Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP merekomendasikan sejumlah poin, terkait situasi Papua 2021. Rekomendasi itu disampaikan dalam Laporan Situasi Umum Hak Asasi Manusia Tahun 2020 di Papua, yang dipublikasikan AlDP, Rabu (17/3/2021).
Direktur AlDP, Latifah Anum Siregar mengatakan rekomendasi itu di antaranya upaya penegakan hukum mesti profesional dan imparsial. Tidak saja terhadap peristiwa atau dampak yang ditimbulkan. Akan tetapi penting memperhatikan implementasi aturan yang ada, bahkan perubahan ditingkat undang-undang.
TNI/Polri dan TPNPB-OPM juga diminta menghentikan kekerasan terhadap warga sipil. Tidak melakukan aksi yang dapat berdampak terhadap kehidupan masyarakat sipil.
“Ini untuk memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” kata Anum Siregar kepada Jubi, Rabu (17/3/2021).
Menurutnya, review kebijakan keamanan di Papua juga mesti dilakukan. Dimulai dari mekanisme komando dan koordinasi terkait operasi yang dilakukan oleh Kodam XVII Cenderawasih, Polda Papua, aparat keamanan gabungan TNI/Polri dan Kogabwilhan III.
Begitu juga penempatan pasukan untuk penanganan konflik, penanganan aksi massa, penanganan pengamanan proses hukum atau persidangan.
Distribusi dan pertanggungjawaban penggunaan amunisi, dan peran atau keterlibatan aparat keamanan dalam pemerintahan sipil di Papua.
“Termasuk review aturan yang melibatkan aparat keamanan, khususnya TNI dalam pembangunan infrastruktur di Papua,” ujarnya.
Rekomendasi lain, perencanaan pembangunan infrastruktur yang tepat, memperhatikan hak hidup, pekerja, ekosisten dan masyarakat sekitar sesuai konteks sosial dan budaya setempat. Berkorelasi langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat setempat dan tetap terpenuhinya rasa aman.
“Penting juga penyelenggaraan pemerintahan bersih dan berwibawa. Berorientasi pada sistem dan fungsi birokrasi yang dijalankan secara profesional,” ucapnya.
Pemerintah pusat dan daerah juga dipandang perlu mensinergikan perannya. Melibatkan partisipasi masyarakat secara maksimal. Menyediakan berbagai fasilitas layanan publik memadai, merespons cepat dan tepat berbagai permasalahan.
“Sangat dibutuhkan pengawasan internal terhadap program dan anggaran secara maksimal. Termasuk memberikan sanksi yang tegas bagi ASN yang lalai dalam menjalankan tanggungjawabnya,” kata Anum.
AlDP juga merekomendasikan konsolidasi di antara masyarakat sipil khususnya antara orang asli Papua. Membuka dialog strategis menyelesaikan masalah mendasar di Papua.
Memperbanyak inisiatif di antara pemerintah dan masyarakat (kelompok agama dan etnis), serta antar masyarakat untuk membangun ruang komunikasi humanis dan inklusif.
Selain itu, mobilisasi, strukturisasi maupun kelembagaan yang berbasis pada kekuatan keamanan mesti dihentikan. Namun yang perlu diperkuat adalah peran penyelenggaraan pemerintahan, institusi penegak hukum dan pemberdayaan masyarakat sipil yang mandiri, toleran dan demokratis.
“Mengedepankan sikap non diskriminasi, tanpa stigma dan menghilangkan aksi-aksi yang provokatif ataupun persekusi. Baik yang dilakukan pemerintah, aparat penegak hukum, ataupun di antara berbagai komponen masyarakat sipil,” ujar Anum Siregar.
Sementara itu, Amnesty Internasional menyatakan mesti ada kemauan politik dari negara, milindungi orang Papua. Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid mengatakan selama ini pemerintah terkesan melakukan represi, untuk mengamankan eksploitasi ekonomi dan sumber daya alam di Papua.
Hak-hak masyarakat adat diabaikan demi mendapat tanah, misalnya untuk keperluan bisnis misalnya. Suara suara kritis yang mengkritik kebijakan negara berupaya diredam.
Padahal di Papua diberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus atau Otsus. Dalam undang-undang itu disebut orang asli Papua. Ini berarti mereka adalah masyarakat adat pada tujuh wilayah adat di Papua dan Papua Barat.
“Dalam hukum internasional itu dilindungi. Akan tetapi kan dalam prakteknya perlindungan itu memerlukan kemauan politik negara,” kata Usman Hamid. (*)
Editor: Edho Sinaga