Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pelaksanaan pilkada di Papua selalu diidentikkan dengan konflik. Hampir setiap pelaksanaan pilkada, aparat keamanan dan berbagai pihak menyebut Papua berpotensi konflik.
Tahun ini, status pilkada di Papua tak berubah. Masih disebut berpotensi konflik. Apalagi selain pemilihan gubernur Papua, tujuh kabupaten akan melaksanakan pilkada serentak.
Polda Papua telah menyiapkan berbagai strategi mengantisipasi segala kemungkinan. Kapolda Papua, Irjen Pol Boy Rafli Amar dalam sambutannya pada rapat koordinasi TNI-Polri di Jayapura, Jumat (09/02/2018), menyatakan anggota Polri yang bertugas pengamanan di daerah rawan oleh gangguan kelompok bersenjata, akan dibekali peluru tajam.
Wacana ini menuai reaksi dari berbagai pihak. Sebegai pimpinan kepolisian di daerah, kebijakan ini memang ranah Kapolda, karena tak ingin membahayakan keselamatan anggotanya.
Namun berbagai hal perlu dipertimbangkan, terutama keselamatan masyarakat sipil. Pengalaman selama ini, terkadang warga sipil menjadi korban peluru aparat keamanan, dengan berbagai alasan.
Sebagai pimpinan Polri di daerah, Kapolda Papua tak dapat lepas tanggung jawab, ketika penggunaan peluru tajam di daerah yang dianggap rawan melukai warga sipil.
“Membekali anggota polisi peluru tajam di daerah yang dianggap polisi rawan, itu kebijakan pimpinan. Tapi banyak sekali pengalaman selama ini, oknum polisi menyalah gunakan senjata api, dan rakyat sipil korban. Ini harus menjadi pertimbangan,” kata anggota Komisi HAM, politik, hukum dan keamanan, DPRP Papua, Laurenzus Kadepa kepada Jubi, Selasa (13/02/2018).
Sudah banyak korban peluru aparat keamanan di Papua yang merasakan bagaimana sulitnya mencari keadilan. Kebanyak dari pelaku tak tersebut hukum, dengan berbagai alasan.
Tahun lalu, warga Kabupaten Deiyai merasakan bagaimana pahitnya keadilan. Dalam insiden, 1 Agustus 2017 di Kampung Bomou, Distrik Tigi Selatan, Kabupaten Deiyai, delapan warga terluka dan satu meninggal dunia akibat peluru yang dimuntahkan senjata anggota polisi.
Meski sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Polri di Polda Papua, 30 Agustus 2017 menyatakan empat oknum polisi bersalah, namun hanya dihukum meminta maaf, dimutasi ke jabatan berbeda bersifat demosi selama satu tahun.
“Kalau anggota Polri dibekali peluru tajam dan ada warga sipil korban, Kapolda harus komitmen menjatuhkan sanksi kepada anggotanya. Jangan seperti selama ini, penyelesaian kasus tidak jelas,” ucapnya.
Pernyataan Kapolda Papua dalam rapat koordinasi TNI-Polri, pekan lalu berbeda dengan penyampaian Wakapolda Papua, Brigjen Yakobus Marjuki kepada DPR Papua (DPRP) pada hari yang sama.
“Ketika kami pertemuan dengan Bawaslu, Majelis Rakyat Papua (MRP), KPU membahas pilgub Papua. Wakapolda menyatakan pesan Kapolda, Polda berkomitmen tidak ada warga sipil korban dalam pilkada tahun ini,” ujarnya.
“Ini komitmen yang baik, tapi saya heran kenapa di tempat lain Kapolda menyatakan seperti itu. Di Papua itu masalah banyak. Jangan membuat masalah baru. Kadang praktik kekerasan militer menjadi bahan perbincangan semua orang, termasuk komisioner tinggi HAM PBB saat berkunjung ke Jakarta,” katanya lagi.
Pilkada di Papua selalu dilihat berbagai pihak dari sisi konflik. Tahun politik Papua diidentikkan dengan kekerasan. Paradigma ini harus diubah. Melihat Papua dari sisi konflik, mengucilkan sikap dewasa masyarakat Papua dalam berpolitik.
“Sejak dulu saya tidak setuju kalau pilgub dan pilkada di Papua dilihat dari sisi konfliknya. Pilgub Papua ini sama dengan daerah lain,” ucap Kadepa.
Jangan salah menempatkan personel
Polda Papua perlu jeli menempatkan personel di wilayah yang dianggap rawan saat pilkada. Jangan sampai melakukan blunder. Kesalahan fatal yang akan menyebabkan institusi itu menjadi sorotan.
Anggota polisi yang belum lama bertugas dan BKO dari provinsi lain, kata kepala kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey jangan di tempatkan di daerah rawan.
“Kalau pun akan menempatkan BK, harus dibekali karakter masyarakat di wilayah itu. Tidak hanya oleh Polda tapi tokoh masyarakat dan pihak lainnya. Tapi anggota polisi baru, komnas HAM menilai tidak boleh, karena dia berpotensi,” kata Frits.
Meski Polda Papua memetakan daerah rawan yang dianggap basis kelompok bersenjata, penanganannya berbeda dengan daerah lain, namun penggunaan peluru tajam harus sesuai prosedur. Jangan sampai polisi tidak siap, menghadapi insiden dan mengedepankan tindakan refresif.
“Itu pendekatan kesekian. Pendekatan komunikasi dan dialog harus di kedepankan. Polisi harus terukur menggunakan senjata, terutama di daerah rawan konflik. Jika tidak, bisa dianggap menghambat atau mengancam proses pilkada,” ucapnya.
Mestinya, poin pertama dalam konteks pilkada, bagaimana penyelenggara mempersiapkan seluruh hal terkait tahapan. Kedua, kesadaran parpol merangkul konstituen, kandidat, dan tokoh masyarakat.
“Itu penting. Memang, polisi ada pada dua posisi penting. Harus memastikan proses aman dan mengemankn distribusi logistik pemilu. Sejak kini polisi sudah harus membuat peta daerah rawan. Menggeser personel Polres untuk penggalangan dini,” ujarnya.
Catatan Komnas HAM perwakilan Papua, terkait dugaan keterlibatan oknum polisi dalam pilkada serentak 2017 pada beberapa kabupaten di Papua, mestinya menjadi refleksi Polda Papua. Jangan lagi kesalahan yang sama terulang pada pilkada tahun ini.
“Sikap mantan Kapolresta Jayapura, AKBP Gustav Urbinas menjaga independensinya harus dipegang dan menjadi contoh polisi lain,” katanya. (*)