Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Aris Yeimo
Rakyat Papua kini diperhadapkan dengan dua polemik besar, yaitu Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid II dan referendum. Kedua polemik ini sangat menguras pikiran, waktu, tenaga, dan uang. Banyak artikel dan buku ditulis, serta seminar dan webinar diselenggarakan guna menganalisis sejauh mana dampak Otsus Jilid I terhadap keberlangsungan hidup rakyat Papua selama 20 tahun terakhir. Ada yang mendukung Otsus Jilid II, tetapi ada pula yang mendukung referendum.
Pada tulisan ini penulis tidak membahas bab per bab yang tertuang dalam UU Nomor 21/2001 Tentang Otonomi Khusus karena secara umum, Dr. Agus Sumule telah membantu kita dengan mengevaluasinya.
Namun, pesan yang tersirat dari evaluasi tersebut menunjukkan bahwa sejatinya Otsus Jilid I tidak berhasil. Seluruh variabel makro terkait hak-hak fundamental rakyat yang dijamin oleh UU tersebut tidak menunjukkan kemajuan sekalipun dana sebesar Rp 105.186.133.268.500 dikucurkan untuk Papua dan Papua Barat sejak 2002 hingga 2018 (Suarapapua.com, 22/4/2020; 30/5/2020; 6/6/2020).
Karena otsus telah dianggap gagal oleh mayoritas rakyat Papua, maka penulis ingin mengutarakan dua pertanyaan reflektif bagi kita di penghujung masa Otsus Jilid I.
Dimana letak kegagalan pemerintah pusat dan daerah, sehingga triliunan rupiah dikucurkan dari tahun ke tahun pun belum mampu menjawab persoalan orang Papua? Jika otsus diberikan kepada rakyat Papua karena tuntutan kemerdekaan, mengapa sampai hari ini tuntutan itu masih terus disuarakan?
Lahirnya Otsus Jilid I dan polemiknya
(Alasan) Inti dari pemberian Otsus Jilid I kepada rakyat Papua adalah karena adanya tuntutan kemerdekaan secara politis. Rakyat meminta agar Papua berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa merdeka.
Tim 100 yang menjadi representasi rakyat bangsa Papua pada saat itu telah mengajukan manifesto politik bangsa Papua kepada Presiden B.J.Habibie pada 26 Februari 1999 (Suarapapua.com, 8/7/2020).
Dalam pertemuannya dengan Presiden B.J.Habibie, Tim 100 mewakili suara hati rakyat Papua sekaligus menyatakan bahwa (Yoman: 2012:31):
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi;
Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara demokratis, damai dan bertanggung jawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999;
Ketiga, jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir pertama dan kedua, maka: (1) Segera diadakan perundingan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa; (2) Kami Bangsa Papua Barat menyatakan tidak ikut serta dalam Pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
Namun, Jakarta rupanya tidak menggubris kehendak tulus rakyat Papua. Jakarta ingin agar Papua tetap menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan mayoritas rakyat Papua menginginkan referendum.
Ketidaksepahaman itu terus menghiasi kehidupan setiap orang yang hidup di tanah Papua. Bahkan ketidaksepahaman itu justru tidak jarang menimbulkan konflik antara rakyat dan pemerintah, tetapi sekaligus antara rakyat dengan rakyat.
Sejak UU No 21/2001 diberlakukan, mayoritas rakyat Papua memang sangat skeptis bahwa otsus akan menjamin kehidupannya. Protes terjadi di mana-mana di seluruh Tanah Papua.
Namun pemerintah dan sebagian elite Papua, pejuang Otsus Jilid I, berusaha meyakinkan rakyat bahwa otsus akan menyejahterakan rakyat Papua. Otsus dijadikan sebagai win-win solution bagi penyelesaian masalah Papua.
Sejauh ini banyak kalangan yang mendukung Otsus Papua Jilid II bertanya, apa dasarnya jika otsus Jilid I dikatakan telah gagal?
Banyak generasi muda Papua yang telah mendapatkan pendidikan yang baik, bahkan sebagiannya telah mendapatkan beasiswa dari pemerintah, untuk melanjutkan studi di luar negeri dan universitas-universitas ternama di Indonesia.
Banyak pula putra-putri asli Papua yang telah dikukuhkan sebagai abdi negara dengan menjadi anggota TNI dan Polri; pembangunan infrastruktur pun telah mengalami kemajuan yang sangat pesat; pusat-pusat kesehatan masyarakat (posyandu-puskesmas dan rumah sakit) telah dibenahi; ekonomi kerakyatan pun telah tumbuh seiring diakomodirnya kebutuhan konsumen dan produsen lokal; dan sebagainya. Intinya, otsus paling kurang telah menyejahterakan rakyat Papua.
Sedangkan mereka yang menyatakan otsus telah gagal berdalih bahwa secara kasat mata kita dapat melihat sejauh ini, sejak otsus diberlakukan, pelanggaran Hak Asasi Manusia terus subur; banyak sekolah dibangun tetapi masih minim guru dan fasilitas; banyak anak Papua distudikan ke luar negeri dan universitas-universitas ternama di Indonesia tetapi angka buta huruf di Papua masih tinggi.
Banyak sektor ekonomi yang justru dikelola oleh orang-orang non-Papua, angka kematian ibu dan bayi akibat minimnya fasilitas-fasilitas kesehatan masih tinggi, masih terjadi perampasan tanah ulayat masyarakat, meningkatnya angka kemiskinan, dan yang paling penting adalah masih adanya tuntutan referendum (Yoman: 180-270; Mirin: 98-143; SKPKC: Seri 1-38).
Semua fakta indikator kegagalan otsus dapat kita temukan di sekitar kita.
Apakah semangat yang terkandung dalam tujuan pemberian otsus bagi Provinsi Papua yang dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain apakah sudah terwujud?
Faktanya, sampai saat ini banyak pihak menyatakan bahwa otsus telah gagal menjawab segala persoalan.
Dibutuhkan elite berjiwa big man di penghujung otsus
Polemik antara Otsus Papua Jilid II dan referendum ini memang menjadi perhatian serius semua pihak yang berkepentingan.
Dalam suasana itu, rakyat Papua tentunya membutuhkan elite Papua yang benar-benar berjiwa big man, karena secara antropologis, rakyat Papua hidup dalam tradisi kepemimpinan seorang big man. Tradisi itulah yang masih dihidupi oleh para tetua adat yang benar-benar memegang teguh warisan leluhur.
Sepintas secara umum tentang big man digambarkan sebagai berikut:
Big man adalah status sosial dalam masyarakat Melanesia. Status atau predikat ini diberikan kepada mereka yang dianggap memiliki keunggulan dalam berbagai segi kehidupan, baik sosial, politik, budaya, maupun ekonomi, dan sebagainya.
Status big man tidak diberikan menurut garis keturunan (sistem monarki). Status ini diperoleh berdasarkan usaha dari pribadi masing-masing. Siapa yang mampu menunjukkan kualitas pribadinya, maka dia berhak menyandangnya.
Big man tidak lain adalah mereka yang mampu merangkul semua kepentingan bersama. Ada syarat-syarat yang mestinya dipenuhi agar seseorang dinobatkan menjadi big man.
Pertama, ia memiliki kemampuan untuk berpidato; Kedua, memiliki keterampilan memanipulasi kekayaan dalam pertukaran sosio-politis; Ketiga, kemampuan untuk mengontrol dan menyenangkan kekuatan roh leluhur; dan Keempat, berjiwa pemberani dan selalu berhasil.
Kemampuan-kemampuan inilah yang kemudian diinvestasikan ke dalam semua tata kehidupan masyarakat setempat (Resubun, STFT: 2018).
Dalam kehidupan sosial misalnya, seorang big man harus mampu merangkul seluruh kerabatnya. Kekerabatan itu diciptakan dengan tujuan agar tatanan sosial masyarakat menjadi harmonis.
Seorang Tonawi dalam masyarakat Mee di Paniai misalnya. Ia adalah orang kaya, mampu menyelesaikan segala persoalan, memiliki relasi baik dengan sesama dan leluhurnya, dan sebagainya. Dengan demikian secara tidak langsung ia dapat dikategorikan sebagai big man.
Singkatnya, big man adalah seorang pemimpin karismatik bagi rakyatnya.
Di penghujung Otsus Jilid I ini, peran elite Papua sangat menentukan masa depan Papua. Memang tak bisa disangkal bahwa elite saat ini sedang berada dalam dilema antara mendengar suara rakyat atau Jakarta.
Integritas elite sebagai representasi rakyat Papua sedang diuji. Apakah elite Papua ini akan bersikap sama dengan beberapa elite Papua yang memperjuangkan Otsus Jilid I ataukah sebaliknya, mereka akan bersikap sebagai seorang big man dengan mengakomodasi kehendak tulus rakyatnya demi kebaikan bersama? (*)
Referensi:
Mirin, John. 2014. Citra Rumpun Ras Melanesia. Yayasan YAPEMPY Papua
Resubun, Izak. 2018. Antropologi Papua 1. Abepura: STFT Fajar Timur
SKPKC- Fransiskan Papua, “Seri Memoria Passionis”, Edisi 1-38.
Suarapapua.com, Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab per Bab, 22/4/20; 30/5/20; 6/6/20.
Suarapapua.com, Siapa Butuh Otsus Papua Jilid II?, 8/7/20
Yoman, Socratez. 2012. Otonomi Khusus Papua Telah Gagal. Jayapura: Cenderawasih Press
Yoman, ibid.,180-270;
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten