7 tapol Papua dituntut hukuman berat, kapan pelaku rasisme diadili?

Mahasiswa Eksodus Papua
Para aktivis Posko Umum Eksodus Pelajar dan Mahasiswa Papua se Indonesia. - IST
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Juru bicara Posko Umum Eksodus Pelajar dan Mahasiswa Papua se Indonesia, Dewa Dabi meminta Pengadilan Negeri Balikpapan membebaskan tujuh tahanan politik Papua yang tengah diadili dalam kasus makar. Tuntutan itu dinilai tidak adil, lantaran banyak pelaku rasisme terhadap mahasiswa Papua justru tidak diadili dan tetap bebas.

“Posko Umum Exodus Pelajar dan Mahasiswa Papua Se-Indonesia tegas, [tuntutan] hukum terhadap tujuh tapol Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan tidak adil dan diskriminatif terhadap martabat orang Papua,” kata Dabi melalui siaran pers yang diterima Jubi pada Selasa (9/6/2020).

Read More

Ketujuh tahanan politik (tapol) Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca warga Papua berdemonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.  Ketujuh tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Baca juga: Pastor Katolik Pribumi Papua dari lima keuskupan minta keadilan untuk Buchtar Tabuni Cs

Dalam  persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ketujuh tahanan politik Papua itu dengan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.

Dabi mengatakan penegakan hukum dalam kasus ketujuh tahanan politik itu tidak adil bagi rakyat Papua. Menurutnya, gelombang unjukrasa yang terjadi pada di berbagai kota pada Agustus 2019 merupakan protes rakyat Papua atas tindakan rasial terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Akan tetapi, oknum TNI, oknum Satuan Polisi Pamong Praja, dan para anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menyatakan ujaran rasial terhadap mahasiswa Papua tidak diadili.

Dabi menegakan tindakan rasial aparat keamanan dan ormas di Surabaya itu tidak manusiawi, melanggar Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika. “Seharusnya pelaku rasisme di Surabaya, baik itu aparat keamanan [atau anggota] ormas ditangkap dan diproses hukum, dan dihukum seberat-beratnya demi, keadilan bagi rakyat Papua. Tetapi, rakyat Papua yang korban rasisme malah ditangkap, dikriminalisasi dengan pasal makar, dan dituntut hukuman penjara 5 – 17 tahun,” kata Dabi.

Berdasarkan catatan Jubi, tuntutan bagi ketujuh tapol Papua lebih berat dibandingkan hukuman bagi dua terpidana dalam kasus rasisme di Surabaya. Pada 3 Februari 2020 lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menghukum Tri Susanti alias Susi tujuh bulan penjara. Terdakwa lainnya, Syamsul Arifin, pada 30 Januari 2020 dihukum lima bulan penjara. Hingga kini tidak ada aparat keamanan yang diadili atas kasus rasisme di Surabaya itu.

Baca juga: Orang Indonesia merasa superior terhadap orang Papua

Dabi menyatakan pihaknya berharap majelis hakim dalam perkara ketujuh tapol Papua akan memberikan keadilan bagi ketujuh tapol Papua dan rakyat Papua. “Posko Umum Exodus Pelajar dan Mahasiswa Papua Se-Indonesia berharap majelis hakim pemeriksa perkara tujuh tapol Papua menghentikan disparitas tuntutan pidana makar, sekaligus memutuskan rantai kriminalisasi yang dilakukan secara struktural dan sistemik sejak tujuh tapol Papua dijadikan tersangka,” katanya.

Salah satu mahasiswa eksodus Papua, Oskar Gie Kapolri menghentikan kriminalisasi aktivis Papua. Gie juga meminta Mahkamah Agung mengawasi proses persidangan tujuh tapol Papua agar memenuhi rasa keadilan rakyat Papua.

Gie meminta majelis hakim yang memerika perkara tujuh tapol Papua berani mengedepankan prinsip Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga diminta turun tangan membebaskan 7 tapol Papua. “Presiden [harus] segera membebaskan tujuh tapol Papua di Balikpapan, tanpa syarat,” kata Gie.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply