Adipura VS banjir, longsor, dan perizinan

Papua No. 1 News Portal | Jubi , 

KOTA Jayapura telah mendapat piala Adipura selama enam kali. Penghargaan ini sekiranya menjadi pemicu bagi masyarakat dan pemerintah untuk menjaga lingkungannya.

Persoalan banjir dan longsor pun menyita perhatian Jubi dan membahasnya dengan sejumlah pihak dalam forum diskusi di salah satu hotel di Kota Jayapura, Sabtu, 26 Januari 2019.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jayapura, Ketty Keylola, dalam diskusi bertajuk “Enam Kali Piala Adipura dan Longsor di Kota Jayapura”, yang dipandu Jean Bisay, mengatakan banjir merupakan persoalan klasik di kota ini. Kota yang dipimpin Benhur Tomi Mano ini menerima piala Adipura karena penilaian khusus dan kriteria tertentu.

“Berdasarkan kriteria-kriteria yakni tinggi, sedang dan rendah; berdasarkan penilaian itu yang ada di seluruh Indonesia,” kata Ketty.

Menurut dia, banjir merupakan masalah klasik, tidak hanya di dunia, Indonesia, tetapi juga Papua, khususnya Kota Jayapura. Banjir bukan satu-satunya penilaian untuk mendapat penghargaan sekelas Adipura. Kementerian Lingkungan Hidup tidak hanya menilai dari banjir atau longsor. Namun, beberapa penilaian misalnya penyedia sarana kebersihan, apakah lengkap atau tidak, ketersediaan tenaga kebersihan, hutan lindung, kawasan hijau, dan lain-lain.

“Hal ini ditambah dengan Pemerintah kota Jayapura terus mengembangkan kota Jayapura sebagai kota berwawasan lingkungan, sehingga kami terus melakukan inovasi di bidang ini,” katanya.

Meski demikian, BLH Kota Jayapura berupaya mengendalikan kerusakan lingkungan dengan mengecek pembangunan di sejumlah kawasan, apakah sesuai AMDAL atau tidak.

“Kami sudah melakukan penanaman pohon. Kami sudah melarang masyarakat untuk melakukan penebangan pohon, tapi justru kami diancam. Tetapi kampanye untuk tidak menebang hutan sembarangan terus kami galakkan,” katanya.

Ironisnya, bangunan publik dan permukiman padat penduduk justru berada di lokasi rawan banjir, seperti perum Organda dan sekitarnya, Skyline, Angkasa, Buper Waena, dan kawasan Entrop, terutama di sekitar Polsek Jayapura Selatan dan SMAN 4 Jayapura.

Bangunan-bangunan itu tidak mempunyai izin. Ada juga rumah sakit Uncen, perumahan dinas kesehatan Papua di Abepura.

“Kami Pemerintah Kota Jayapura tidak pernah memberikan izin karena dari tata ruang tidak layak dibangun bangunan di area resapan air. Daerah tersebut sampai kapan pun akan terkena banjir,” katanya.

Dia mengaku sudah berkolaborasi dengan beberapa dinas untuk menangani banjir, misalnya Dinas Pekerjaan Umum, Balai Sungai, BPBD Kota Jayapura, dan DLH.

Kota Jayapura menuju kota Beriman (bersih, iman, nyaman, dan nyaman), sebagaimana visi-misi pemerintah kota. Kota ini mempunyai beberapa perda berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, seperti perda tata ruang, perda penyelenggaraan kebersihan, dan perda pengelolaan sampah rumah tangga, serta perda perlindungan dan pengelolaan kawasan cykloop.

Untuk pengendalian banjir di sekitar Organda, pihaknya sudah melakukan pengerukan dua kali semiggu. Selain banjir, longsor juga kerap dihadapi kota ini.

Dalam catatan BMKG, hujan mulai masuk minggu ketiga bulan November dan puncaknya pada Januari hingga Februari, dan menurun pada Maret.

“Mengenai hujan, tahun 2008 pernah hujan 300-an. Tapi tahun 2014, hujan 200-an. Terjadi longsor di Yapis sampai menelan korban. Yang terjadi 5 Januari 2019, kami mencatat 175, yang terjadi jalan putus, longsor, dan banjir. Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya hujan itu tidak berubah di Jayapura. Dari tahun sebelumnya juga sama. Yang menjadi masalah daya lingkungan,” kata Herlambang, dari BMKG Jayapura.

Dia berharap agar masyarakat kota ini tetap waspada. Kalau fenomena alam tidak berubah dan kerentanan naik, maka risiko (bencana) lebih tinggi.

Pasalnya, banjir sudah terekam sejak tahun 1923, 1977, dan 1980-an. Intensitasnya lebih tinggi. Dari hidrometerologi, sebenarnya curah hujan di atas 3.000 per tahun. Persoalannya ada di mana sampai banjir menjadi dampak besar?

“Pertama kawasan perbukitan yang mungkin tidak dikelola baik, mulai dari Pasir 2 sampai kota, dari Yoka dan Nafri. Itu penyumbang air (banjir) terbesar,” kata Yehuda Hamokrang, Dosen Geografi Universitas Cenderawasih.

Kedua, lanjutnya, daerah fluvial dulunya hutan sagu. Namun, daerah ini beralih fungsi menjadi permukiman. Abepura sebenarnya tidak ada muara, tetapi ke kawasan Youtefa. Saat Perang Dunia II, tentara sekutu mulai membuka saluran, kemudian Kotaraja kering. Kemudian ada muaranya.

“Daerah itu sebenarnya daerah resapan. Sekarang alih fungsi lahan terbesar,” kata Yehuda.

Maka dari itu, dia meminta agar Pemkot Jayapura meninjau kembali perizinan di sejumlah kawasan. Terutama di daerah resapan air dan rawan banjir dan longsor, seperti, Skyline, Angkasa, dan Pasir 2, Organda, dan sekitarnya.

“Itu penting, apalagi (jika sudah) buka perumahan,” katanya.

Dia meminta agar sekitar kali Konya Abepura harus dibuat kolam penampungan, agar air berhenti dan terkumpul di situ. Dengan demikian, kawasan Saga dan sekitarnya tidak mengalami banjir. Begitu pula kawasan Pasar Youtefa dan Entrop.

“Saya pikir pemkot segera perhatikan izin-izin itu. Pemukiman padat harus dialihkan ke mana? Masyarakat dikemanakan?” katanya. (*)

Related posts

Leave a Reply