Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Joshua Mcdonald
Di waktu yang normal, jika ada siklon ber-kategori 5 menerjang Pasifik, menewaskan 31 orang, dan menghancurkan ribuan rumah, bantuan asing dan pekerja sukarela massal akan berdatangan untuk membantu upaya pemulihan. Tetapi kali ini, upaya Vanuatu dalam menanggapi satu bencana dibatasi oleh upayanya untuk mencegah bencana lainnya.
Siklon Tropis Harold, yang juga menyebabkan kerusakan meluas di Kepulauan Solomon, Fiji, dan Tonga, tiba di Vanuatu pada 3 April. Sebulan kemudian, sekitar 1.000 orang di pantai barat Pulau Espiritu Santo, pulau terbesar di Vanuatu, masih belum memiliki tempat untuk bernaung dan mulai mengalami kekurangan bahan makanan dan air minum. Masyarakat di daerah itu, salah satu di antara komunitas yang paling terpencil di Vanuatu, baru menerima bantuan dalam jumlah terbatas karena peraturan yang diberlakukan pemerintah untuk melawan pandemi COVID-19.
Pulau terbesar kedua di negara itu, Malekula, juga termasuk daerah yang terkena dampak paling parah dari Harold. Laporan di berbagai media menunjukkan bahwa setidaknya sepertiga dari populasi pulau itu masih memerlukan bantuan darurat, tetapi di Malekula sekarang sedang diterapkan karantina wilayah sementara setelah sebuah kapal dari Filipina berlabuh di sana awal pekan ini, memicu kekhawatiran tentang kemungkinan transmisi COVID-19.
Vanuatu adalah salah satu dari sekumpulan kecil negara yang bebas COVID-19, tetapi kegelisahan akan kedatangan virus itu saja sudah cukup untuk mendorong pihak berwenang agar menerapkan langkah-langkah yang serupa, jika tidak lebih ketat, daripada negara-negara lain di kawasan Pasifik. Vanuatu mengumumkan penerapan keadaan darurat pada akhir Maret. Semua usaha-usaha non esensial ditutup, perjalanan komersial dilarang, dan pertemuan publik dibatasi.
Di Luganville, kota terbesar kedua di Vanuatu, lembaga-lembaga bantuan melaporkan antara 50-70 % bangunan dirusak oleh Harold. Lebih dari setengah populasi di negara dengan 300.000 jiwa itu memerlukan tempat penampungan darurat. Kerugian total yang disebabkan oleh Harold dikhawatirkan lebih tinggi daripada Siklon Pam, yang melanda Vanuatu pada 2015 dan menelan biaya pemulihan hampir $ 600 juta, lebih dari setengah PDB tahunan negara itu.
Dr. Christopher Bartlett, seorang ilmuwan perubahan iklim yang bekerja di Pulau Santo berkata kepada publikasi daring Newsroom minggu lalu bahwa mereka masih menanti bantuan. “Kita semua terkekang di sini dan kerusakannya parah – sampai 80% dan 90 % dari semua bangunan rusak parah,” katanya.
“Kebun dan tanaman pangan semua sudah mati. Saat ini kita sedang mengalami bencana kemanusiaan yang nyata, dan mencoba untuk melakukan apa yang bisa kita lakukan dengan sumber daya yang terbatas dan pengetahuan tradisional untuk membantu kita melewati hari-hari ini sambil menunggu bantuan.”
Meskipun kerusakan akibat Harold berat, Kantor Penanggulangan Bencana Nasional Vanuatu telah melarang pekerja asing untuk memasuki negara itu dan membantu upaya pemulihan karena COVID-19. Dalam sebuah pernyataan, kantor tersebut berkata, “pemulihan kali Ini akan dilakukan secara internal. Kita perlu bekerja bersama-sama.”
Meskipun tidak ada kasus COVID-19 yang dikonfirmasikan di negara itu, Vanuatu tidak terelak dari dampak ekonomi pandemi ini. Sebuah survei baru-baru ini menemukan bahwa lapangan pekerjaaan di sektor pariwisata mengalami penurunan hingga 70%. Pariwisata adalah salah satu sektor utama di Vanuatu. Serangan Harold terjadi pada saat yang sangat buruk.
Australia, Selandia Baru, dan Tiongkok dengan cepat merespons dengan bantuan setelah Harold berlalu. Pada tanggal 28 April, bantuan dengan nilai $ 8 Juta telah dikirim ke Vanuatu, namun distribusi ke masyarakat yang membutuhkan telah terhambat oleh langkah-langkah karantina yang ketat.
Menurut Jacqueline De Gailande, Sekretaris Jenderal Palang Merah di Vanuatu, menyalurkan bantuan kepada masyarakat itu sangat penting, tetapi demikian juga upaya berkelanjutan untuk melindungi Vanuatu dari COVID-19.
“Siklon Harold akan membawa dampak besar pada pembatasan COVID-19 kita,” katanya. “Kita tidak ingin ada kasus COVID-19 yang dikonfirmasikan di Vanuatu, jadi kita harus benar-benar berhati-hati di waktu mendatang.”
Satu hal lagi yang mempersulit upaya pemulihan adalah bahwa pemerintah yang bertugas menanggapi, pertama, munculnya pandemi, dan kemudian, salah satu bencana alam terburuk yang pernah melanda Vanuatu, adalah pemerintahan sementara.
Sementara upaya pemulihan sedang berlangsung, dan pembatasan akibat COVID-19 masih berlaku, parlemen memilih Perdana Menteri Bob Loughman pada 20 April. Dalam pidato perdananya di hadapan parlemen, dia berterima kasih kepada pemerintah sementara karena telah memimpin negara itu melewati masa-masa sulit dan berbicara tentang tugasnya ke depan.
Mengingat COVID-19 telah menghancurkan perekonomian negara itu, lembaga-lembaga bantuan memperkirakan bahwa dibutuhkan waktu setidaknya satu tahun bagi Vanuatu untuk pulih dari Harold.
Sekretaris Jenderal Forum Kepulauan Pasifik, Dame Meg Taylor, mengakui tantangan ke depan, tetapi ia juga mengatakan keadaan ini telah memberikan Vanuatu kesempatan untuk membentuk kembali operasi darurat bencana.
“Ini adalah kesempatan bagi negara-negara untuk melakukan perencanaan yang lebih menyeluruh, untuk mempertimbangkan masyarakat yang paling rentan dalam perencanaan itu, dan untuk membentuk ekonomi dan masyarakat abad ke-21 yang sehat, bersih, aman, dan lebih tangguh,” katanya kepada RNZ.
Ia berharap bahwa pengalaman kawasan Pasifik dengan pandemi ini akan menyebabkan peningkatan infrastruktur kesehatan dan kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana yang lebih baik – dan jika terjadi kasus darurat secara global, mungkin suatu kawasan yang tidak terlalu bergantung pada negara lain yang mungkin tidak bisa menjangkau mereka. (The Diplomat)
Joshua Mcdonald adalah seorang jurnalis multimedia di Melbourne, Australia.
Editor: Kristianto Galuwo