WWF latih masyarakat kelola hutan adat

Pemateri dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua saat membawa materi - Jubi/David Sobolim
Pemateri dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua saat membawa materi – Jubi/David Sobolim

Papua No. 1 News Portal | Jubi

“Setelah pelatihan ini mereka akan paham bagaimana cara pengolahan hutan kayu dengan baik dengan mengurangi dampak-dampak pemanfaatan itu sendiri.”

Read More

Jayapura, Jubi – World Wide Fund for Nature atau WWF-Indonesia menggelar pelatihan bagi masyarakat adat untuk mengelola hutan adatnya.

Pelatihan dilatarbelakangi oleh adanya illegal logging atau pembalakan liar dan perusahaan tanpa izin mengambil keuntungan dari penjualan kayu di Papua. Pembelian kayu dengan harga di bawah standar lalu dijual dengan harga yang lebih tinggi menjadi primadona bagi pengusaha kayu.

Maka dari itu, WWF-Indonesia menyelenggarakan pelatihan teknik perencanaan pemanenan kayu dengan metode RIL (Reduced Impact Logging), Selasa (13/8/2019) di Jayapura, bagi masyarakat adat pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Adat (IUPHHKA-MA) yang tergabung dalam Koperasi Serba Usaha (KSU).

Delapan KSU dan satu kelompok wisata yang merupakan kelompok dampingan WWF tersebut tersebar di beberapa kabupaten, seperti KSU Mo Make Unaf dari Merauke, KSU Jibogol dari Jayapura, KSU Nafa dari Nabire, KSU Kumea Ampas dari Keerom, KSU Sapusaniye dari Sarmi, serta KSU Kornu dan KSU Year Asai dari Kepulauan Yapen, dengan total areal konsesi seluas 33,691 hektare, dan satu kelompok ekowisata Rhepang Muaif di Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.

Piter Roki Aloisius, Northern Papua Landscape Manager, WWF-Indonesia, kepada Jubi mengatakan pihaknya melibatkan mereka yang mendapat izin usaha pemanfaatan hutan kayu dari pemerintah Provinsi Papua, dan yang didampingi dari WWF adalah tujuh kelompok yang terlibat untuk mengikuti kegatan ini.

“Sebenarnya ada 13 kelompok, tetapi tidak berjalan karena implementasi Peraturan Gubernur Nomor 13 tahun tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat, dan belum ada sinkronisasi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat terkait dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 2019 dengan perdasus Nomor 21 tahun 2010 di Provinsi Papua,” katanya.

Untuk menjembatani penerbitan NSPK hingga kini belum ada penertiban, dan WWF bertanggung jawab untuk membina kelompok-kelompok yang sudah ditetapkan itu.

“Agar mereka masih tetap memahami bahwa sampai saat ini belum bisa melakukan kegiatan,” katanya.

Menurutnya, sambil menunggu penerbitan NSPK pihaknya melakukan pendampingan jika setelah penerbitan itu kelompok-kelompok tersebut akan mengelola hutannya secara mandiri, lestari, dan bertanggung jawab.

“Setelah pelatihan ini mereka akan paham bagaimana cara pengolahan hutan kayu dengan baik dengan mengurangi dampak-dampak pemanfaatan itu sendiri,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan pemanfaatan hutan kayu oleh masyarakat adat Papua belum begitu nampak. Namun, pihaknya yakin dengan pelatihan dan pemdapingan akan ada orang yang berinisiatif untuk melakukan pengelohan kayu oleh masyarakat adat.

“Di Papua kayunya diolah oleh masyarakat adat sendiri maka pendapatan perhari lebih tinggi,” kata dia.

Menurut dia, dari hutan adat masyarakat menjual kayu dengan kisaran harga Rp300 ribu per pohon. Seorang pengusaha menjual kayu ke kota lebih tinggi dan masyarakat lokal rugi dua kali daripada pengusaha.

“Pemberdayaan pendampingan ini bukan hanya tanggung jawab LSM, tetapi juga pemerintah turut ambil bagian demi kesejahteraan masyarakat adat,” katanya.

Andreas Simoberef dari KSU Tetom Jaya Kabupaten Sarmi mengatakan setelah didampinngi oleh WWF dirinya sudah membuka usaha industri mebel. Pendapatan dari usaha industri ini lebih tinggi dari menjual kayu dengan harga yang murah dan hutannya menjadi rusak. Penghijauan membutuhan puluhan tahun

Dirinya baru membuka usaha ini selama satu tahun lebih peminat lebih tinggi dan tidak mampu melayani semua pesanan dalam sebulan.

“Ini menjadi tanda bahwa kayu tidak harus jual, tetapi pengelolaan kayu dilakukan oleh masyarakat adat dan hasil lebih tinggi,” ujarnya. (*)

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply