. Pernyataan ini memang tidak masuk akal karena sampai beberapa hari sebelumnya sebagian besar nama direktur dan komisaris kedua anak perusahaan tersebut adalah orang-orang yang memiliki posisi berpengaruh di PIL. Saat ini nama direktur sudah diganti, namun kepemilikan perusahaan masih sangat kabur. Pembukaan lahan berlanjut terus, mencapai ratusan hektar setiap bulannya.
Sejak perusahaan eks-Menara Group pertama kali diberikan izin lokasi sebelas tahun yang lalu, tidak pernah ada pemilik yang ingin bertanggung jawab dan mengakui dirinya sebagai pemilik secara terbuka. Mengapa mereka semua harus menyembunyikan diri juga belum jelas alasannya. Pejabat pemerintahan Boven Digoel pun tidak tahu siapa yang menguasai lahan di wilayah mereka. Suasana rahasia ini juga merupakan sumber ketidakpastian untuk semua penduduk Boven Digoel yang kena dampak perusahaan ini, termasuk masyarakat adat setempat dan buruh perkebunan sawit.
Perizinan yang bermasalah.
Proses perizinan yang tidak transparan hanya menambah ketidakjelasan. Salah satu contoh adalah izin lingkungan. Sesuai peraturan, perkebunan seluas lebih dari 3.000 hektar harus dapat persetujuan berdasarkan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum pemerintah bisa menerbitkan izin lingkungan. Seharusnya, AMDAL adalah dokumen publik yang disimpan oleh pemerintahan dan dipakai untuk memantau kegiatan perusahaan di lapangan selama masa operasi perkebunan.
Namun AMDAL PT MJR dan PT KCP sepertinya hilang. Beberapa LSM yang bergerak di Papua sudah mengajukan permohonan kepada instansi pemerintahan di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat untuk melihat AMDAL perusahaan-perusahaan eks-Menara Group tersebut, namun tidak ada yang bisa menunjukkannya. Satu-satunya salinan AMDAL yang kami ketahui keberadaannya dipegang oleh perusahaan sendiri. Salinan tersebut sempat ditunjukkan oleh perusahaan kepada konsultan yang mengeluarkan sertifikasi legalitas kayu hasil pembukaan lahan. Isinya masih misteri.
Setelah menelusuri lebih lanjut, ternyata izin lingkungan untuk ketujuh konsesi ditandatangani oleh Yusak Yaluwo tanggal 8 September 2010. Tanggal ini hanya sembilan hari setelah pilkada Boven Digoel. Walaupun Yaluwo (sebagai calon Bupati untuk periode kedua) mendapatkan suara terbanyak dalam pilkada, dia tidak punya kewenangan untuk menandatangani surat keputusan, karena belum dilantik. KPU Boven Digoel bahkan masih melakukan sidang untuk menentukan siapa akan menjadi Bupati. Apalagi, saat itu Yusak Yaluwo sedang berada dalam tahanan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi APBD Boven Digoel. Kesimpulan yang dapat ditarik dari adalah bahwa sangat mungkin tidak ada proses penilaian AMDAL yang baik untuk perusahaan-perusahaan yang sedang menebang hutan di Boven Digoel.
Saat ini, foto udara dan satelit menunjukkan ribuan hektar hutan primer sudah dibuka. Deforestasi ini melanggar beberapa peraturan lingkungan hidup. Misalnya: sebagian adalah ekosistem gambut dengan fungsi lindung yang tidak boleh ditebang menurut Peraturan Pemerintah nomor 57 tahun 2016. Hutan juga dibuka hingga sempadan sungai yang akan menyebabkan banjir dan erosi.
Setelah izin lingkungan diterbitkan, roda pemerintahan di Boven Digoel tidak berjalan dengan baik. Yusak Yaluwo divonis dan dihukum 4,5 tahun penjara namun bupati penggantinya hanya dilantik sebagai bupati definitif pada tahun 2014. Selama di penjara di Pulau Jawa Yusak Yaluwo menandatangani beberapa dokumen untuk memperlancar proses perizinan Menara Group, walaupun di luar kewenangannya karena sudah dinyatakan sebagai bupati non-aktif. Salah satu contoh dokumen tersebut adalah Berita Acara Tata Batas, syarat penting untuk mendapatkan pelepasan kawasan hutan, ditandatangani bulan Juli 2011.
Areal photographs have shown that thousands of hectares of primary forests have been cleared, violating environmental regulations by clearing peatlands which should be conserved and not leaving buffer zones beside streams to prevent erosion ad flooding. Meanwhile, local government remained chaotic in Boven Digoel for several years, because Yusak Yaluwo was convicted, but a replacement Bupati was not installed until 2014. Yaluwo unlawfully signed other documents from his prison cell in Java during this time, including the boundary survey which was one of the requirements to release land from the forest estate, in July 2011.
Perusahaan baru mengantri untuk ambil alih konsesi
Ternyata pemodal yang membeli perusahaan perkebunan dari Menara Group kurang mampu mengembangkan perkebunan secepat rencana mereka sebelumnya. Dari tujuh konsesi eks-Menara Group yang dapat izin, hanya dua yang membuka hutan. Hutan yang sudah ditebang dalam dua konsesi itu hanya 10% dari luas izinnya. Ketika diwawancarai Tempo, bos Menara Group Chairul Anhar menyatakan salah satu alasannya adalah kesulitan pendanaan. Sejumlah bank dalam negeri tidak mau mendanai proyek ini dan memberikan pinjaman karena perusahaan perkebunan belum mendapatkan Hak Guna Usaha.
Melihat laju penanaman sawit yang sangat lambat, beberapa perusahaan baru sudah mendekati pejabat di Boven Digoel untuk minta konsesi Menara Group dicabut dan izin baru dibuat. Minat investor di Boven Digoel tinggi karena Menara Group sudah banyak membuka peluang. Sekarang proses perizinan untuk investor baru akan jauh lebih mudah karena Menara Group sudah mendapatkan pelepasan kawasan hutan dan wilayah itu sudah tercantum dalam Rencana Tata Ruang Provinsi sebagai kawasan perkebunan.
November 2015 Yesaya Merasi (wakil Bupati terpilih Yaluwo yang sudah dilantik sebagai Bupati) mengeluarkan tiga izin lokasi baru kepada anak perusahaan Bumi Mitratrans Marjaya Group, atas lahan yang sama dengan tiga konsesi eks-Menara Group walaupun saat itu izin usaha perkebunan perusahaan eks-Menara masih berlaku. Izin baru dikeluarkan hanya beberapa minggu sebelum pilkada Boven Digoel 2015. Hal seperti ini sering terjadi ketika calon pilkada ingin cari dana kampanye, walaupun belum ada bukti jual-beli izin dalam kasus ini.
Selama dua tahun izin-izin tersebut masih tumpang tindih. Lalu pada November 2017, pemerintah provinsi mencabut Izin Usaha Perkebunan ketiga konsesi eks-Menara (termasuk dua perusahan yang sudah dijual ke Tadmax). Dalam surat keputusan disebutkan salah satu alasan mengapa izin harus dicabut, yaitu adanya surat dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Boven Digoel yang memohon agar izin Menara dicabut dan diganti dengan izin untuk BMM Group. Surat tersebut ditandatangani mantan kepala LMA Fabianus Senfahagi tertanggal 9 Desember 2014.
Sebenarnya surat ini ditulis atas kepentingan Fabianus Senfahagi sendiri dan tidak mewakili keinginan seluruh masyarakat adat yang akan terkena dampak proyek perkebunan. Sudah rahasia umum bahwa Fabianus Senfahagi memanfaatkan jabatannya untuk membantu semua perusahaan perkebunan di Boven Digoel dalam pendekatan kepada masyarakat. Sebelum membantu Bumi Mitratrans Marjaya Group dia pernah mendampingi Menara Group. Namun justru Fabianus sendiri yang kemudian pada November 2016 mendorong masyarakat adat untuk menandatangani surat penolakan Menara Group, dengan membagi-bagikan amplop berisi satu juta rupiah untuk setiap orang yang tandatangan. Kejadian ini meresakan masyarakat di kampung Meto dan Yang, sehingga tiga ketua marga mengeluarkan pernyataan sikap bahwa mereka menolak perusahaan baru. Mereka takut masyarakat akan terjebak dan bisa menjadi korban kalau ada konflik di antara kelompok-kelompok usaha besar ini.
Peristiwa serupa terjadi satu tahun kemudian dalam konsesi eks-Menara Group yang paling utara, di distrik Fofi. Kala itu masyarakat suku Auyu dapat informasi bahwa perusahaan bernama PT Indo Asiana Lestari sudah memegang izin lokasi dari bupati sejak Juli 2017. Menanggapi berita ini, 18 dari 20 ketua marga yang memiliki hak ulayat dalam konsesi menolak kehadiran perusahaan baru ini. Lalu pada bulan Oktober 2017 ketika ketua-ketua marga sedang berapat di rumah kepala suku besar Auyu di ibukota kabupaten Tanah Merah, sekelompok laki-laki masuk ke ruangan. Mereka mengancam akan membunuh semua orang yang menolak perusahaan baru.
Seperti dalam kasus sebelumnya, pemerintah kembali memanfaatkan pernyataan sikap ketua LMA Boven Digoel untuk melegitimasikan pemberian izin baru. Bulan Agustus 2018, pemerintah provinsi mencabut Izin Usaha PT Energi Samudera Kencana (eks-Menara Group), dan langsung menerbitkan izin prinsip IUP baru kepada PT Indo Asiana Lestari. Kedua surat keputusan ini mengacu pada surat dari LMA tertanggal 28 November 2016 dan 3 April 2017, ditandatangani oleh Fabianus Senfahagi.
Praktik mengeluarkan izin kepada perusahaan baru sebelum mencabut izin-izin lama dengan hanya melibatkan tokoh-tokoh tertentu untuk mewakili pendapat masyarakat kebanyakan meniadakan peluang bagi mereka untuk menantang keniscayaan tanah leluhur mereka menjadi perkebunan kelapa sawit. Dulu Menara Group masuk dengan cara yang tidak menghargai masyarakat, sekarang mereka terpaksa menerima penggantinya begitu saja.
Taman bermain elit politik Indonesia.
Salah satu ciri khas hampir semua perusahaan perkebunan yang pernah memegang izin di Boven Digoel adalah keterlibatan tokoh-tokoh politik nasional dan petinggi partai politik. Walaupun Chairul Anhar sendiri bukan tokoh partai politik Indonesia, pola kerjanya mirip elit politik di Indonesia dan Malaysia dalam mengejar peluang bisnis yang menguntungkan. Dia mengaku dekat dengan beberapa menteri, termasuk perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Bahkan ada hubungan keluarga karena salah satu anaknya menikah dengan anak mantan wakil perdana menteri Malaysia Ahmad Zahid Hamidi. Anak perempuan Chairul Anhar yang lain bertunangan dengan putra Menteri Dalam Negeri Indonesia Tjahjo Kumolo.
Salah satu sekutu Chairul Anhar dalam Menara Group adalah Mohamad Hekal, anggota DPR RI dan anak dari Fuad Bawaziar yang menjabat sebagai Menteri Perekonomian zaman orde baru. Da’i Bachtiar, mantan Kapolri dan mantan Duta Besar Indonesia ke Malaysia, juga terlibat di Menara Group, walaupun dia mengaku bukan sebagai pemilik saham.
Pemain lain di Boven Digoel adalah Edi Yosfi, pengusaha yang juga dekat dengan pimpinan Partai Amanat Nasional (PAN). Edi Yosfi pernah mendapatkan izin untuk tiga perusahaan perkebunan di seberang Sungai Digoel yang akhirnya dicabut oleh Bupati tanggal 25 Juli 2018 (NB. Sejak November 2013, saham tidak dipegang oleh Edi Yosfi sendiri, namun oleh rekan-rekannya). Tidak hanya itu, adik perempuan Edi Yosfi, Desi Noverita memegang saham sebesar 14% dalam keempat anak perusahaan Menara Group yang dijual kepada Pacific Inter-link. Desi terlibat dengan Chairul Anhar sejak Desember 2011, hanya beberapa bulan sebelum konsesi-konsesi tersebut diberikan izin Pelepasan Kawasan Hutan oleh Zulkifli Hasan, rekan Edi Yosfi dari PAN.
Sementara itu, pemilik Bumi Mitratrans Marjaya Group, yang diberikan izin yang tumpang tindih dengan Menara Group tiga minggu sebelum pilkada Boven Digoel 2015, adalah Vence Rumangkang dan keluarganya. Vence Rumangkang adalah salah satu pendiri partai Demokrat. Politikus Partai Demokrat lainnya (yang sekarang sudah pindah ke Hanura), Jackson Kumaat, diduga juga mendapatkan beberapa izin lokasi untuk kelompok usahanya bernama Primanusa Group di Boven Digoel bagian utara kurang lebih pada saat yang sama.
Ketika para direktur Pacific Inter-link mundur dari empat perusahaan eks-Menara Group bulan Juni 2018, beberapa direktur dan komisaris yang menggantikan ternyata juga tokoh politik Indonesia, termasuk Alwi Shihab yang sudah menjabat sebagai menteri dua kali (dalam kabinet Gus Dur dan Megawati), dan Tommy Sagiman, pensiunan jenderal polisi yang juga pernah menjadi calon DPR untuk partai PDIP.
Tentu saja semua tokoh nasional itu tertarik berinvestasi di Boven Digoel karena prospek keuntungan yang besar sekali bagi siapa yang berhasil melakukan konversi hutan rimba menjadi perkebunan, termasuk dari menjual kayunya. Dalam kasus ini peluang investor untuk mengeksploitasi hutan ini diperlancar oleh pemerintah daerah yang sangat lemah tanpa ada pemantauan yang baik. Di Tanah Papua hal ini menjadi lumrah, terutama di daerah otonomi baru yang dimekarkan dalam duapuluh tahun terakhir. Di kabupaten baru seperti Boven Digoel korupsi berkembang subur dan sumber daya untuk mengelola investasi besar secara baik dan adil masih kurang.
Namun sebaiknya jangan hanya menyalahkan pemerintah daerah dan mengabaikan peran pemerintah pusat. Ketika ditelusuri, ternyata asal-usul kekacauan di Boven Digoel ini adalah program pemerintah pusat dari tahun 2007, ketika sebuah badan pemerintah bernama Tim Nasional untuk Pengembangan Bahan Bakar Nabati, dipimpin oleh Alhilal Hamdi, mendorong investasi besar-besaran di hutan Papua dan Maluku. Genting menandatangani MoU untuk menanam modal sebesar tiga miliar dolar untuk perkebunan sawit di Merauke dan Boven Digoel. Chairul Anhar juga ingin membangun Pusat Minyak Sawit dengan nilai semiliar dolar di Kabupaten Sula, provinsi Maluku Utara di bawah nama ‘Indomal Group’. Sinar Mas juga ikut terlibat saat itu dengan rencana membuka perkebunan seluas satu juta hektar di Papua. Syukurnya megaproyek BBN ini tidak pernah terwujud, namun semangat membuka kebun saat itu mewariskan dua hal yang penting. Salah satunya adalah perkebunan kelapa sawit yang sedang dibuka di Boven Digoel oleh perusahaan yang didirikan oleh Genting dan diteruskan oleh Chairul Anhar. Warisan yang lain adalah anggapan yang sudah tertanam dalam benak para pejabat dan pengusaha di Jakarta bahwa satu hari seluruh Papua bagian selatan (yaitu Kabupaten Boven Digoel, Merauke dan Mappi) pasti akan dikuasai oleh perkebunan besar.
Sejak 2007 sudah ada serantai megaprojek baru diusulkan untuk Papua selatan, termasuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang diluncurkan oleh Hatta Rajasa tahun 2010, kemudian deklarasi Jokowi dalam kunjungannya ke Merauke tahun 2015 tentang pencetakan sawah baru seluas satu juta hektar di Merauke, sampai ancaman terkini dari program Reforma Agraria yang dalam konteks Papua hanya berarti arus transmigrasi baru besar-besaran.
Perusahaan kayu asal Sarawak.
Karena luasnya hutan primer di Boven Digoel, pengalokasian lahan luas menjadi perkebunan menarik perhatian para pengusaha pembalakan kayu. Beberapa perusahaan kayu terbesar di dunia berasal dari Sarawak, Malaysia. Mereka berkembang pesat selama 33 tahun Abdul Taib Mahmud berkuasa sebagai Ketua Menteri Sarawak. Ia dikenal memperkuat kekuasaannya dengan sistem korupsi dan patronase dalam sektor kehutanan. Setelah hutan Sarawak habis, para perusahaan ini memakai kekayaannya untuk menjelajahi dunia untuk mencari sumber kayu lain, terutama di daerah yang rawan korupsi. Shin Yang, salah satu perusahaan asal Sarawak ini, membuat usaha patungan dengan Tadmax dan Pacific Inter-link bernama Tulen Jayamas Sdn. Bhd dan tahun 2015 dapat Izin Usaha Industri untuk membangun pabrik kayu lapis di pinggir Sungai Digoel.
Pabrik yang sedang dalam tahap pembangunan akan mengandalkan kayu dari pembukaan lahan untuk perkebunan. Di Boven Digoel tidak ada sumber kayu ‘resmi’ lainnya, karena semua konsesi kayu yang aktif di Boven Digoel dipegang oleh Korindo, yang sudah punya pabrik kayu lapis sendiri di Asiki. Kalau pabrik Shin Yang selesai, bisa dipastikan pabrik itu akan menjadi faktor ekonomi yang mendorong pembukaan perkebunan baru, dan akan membantu perusahaan perkebunan eks-Menara Group atau perusahaan penggantinya mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk melanjutkan pembukaan perkebunan.
Rimbunan Hijau adalah salah satu pesaing Shin Yang dari Sarawak yang sudah menghancurkan hutan yang luas di Papua Nugini, memiliki pabrik di Pulau Biak, serta memiliki saham dalam PT Indo Asiana Lestari. Namun rencana Rimbunan Hijau di Papua selatan masih belum jelas.
Masih memungkinkan bagi pemerintah Indonesia dan pemerintah provinsi Papua untuk mengambil langkah memutar balik situasi di Boven Digoel. Caranya, perlu ada pengakuan bahwa banyak keputusan buruk telah dibuat dulu, lahan eks-Menara Group dan konsesi-konsesi lain di Boven Digoel dikembalikan sebagai kawasan hutan dan pemerintah bisa bekerja sama dengan masyarakat adat untuk mencari pola pembangunan yang bisa memberdayakan masyarakat tanpa merusak hutan dalam skala luas.
Namun untuk mengambil langkah seperti ini pemerintah harus berani dan penuh tekad. Sejarah sepuluh tahun terakhir sudah menunjukkan bahwa ada kepentingan politik dan pengusaha yang sangat kuat yang ingin menjadikan Papua bagian selatan sebagai daerah perkebunan raksasa. Tanpa perlawanan yang tegas mereka tidak akan mundur. (*)
Editor : Victor Mambor