Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Laurens Ikinia*
Sejumlah empat mahasiswa Melanesia dari Provinsi Papua dan Papua Barat telah menyelesaikan pendidikan mereka di beberapa universitas di Aotearoa, Selandia Baru, pada April hingga Mei 2021. Mereka telah diwisuda dalam program pendidikan Strata 1 dan Strata 2 berbagai disiplin ilmu.
Nathan Sonyap lulus dengan gelar Master of International Tourism Management Studies dari Waikato University pada 21 April 2021. Yan Piterson Paiton Wenda meraih gelar Bachelor of Commerce in Management dari Otago University pada 15 Mei 2021. Keduanya adalah penerima beasiswa dari Pemerintah Provinsi Papua.
Gebriella Huberta Regina Thenau meraih gelar Sarjana Manajemen Lingkungan bersama Yuliktus Korain yang meraih gelar Bachelor of Commerce in Marketing pada 15 Mei 2021. Keduanya penerima beasiswa dari Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Keempatnya mengaku sangat bersyukur bisa kuliah dan lulus dari universitas ternama di Selandia Baru. Mereka mempersembahkan prestasi tersebut untuk keluarga dan masyarakat asli Papua.
Baca juga: Begini pesan Gubernur Papua untuk mahasiswa Papua di Selandia Baru
Sebagai orang berlatar belakang etnis Melanesia, mereka mengatakan orang Papua yang berkuliah di Indonesia terkadang menghadapi stigma negatif dalam berbagai aspek, bahkan berisiko mengalami serangan rasial. Banyak mahasiswa Papua yang berkuliah di Indonesia tidak bisa belajar dengan konsentrasi penuh.
Nathan Sonyap, Yan Piterson Paiton Wenda, Gebriella Huberta Regina Thenau, dan Yuliktus Korain merasakan pengalaman yang berbeda, mengalami kebaikan dan kemurahan hati orang Selandia Baru di lingkungan kampus maupun lingkungan sosial mereka. Mereka merasa lebih nyaman dan damai selama berkuliah, dan mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidup dan belajar mereka.
Gebriella Thenau, dikenal dengan nama panggil Gebi mengatakan ia tidak pernah bermimpi bisa berkuliah di Selandia Baru, mengingat biayanya yang sangat mahal. Oleh karena itu, ia sangat berterima kasih kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat yang telah memberikan beasiswa kepadanya.
Ia mengatakan orangtuanya selalu mengingatkannya untuk belajar dengan serius, karena pemerintah menggunakan uang rakyat Papua, yang orangtuanya sebut “Uang Darah”. Ia sering merasakan tekanan batin ketika mendengar keluarganya bertanya tentang kapan dia akan menyelesaikan kuliah.
“Sa pu orangtua, dong selalu mengingatkan sa untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Sa pu Bapa selalu mengatakan, ‘ingat bahwa Anda menggunakan uang orang asli Papua’,” kata Thenau.
“Meskipun mendapat tekanan dari sa pu keluarga dan sa pu studi, sa slalu percaya bahwa lulus dari salah satu universitas ternama di Selandia Baru akan melunasi segalanya. Akhirnya, sa berhasil, dan orangtua serta keluarga dong bangga akan hal itu,” kata Thenau.
Thenau yang menamatkan pendidikan SD hingga SMA di Kota Sorong mengatakan bahwa memiliki orangtua yang mendukung perjalanannya sangat penting. “Ini adalah kesempatan besar, karena tong pu orangtua tra memiliki kesempatan seperti tong untuk belajar di luar negeri. Tong pu mama dong berkeringat dan menangis di jalan untuk anak-anak mereka, agar mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Kadang tong perempuan tidak memiliki banyak kesempatan di tempat umum. Sa berharap tong pu kisah sukses akan menghapus air mata dan keringat mama dong,” kata Thenau.
Nathan Sonyap, siswa pertama dari suku Una Ukam di Kabupaten Yahukimo di Selandia Baru mengatakan dia berterima kasih kepada Gubernur Papua Lukas Enembe dan mendiang Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal yang membuatnya berkesempatan belajar di Tanah suku Maori, Selandia Baru.
“Sungguh, ini suatu kehormatan dan hak istimewa bagi saya untuk belajar di sini, di Selandia Baru. Sa tidak miliki keluarga yang bisa mendukung sa untuk bisa sampai belajar di sini. Sa ingin memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada almarhum Wakil Gubernur Papua [Klemen Tinal] atas kebijaksanaannya yang luar biasa dalam memimpin rakyat Papua. Sa berharap sebelum dia meninggal, dia dapat melihat kesuksesan kami dalam studi dan karir kami, hal itu merupakan bagian dari mimpi beliau,” kata Sonyap.
Baca juga: Pemprov Papua didorong sisihkan anggaran untuk dana abadi beasiswa OAP
Sonyap yang menempuh pendidikan SD di kampung halamannya dan SMP hingga SMA di Wamena meraih gelar sarjananya di Kota Makassar. Berkuliah di Selandia Baru memberinya pengalaman baru, baik dari sisi akademik, sosial dan banyak hal lainnya.
“Sa su lalui begitu banyak tantangan. Sa memulai kursus bahasa Inggris di IPU Selandia Baru, di Kota Palmerston North, dan melanjutkan Diploma Pasca Sarjana di Universitas Waikato. Akhirnya menyelesaikan pendidikan magister saya. Jujur, tidak semudah itu, semua butuh usaha dan ketekunan,” tegas Sonyap.
Yuliktus Korain yang akrab disapa “Yulko” adalah salah satu mahasiswa yang patut dikagumi. Dia sudah kehilangan kedua orangtuanya sejak masih duduk di bangku SD. Untuk mencapai level di mana dia sekarang berada, Korain melewati banyak tantangan.
“Wah…, sangat berat buat sa dan sa pu ade laki-laki untuk menghadapi kenyataan ketika mama meninggal dunia pada tahun 2003, tepat ketika sa baru mulai SD. Kemudian pada tahun 2008, bapa saya meninggal, pas sa masih di kelas 4. Sa benar-benar kehilangan harapan waktu itu. Sa putuskan untuk tidak sekolah, karena alasan keuangan dan kehilangan orangtua. Selama satu tahun, sa hanya tinggal di rumah dan main dengan anak-anak kampung lainnya,” kata Korain.
Korain mengatakan dia beruntung karena pamannya, yang dia gambarkan sebagai seorang “malaikat Tuhan”, datang dan menawarkannya untuk belajar. Korain tinggal bersama pamannya saat menyelesaikan kelas 4. Selama bersekolah di kelas 5 dan 6, Korain tinggal bersama tantenya dari pihak ibu.
Korain kemudian melanjutkan SMP hingga SMA, sambil menjalani pembinaan di seminari di Kota Sorong. Saat itu, semua kebutuhan pokok Korain ditanggung oleh pihak seminari, dengan syarat setiap pengeluaran dari pihak seminari akan digunakan sebagai tunggakan.
Yan Piterson Wenda yang juga adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Papua di Oseania (PSAO) mengatakan perayaan kelulusannya merupakan peristiwa yang akan dikenang seumur hidupnya. Wenda menuturkan, dia dan orangtuanya tidak pernah mengadakan perayaan apapun, bahkan di hari ulang tahunnya.
“Sa berikan penghormatan pertama kepada mama saya, karena sa dibesarkan oleh seorang single mother. Dia adalah orang yang hebat dalam hidup saya, karena dia tra pernah meninggalkan sa sendirian, [bahkan] ketika sa buat hal-hal yang tra berkenan di hatinya. Sa berharap mama bisa menyaksikan sendiri hasil doa dan kerja kerasnya menjual singkong, kacang, sayur dan hasil kebun lainnya. Sayangnya, bukan itu kenyataannya. Sa rasa sedih karena orangtua dan sa pu keluarga tra bisa menonton sa pu wisuda secara daring di Facebook, karena internet masih diblokir,” kata Wenda.
Sembari memberikan penghormatan kepada Pemerintah Provinsi Papua, Wenda mengatakan kehadirannya di Selandia Baru merupakan hasil dari “program gila” Gubernur Papua Lukas Enembe yang nekat memberikan beasiswa bagi anak Papua untuk berkuliah di luar negeri. Wenda menyebut program beasiswa itu sebagai “program gila”, karena dia tidak akan berada di Selandia Baru jika Pemerintah Provinsi Papua tidak membuat program beasiswa itu.
“Jujur, sa secara akademis nilainya pas-pasan. Tapi saya diberikan kesempatan itu, karena Pemerintah Provinsi Papua ingin menyamakan derajat tong yang berasal dari keluarga kurang mampu dan keluarga yang mampu,” kata Wenda.
Baca juga: Asosiasi Mahasiswa Papua Oceania terbentuk
Wenda saat ini sedang mempersiapkan dirinya untuk melanjutkan program pendidikan Master of International Business di Otago University. Ia selalu memang tiga prinsip hidupnya. Pertama, dia selalu percaya kepada Tuhan. Kedua, dia memiliki motivasi yang sangat kuat mengapa dia ada di Selandia Baru. Ketiga, dia selalu bergaul dengan teman-teman atau orang-orang yang membawa pengaruh positif dalam studinya.
Wenda mengakui, berkuliah di luar negeri tidak mudah. Mahasiswa asal Papua yang datang ke Selandia Baru menghadapi berbagai tantangan, seperti kendala bahasa, cuaca, sistem akademik, perbedaan budaya, dan lain-lain.
Nathan Sonyap, Yan Piterson Paiton Wenda, Gebriella Huberta Regina Thenau, dan Yuliktus Korain mengatakan bahwa sudah terlalu lama orang Papua tidak diberi kesempatan untuk belajar di luar negeri. Oleh karena itu, mereka berharap Pemerintah Provinsi Papua terus melanjutkan program beasiswa bagi orang Papua untuk berkuliah di luar negeri. Program itu dinilai sebagai salah satu cara untuk mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua yang selama ini direndahkan.
Keempat putra-putri dari Tanah Papua itu mengatakan, jika mereka bisa, maka adik-adik, teman-teman, dan kaka-kaka mereka yang sedang berjuang di bangku pendidikan juga pasti bisa. “Salam dari tong berempat untuk bapa-bapa, mama-mama, ade-ade, kaka-kaka, om-om, tanta-tanta, guru-guru, pemerintah daerah di kedua provinsi, dan seluruh masyarakat Papua di Tanah Papua”. (*)
* Laorens Ikinia adalah mahasiswa Program Magister Jurusan Komunikasi di Selandia Baru.
Editor: Aryo Wisanggeni G