Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum, hak asasi manusia Dewan Perwakilan Rakyat Papua atau DPRP, Emus Gwijangge mengusulkan agar DPRP, Pemerintah Provinsi Papua, lembaga adat dan pihak terkait merancang peraturan daerah terkait perlindungan tanah ulayat. Peraturan daerah itu dinilai penting untuk mengatasi maraknya alih kepemilikan tanah ulayat yang secara turun temurun dikuasai masyarakat hukum adat di Papua.
Emus Gwijangge menyatakan Papua membutuhkan peraturan daerah yang secara tegas melarang praktik jual-beli tanah ulayat. Menurutnya, peraturan daerah itu juga harus mengatur pemanfaatan lahan oleh investor, yang harus dibatasi dalam hubungan kontraktual sewa-menyewa berjangka.
“Apakah bentuknya Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Khusus, tinggal disesuaikan,” kata Emus Gwijangge kepada Jubi, Selasa (18/6/2019).
Gwijangge mengatakan perkembangan pembangunan di Papua telah membuat banyak tanah ulayat di Papua beralih kepemilikan. Gwijangge menegaskan, masyarakat hukum adat selaku pemilih hak ulayat tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas fenomena itu, karena pengalihan kepemilihan tanah ulayat disebabkan oleh berbagai faktor.
Salah satu faktor itu adalah motif ekonomi pihak yang menjual tanah ulayat. Menurut Gwijangge, masyarakat adat di Papua kerap dihadapkan kepada pilihan sulit, misalnya keinginan untuk menyekolahkan anak-anaknya, sehingga menjual tanah ulayatnya.
Gwijangge menegaskan situasi itu itu tidak boleh dibiarkan. Jika pengalihan kepemilihan tanah ulayat dibiarkan terus belanjut, generasi Papua di masa mendatang hanya akan menjadi penonton di negerinya sendiri. “Masyarakat adat juga perlu disadarkan, agar tidak lagi menjual tanah ulayatnya. Cukup dengan sistem kontrak agar status kepemilikan tanah tidak beralih,” ujarnya.
Wakil Ketua Dewan Adat Suku Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Orgenes Kaway mengatakan hal yang sama. Menurutnya, faktor ekonomi dan pesatnya pembangunan memaksa masyarakat adat menjual tanah ulayatnya.
Ia mencontohkan, di Kabupaten Jayapura perlahan tapi pasti hutan sagu milik masyarakat adat mulai beralih kepemilihan. Tanah yang dahulu menjadi hutan sagu ulayat pun beralih fungsi. “Memang kondisi ekonomi kini, harga kebutuhan yang terus naik membuat masyarakat adat diperhadapkan pada pilihan yang sulit,” kata Orgenes Kaway.
Ondoafi Kampung Bambar Doyo Baru, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura itu mencontohkan dulu para pemilik tanah ulayat di wilayah Doyo menyatakan tidak boleh menjual tanah. Namun karena kini pembangunan di wilayah itu mulai pesat, akhirnya masyarakat adat menjual tanahnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G