Ampera minta kasus kekerasan dan amuk massa di Papua tidak digeneralisir

Ketua Ampera Papua , Stenly Salamahu Sayori – Ist

Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura,Jubi – Rentetan peristiwa tragis dan kekerasan yang terjadi di atas tanah Papua, meninggalkan luka batin bagi keluarga korban bahkan semua komponen mendiami di bumi Cenderawasih .

Ketua Aliansi Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat (Ampera) Papua , Stenly Salamahu Sayori mengatakan, peristiwa Wamena, Jayawijaya dan Waena, Kota Jayapura berdarah pada 23 September 2019 yang menelan korban jiwa dan material, telah menambah catatan buruk di atas tanah Papua.

Read More

Kata Stenly peristiwa-peristiwa tersebut tidak bisa digeneralisasi sebagai ulah rakyat Papua atau non Papua dari Suku, Agama, Ras dan Golongan (SARA) tertentu.

“Semua pihak harus bijaksana dalam menyikapi persoalan yang telah terjadi. 30 orang korban yang meninggal akibat peristiwa Wamema dan lima orang meninggal dunia di Waena terdiri dari orang asli Papua (OAP) dan non OAP. Ya, salah satunya dr. Soeko Marsetiyo (53) yang mengabdi selama 15 tahun di Tolikara,” ujar Ketua Ampera Papua , Stenly Salamahu Sayori kepada Jubi melalui rilisnya,Jumat, (27/9/2019).

“Menurut informasi yang kami peroleh, peristiwa tersebut merupakan akumulasi dari ruang diskusi (dialog) yang tertutup antara pemerintah daerah dan mahasiswa atau pelajar,” ucapnya.

Setelah mencermati dinamika itu, pihaknya menyatakan yang terjadi, peristiwa kekerasan dan amuk massa merupakan ulah oknum dan sekelompok orang (organisasi) sehingga tidak boleh digeneralisasi sebagai ulah rakyat Papua atau non Papua.

Mendukung upaya pihak berwenang dalam menindak tegas oknum dan sekelompok orang/organisasi yang mendesain peristiwa tragis dan kekerasan di atas tanah Papua sesuai dengan aturan yang berlaku.

Dirinya juga mengimbau seluruh masyarakat tanah Papua untuk tidak mudah terprovokasi dan bijaksana dalam menyikapi setiap peristiwa yang terjadi. “Kepada seluruh masyarakat untuk tidak menyebarluaskan berita, foto atau video hoaks di sosial media (sosmed) yang bersifat meresahkan dan memprovokatif,” katanya.

Ia juga mengimbau mahasiswa eksodus untuk dapat kembali ke kota studi masing-masing.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib meminta Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian untuk tidak menggolong-golongkan korban dalam kelompok warga pendatang dan orang asli Papua.

Murib meminta Tito menghormati bahwa setiap korban adalah korban, apapun latar belakang etnis korban tersebut.

“MRP tidak setuju [jika korban kekerasan di Papua digolong-golongkan] orang asli Papua dan non-Papua. Korban peristiwa Wamena itu adalah korban, [terlepas dari latar belakangnya sebagai] orang asli Papua atau non-Papua,” sebagaimana dikutip dari Tempo pada Rabu (25/9/2019).

Murib menegaskan, penggolong-golongan korban berdasarkan latar belakang etnis bisa menimbulkan konflik baru. Murib meminta polisi mengumumkan data korban dengan lengkap dan utuh, tanpa menggolongkan atau menonjolkan latar belakang etnis korban.

Komisioner Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara meminta agar makar tak dijadikan alasan bagi aparat keamanan membatasi masyarakat Papua menyampaikan pendapatnya di muka umum.

“Ketika masyarakat demo misalnya ingin keadilan segala macam harus dilihat. Kalau polisi menyatakan makar atau tidak, tentu punya ukurannya. Tapi tidak lantas membatasi seseorang menyatakan pendapat,” kata Beka Ulung Hapsara. (*)

Editor: Syam Terrajana

Related posts

Leave a Reply